x

Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan uang barang bukti Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan pengalihan anggaran pada Dinas PUPR Kota Mojokerto di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, 17 Juni 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

muhammad saifuddin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memutus Budaya Korupsi

Lingkungan pendidikan di seluruh Indonesia hendaknya terlebih dahulu terbebas dari praktik korupsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masih maraknya korupsi di bumi pertiwi membuat kita prihatin. Bahkan sangat prihatin. Realitas itu sejatinya menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini telah sangat mengawatirkan. Sampai-sampai Prof Dr Satjipto Rahardjo menilai bahwa bangsa ini telah pantas bila dinyatakan sebagai darurat korupsi. Karena prilaku korup di negara yang tergolong religius ini telah sedemikian membudaya. Hingga tidak terasa budaya korupsi telah diwarisi sebagian generasi muda bangsa. Makanya tidaklah mengherankan bila pelaku korupsi saat ini tidak saja terbatas pada generasi tua, tetapi generasi muda yang telah memegang jabatan strategis di eksekutif, legislatif dan yudikatif juga telah mahir dalam berkorupsi.
 
Nah, bila keadaan seperti itu berjalan terus tanpa ada upaya mencegah dan menanggulanginya dengan serius, niscaya sampai kapanpun budaya korupsi tidak akan musnah dari bumi pertiwi. Korupsi yang telah meracuni seluruh elemen kehidupan masyarakat justru akan semakin kuat, akut dan sulit dimusnahkan. Untuk itu, sudah saatnya kita harus bertindak cepat menyelamatkan generasi muda dari budaya korupsi. Dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi muda dari budaya korupsi adalah lewat pendidikan. 
 
Sebab pendidikan sebagaimana pendapat Rusli Karim, memiliki kewajiban menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan tertentu dalam masyarakat di masa mendatang (Rusli Karim, 1991). Sedang menurut Alexis de Toqueville, setiap generasi adalah manusia baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari kemampuan dan mengembangkan karakter atau watak publik maupun privat. Di mana karakter itu harus ditanamkan dan dibiasakan melalui kata-kata, pengajaran, dan keteladanan (Margaret S. Branson, dkk, Belajar Civic Education dari Amerika , terjemahan Syafruddin, dkk, 1999). Berangkat dari pendapat Rusli Karim dan Alexis de Toqueville itu, mulai saat ini pendidikan nasional harus mampu membebaskan generasi muda bangsa dari budaya korupsi. Menjadi generasi yang sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun tidak akan mau melakukan korupsi, karena telah memiliki keyakinan yang kuat bahwa korupsi ditinjau dari aspek manapun tidak dapat dibenarkan. 
 
Adapun sebagai langkah praksisnya upaya menanamkan dan membangun jiwa antikorupsi siswa-siswi itu hendaknya merupakan tanggung jawab semua guru mata pelajaran. Dalam konteks ini, seluruh guru mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menanamkan jiwa antikorupsi pada siswa. Meminjam istilahnya Azyumardi Azra penanaman jiwa antikorupsi menggunakan pendekatan integratif. Di mana pada dataran aplikasinya terintegrasi ke dalam sejumlah mata pelajaran, khususnya pada disiplin humaniora dan ilmu-ilmu sosial. 
 
Namun pada dataran formalnya, tetap lebih baik dan efektif bila penanaman jiwa antikorupsi pada siswa itu menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran PPKn dan pendidikan agama saja. Makanya dalam hal ini, materi tentang korupsi harus dimasukkan dan dibahas dengan tuntas di dua mata pelajaran tersebut. Sebagai contoh kongkritnya, dalam materi pendidikan agama, secara khusus harus ada bahasan atau bab tentang hukum korupsi yang lengkap. Semisal, adanya bahasan tentang hukum korupsi dalam pandangan agama adalah haram, karena termasuk kategori mencuri. Yaitu mencuri uang negara berasal dari rakyat yang hakekatnya uang negara itu adalah uang Tuhan yang diamanatkan kepada pemerintah. Bukan untuk penguasa, tetapi guna ditasarufkan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan seluruh rakyat tanpa adanya diskriminasi. 
 
Mengingat korupsi adalah perbuatan mengambil uang negara bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi untuk kepentingan pribadi dan atau golongan, maka koruptor bukanlah termasuk orang amanah, sebaliknya termasuk golongan penghianat yang melanggar ajaran agama serta diancam masuk dalam neraka.”…tidak seorang manusia yang diberi amanat untuk memimpin rakyat kemudian ia mati dalam keadaan mencurangi rakyat kecuali diharamkan baginya surga” (HR Muslim; 203). Nah, materi pelajaran pendidikan agama seperti itulah yang harus ada dan hendaknya disampaikan oleh guru secara lengkap, mendalam dan penuh dengan penghayatan. Sehingga para siswa dapat memahami, menghayati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 
 
Dan agar proses penanaman jiwa antikorupsi pada siswa dapat berjalan dengan baik serta efektif, maka lingkungan pendidikan di seluruh Indonesia hendaknya terlebih dahulu terbebas dari praktik korupsi. Korupsi sekecil apapun jangan sampai terjadi dilingkungan pendidikan. Dalam hal ini, kementrian pendidikan dan kebudayaan harus bersih dari korupsi, dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi dan kabupaten wajib bebas dari korupsi, kepala sekolah hendaknya bersih dari korupsi, wakil kepala sekolah harus bersih dari korupsi, guru harus bersih dari korupsi, karyawan harus bersih dari korupsi, komite sekolah harus bersih dari korupsi, yayasan harus bersih dari korupsi, dewan pendidikan harus bersih dari korupsi, pegawas harus bersih dari korupsi dan segenap civitas pendidikan harus bersih dari praktik korupsi. 
 
Selain itu, setiap sekolah hendaknya didukung dengan adanya kantin antikorupsi. Yaitu kantin di mana siswa dan guru bila membeli mengambil sendiri, membayar sendiri dan bila uangnya ada lebihnya juga mengambil kembaliannya sendiri. Jadi mati hidupnya kantin antikorupsi itu sepenuhnya tergantung kejujuran siswa dan guru. Dengan adanya kantin antikorupsi itu diharapkan jiwa antikorupsi yang tertanam pada siswa akan semakin kuat, kokoh dan teruji. Wallahu A’lam. 
 
M. Saifuddin Alia
Pendidik, Pemred Majalah Edukasi UIN Walisongo (1997-1999), Pemred Majalah El Qudsy Qudsiyyah Menara Kudus Jateng(1994-1995, Pengurus IPNU Jateng (2001-2003), Redpel Majalah MAARIF LP Maarif PWNU Jateng (2002-2004 dan Sekretaris Forum Nasional Pers Pesantren (FNPP) Wilayah Jateng. 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik muhammad saifuddin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler