x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Are You Ready to Be a Diamond?

Tiga hal penting untuk menjadi pemimpin efektif adalah: berani, rendah hati, dan disiplin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Siap Meraih Puncak Everest Anda?

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

“No pressure; No diamonds.” Thomas Carlyle

Erik Weihenmayer terkena penyakit juvenile retinoschisis ketika berusia 13 tahun. Pada saat menginjak bangku kuliah tahun pertama, Erik, lahir 1968, mengalami kebutaan total. Ia melawan keadaan dengan menolak pakai tongkat, tidak mau belajar huruf Braille, dan menghindari semua hal yang semestinya dilakukan para tuna netra. “Karena semua itu akan membuat saya resmi buta,” katanya.

Penolakan terhadap kenyataan tersebut telah mengakibatkan kepala Erik bonyok, antara lain akibat terjatuh dari tangga dan benturan-benturan lain. Setelah egonya melunak, Erik bersedia menggunakan semua alat bantu menjalani hidup baru.

Menerima kenyataan memerlukan keberanian. Kemudian ia berhasil mengolah batin dan fisiknya sebagai pendaki, antara lain berhasil mencapai El Capitain, di Yosemite, 1996. Lima tahun sesudah itu, pada 25 Mei 2001, Erik Weheinmayer menjadi tuna netra pertama di dunia yang berhasil mendaki sampai puncak Everest.  

Keberhasilan Erik dan tim yang total terdiri dari 18 pendaki merupakan rekor istimewa. Lebih dari karena Erik yang buta berhasil memimpin tim sampai finish, ke-18 orang tersebut berhasil mencapai puncak dalam satu hari yang sama dan semua kembali dengan selamat.

Dari perspektif pengembangan kepemimpinan, prestasi Erik Weihenmayer dan tim telah membuktikan hal-hal penting yang wajib dilakukan oleh semua pihak yang ingin mengembangkan organisasi secara efektif. Di dunia bisnis maupun bagi institusi-institusi pemerintah, serta non bisnis.

Pertama, tentang pentingnya sikap rendah hati. “Mendaki bagi saya bukan tentang menaklukkan gunung,” kata Erik. “Jika kita berhadapan dengan gunung head to head, gunung-gunung itu akan merontokkan Anda. Diperlukan sikap rendah hati untuk dapat mencapai puncaknya.” Pembelajaran bersikap rendah hati pertama bagi Erik adalah saat harus menerima kenyataan menjadi buta dan memerlukan pertolongan pihak lain.

Kedua, selain keterampilan dan latihan, yang sangat penting juga adalah kedisiplinan. Jika Anda cukup rendah hati, tentu bersedia berdisiplin dalam merencanakan dan melakukan eksekusi. Dalam buku The 4 Disciplines of Execution (disusun Chris McChesney, Sean Covey, Jim Huling) dan pelatihan kepemimpinan berdasarkan buku terbitan Simon & Schuster 2012 tersebut, cerita prestasi Erik Weihenmayer dan tim menjadi contoh bagaimana disiplin ekskusi telah membuktikan, tantangan apapun dapat diatasi. Lebih dari itu, yang semula kita anggap impossible (tuna netra naik ke Everest), dapat diwujudkan.

Jika Anda belum lama ini nonton film Everest, di bioskop atau di televisi berbayar, Anda akan mengetahui, kisah nyata tentang pendakian Everest pada 1996 tersebut telah menggambarkan bahwa faktor rendah hati dan disiplin telah diabaikan.

Para pendaki professional dan berpengalaman di gunung tertinggi di dunia yang memimpin tim berbeda itu memiliki goal sama, yaitu puncak Everest. Tapi karena ego para pemimpinnya lebih menonjol, tidak ada kerja sama yang harmonis diantara tim -- apalagi disiplin bersama. Ketika badai menerjang, penyakit ketinggian menimpa, situasi kocar-kacir.  Hasilnya: delapan orang meninggal.

Proses yang dilakukan Tim Erik Weihenmayer berbeda. Bentuk disiplin yang dilakukan Erik bersama tim utamanya adalah rapat di tenda setiap malam, melakukan evaluasi yang dicapai hari itu dan pembelajaran yang diperoleh, untuk menentukan langkah keesokannya.

Di titik kritis, waktu tempuh Erik menyeberangi tangga aluminium yang membentang diatas tebing es yang berbahaya di Khumbu Icefall 13 jam. Sedangkan waktu penyeberangan yang ideal agar pendakian ke puncak dapat aman adalah dua jam.

Diperlukan latihan berhari-hari dan tent meeting sejumlah malam agar pada hari penentuan menuju puncak Erik mampu menyeberang dalam waktu dua jam. “Tim kami terikat satu sama lain dan saling urus. Itu memberikan keberanian buat saya untuk mencapai finish,” kata Erik di kemudian hari.

Tantangan setiap organisasi adalah bagaimana di tengah badai distraksi dan kesibukan harian tetap dapat memiliki clarity, fokus, dan engagement tim untuk meraih target utama. Situasinya kadang menjadi lebih berat karena untuk itu sering kali diperlukan pula perubahan perilaku banyak orang yang terlibat di dalamnya.

Tekanan paling besar dialami para leaders, karena harus akuntabel kepada orang-orang penting yang menopang keberhasilannya, yaitu para stakeholders (board of director/atasan, tim, dan rekan kerjanya). Ketabahan para leaders menghadapi dan berhasil mengatasi tekanan akan dapat menjadikan mereka bersinar bak berlian. Sebagaimana kata Thomas Carlyle sejak 300 tahun lalu dan masih berlaku sampai sekarang, “No pressure, no diamonds.

Ilmu pengetahuan telah memungkinkan pressure tersebut manageable. Upaya perubahan perilaku untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan, dan ketabahan yang menyertainya, lazimnya dapat dilalui dengan baik, kalau menggunakan metode pendekatan yang terstruktur.

Ini sudah dibuktikan oleh program executive coaching berbasis Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) sejak lebih dari seperempat abad lalu di 50-an negara di dunia. Membantu para leaders dan calon leaders di perusahaan-perusahaan (mostly) multinasional – seperti Apple, LG, Citibank, Hyatt, Bayer, GE etc.—dan institusi lain seperti World Bank dan US Navy. MGSCC memiliki misi yang gamblang: Enables successful leaders to achieve positive and measurable change in leadership behavior. Sebagai sebuah sistem continuous improvement untuk mereka dan tim mereka.

Program MGSCC eksklusif, untuk kalangan yang benar-benar ingin meningkatkan kompetensi kepemimpinan dan memberikan positive impact bagi stake holders mereka. Para leaders atau calon leaders yang engaged dengan program MGSCC lazimnya memiliki kesungguhan untuk mencapai “puncak Everest” masing-masing dalam kehidupan mereka bersama orang-orang yang mereka hargai – di dalam organisasi dan di dalam keluarga.

Para peserta program MGSCC biasanya mereka yang sudah berhasil keluar dari keterbatasan yang mereka imajinasikan sendiri, keluar dari limiting belief. Termasuk dalam limiting belief di antaranya takhayul tentang kesuksesan, betah di zona nyaman saat ini, sebagai bos merasa selalu paling benar, setiap kelemahan organisasi adalah akibat ulah anak buah.

Kalau kita melihat banyak contoh, orang-orang sukses adalah mereka yang telah berhasil keluar dari batasan-batasan bikinan sendiri atau keterbatasn keadaan, seperti Erik Wihenmayer yang buta, menerima keadaan, dan kerja keras melatih diri menggapai Everest. Sukses itu pilihan.

Bagi peserta program MGSCC, sebelum start coaching diminta berkomitmen tiga hal:

n  Berani (courage) keluar dari zona nyaman dan siap melakukan hal-hal baru

n  Rendah hati (humility), bersedia melepaskan ego, mengedepankan kepentingan tim/masyarakat

n  Disiplin. Agar perubahan kepemimpinan berjalan baik, perlu habit dan proses yang lebih efektif, didukung disiplin eksekusi dalam mengimplementasikan action plans dan konsistensi follow up dengan stakeholders.   

Ketiga hal mendasar itu kelihatan sederhana, tapi sulit dikerjakan. Di dunia bisnis kita mengenal kategori Level 5 Leadership, kualitas kepemimpinan tertinggi, sebagaimana digambarkan Jim Collins dalam bukunya Good to Great. Ciri-ciri mereka adalah rendah hati, memiliki professional will “to do whatever must be done to produce the best long-term results, no matter how difficult.”

Soal tingkat kedisiplinan mereka tidak perlu diragukan lagi. Disiplin eksekusi yang konsisten telah memungkinkan mereka memimpin transformasi perusahaan, dari sekedar bagus menjadi hebat dan prestasinya berlangsung puluhan tahun. Salah satu contohnya Darwin E. Smith, CEO Kimberly-Clark selama 20 tahun dan sukses meningkatkan nilai perusahaan mencapai cumulative return 4.1 kali dibanding general market.

 

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus ‘The International Academy for Leadership’, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b152 8)

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu