Bagi sebagian remaja, pelajaran matematika dan sains mungkin memang tidak mengasyikkan. Tentang matematika, mereka mengeluh: “Terlalu banyak angka dan rumus.” Mengenai pelajaran sains, mereka bilang: “Sains membuatku takut, sebab aku tidak pintar matematika.” Menjelang ujian kelas 3 sekolah menengah, mereka sibuk menghapal isi buku kecil yang memuat rumus-rumus sakti untuk menjawab soal-soal.
Dibandingkan dengan biologi, fisika, maupun kimia, matematika memang paling abstrak ketika telah sampai kepada perumusan. Namun bukan berarti keempat pelajaran itu tak bisa mengasyikkan, yakni jika—ya, hanya jika—pengajarannya tidak bertumpu pada hapalan, melainkan imajinasi. Bukan sekedar bernalar, apa lagi hanya menghapal.
Dalam banyak kesempatan, para ilmuwan mashur kerap menyampaikan pesan tentang pentingnya menjelasan matematika dan sains dengan ‘pikiran yang terang’. “Uraian yang jelas dan dalam bahasa yang terang,” kata fisikawan mendiang Werner Heisenberg, “menjadi tolok ukur derajat pemahaman yang telah dicapai.”
Namun Albert Einstein menjangkau lebih jauh. “Imajinasi lebih penting ketimbang pengetahuan,” ujar Einstein. “Karena pengetahuan terbatas pada semua yang sekarang kita ketahui dan pahami, sementara imajinasi mencakup dunia keseluruhan dan semua yang ada untuk diketahui dan dipahami.”
Nalar memang diperlukan, tapi imajinasi berpeluang membantu anak-anak untuk membayangkan apa yang tersembunyi di balik rumus-rumus matematika, fisika, maupun persamaan reaksi kimiawi. Banyak siswa menemui kesukaran mencerna pelajaran ini karena kemampuan imajinatif mereka tidak difungsikan secara baik. Sejumlah studi di beberapa negara menunjukkan sejumlah alasan mengapa begitu.
Pertama, seringkali matematika dan sains tidak diajarkan dengan cara yang menyenangkan. Begitu memasuki kelas matematika dan sains, anak-anak sudah keburu merasa terbebani atau dihinggapi rasa tidak suka. Mereka dihadapkan pada banyak rumus tanpa cukup ruang untuk membayangkannya seperti apa semua rumus itu dalam kenyataannya. Kekuatan imajinasi mereka diringkus.
Kedua, pengajarannya bersifat dogmatis, dalam pengertian semua hal yang dipelajari dalam matematika maupun ilmu-ilmu sains harus dimengerti sebagai ‘sepenuhnya harus begini’. Siswa tidak diajak memahami bahwa kebenaran dapat dicapai melalui berbagai cara. Kerap terjadi, ketika siswa mengerjakan soal dengan cara yang berbeda, guru tidak mengapresiasi walaupun hasil akhirnya benar.
Ketiga, pengajarannya cenderung bersifat non-human. Apa yang dipelajari dipandang sebagai hal yang terpisah dari kehidupan manusia. Siswa jarang diajak mengaitkan konsep matematika dan sains tertentu dengan peristiwa dan kehidupan kita sehari-hari: belajar geometri dari bentuk ruang kelas, atau belajar relativitas dari pergerakan benda-benda. Padahal matematikawan dan ilmuwan menelurkan rumus, konsep, teori dengan cara menyerap rahasia alam.
Keempat, yang diajarkan seringkali bersifat simbolis belaka, dalam arti siswa disodori berbagai rumus, diminta menghapal, tetapi kurang diajak memahami apa makna sebuah rumus. Misalnya saja ketika menjelaskan rumus E=mc2, siswa tidak diajak membayangkan seperti apa dampak rumus yang tampak sederhana itu terhadap kehidupan manusia.
Mungkin ada sebab-sebab lain, tapi sejumlah temuan hasil studi tersebut memperlihatkan sejumlah soal yang berpotensi men-demotivasi siswa, membikin siswa enggan belajar lebih dalam, merasa terbebani oleh hapalan rumus-rumus, sementara imajinasi mereka terkekang. **s
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.