x

Usul Proyek Gedung DPR Kembali Menguat

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

DPR kok Membentengi Diri dari Rakyat

Kehormatan institusi DPR sesungguhnya dibangun dan tegak di atas perilaku anggotanya. Kehormatan DPR tidak akan runtuh hanya karena kritik dari rakyat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tanpa banyak publikasi, tahu-tahu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang lebih populer dengan sebutan UU MD3. Tiba-tiba saja DPR menambahkan ‘kekuatan’ pada dirinya sendiri tanpa terlebih dulu mendengarkan suara rakyat—orang-orang yang mereka ‘wakili’ (kecuali bila mereka menganggap diri lebih sebagai ‘petugas partai’ ketimbang ‘wakil rakyat’).

Saya rasa, para anggota DPR paham benar bahwa menyerap suara rakyat terlebih dulu untuk sebuah isu yang demikian penting sangatlah layak, tapi mengapa tidak dilakukan? Tak lain karena salah satu pasal yang ditambahkan ke dalam undang-undang revisi itu berpotensi menjerat rakyat—orang-orang yang selalu dibujuk oleh para politikus agar memilih mereka, orang-orang yang suaranya mereka perlukan saat masa pemilihan tiba. Jika anggota DPR bertanya dulu kepada rakyat sebelum menuangkannya ke dalam undang-undang, sudah pasti rakyat menolak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Butir (k) Pasal 122 undang-undang hasil revisi itu berbunyi seperti ini: “Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”

Butir tersebut begitu krusial dan penting dijernihkan. Pertama-tama, tentang tugas MKD. Pada mulanya, MKD dibentuk dengan tugas pengawasan internal, khususnya untuk menegakkan kode etik anggota DPR, namun kini MKD bertindak layaknya pengacara bagi anggota maupun institusi DPR. MKD ditugasi mengambil langkah hukum ke luar, sedangkan yang berada di luar sana itu mungkin saja rakyat yang menurut konstitusi mereka ‘wakili’ di parlemen.

Begitu pula, pengertian merendahkan kehormatan itu seperti apa. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mulur-mengkeret karena tidak ada definisi baku tentang pengertian ‘merendahkan kehormatan’ anggota maupun institusi DPR. Ini bergantung bagaimana MKD menafsirkan apa yang diistilahkan sebagai ‘merendahkan kehormatan’. Misalnya saja tindakan pimpinan KPK yang tidak bersedia memenuhi panggilan Panitia Khusus Angket DPR, akankah tindakan itu ditafsirkan sebagai ‘merendahkan kehormatan’ DPR? Bagaimana jika rakyat mengunggah ‘meme’ anggota DPR yang tidur selagi sidang?

Istilah ‘merendahkan’ sangat mungkin ditafsirkan secara subyektif, mengingat MKD beranggotakan anggota DPR juga—sama-sama teman sejawat. Jadi, pasal ini mengancam hak konstitusional rakyat dalam mengawasi wakil rakyat. Ironis bukan bila rakyat dikenai langkah hukum lantaran melontarkan kritik karena kritik itu dianggap  merendahkan kehormatan ‘wakil’-nya di DPR. Anggota DPR menciptakan pasal ini untuk membentengi diri dari kritik pemilihnya sendiri.

Jika para elite partai politik tidak bersuara mengenai hasil revisi UU MD3 ini bukanlah hal yang aneh, sebab para anggota DPR adalah kepanjangan tangan partai—dan mereka bekerja lebih sebagai petugas partai ketimbang wakil rakyat. Meskipun tidak aneh, namun tetap ironis, sebab para elite partai selalu bersuara lantang tentang demokrasi dan pembelaan terhadap rakyat.

Tidak lama lagi, UU MD3 hasil revisi ini akan berlaku sekalipun jika Presiden tidak menandatanganinya, jika Presiden enggan menerbitkan Perppu, serta jika Mahkamah Konstitusi menolak gugatan rakyat terhadap UU yang baru disetujui DPR itu. Yang terjadi kemudian, rakyat akan cemas dan takut mengritik DPR dan anggotanya karena kritik rakyat dapat ditafsirkan merendahkan kehormatan mereka.

Bagaimana jika anggota DPR yang merendahkan kehormatan institusinya—bukankah justru ini yang sering terjadi? Kritik rakyat mah paling-paling seperti ini: kok tidur selagi sidang berlangsung, kok bolos padahal waktunya rapat komisi, kok banyak yang ditangkap KPK padahal gajinya sudah besar, kok tidak produktif menghasilkan undang-undang, kok bikin aturan yang tidak berpihak kepada rakyat banyak padahal rakyat yang memilih. Apakah kritik semacam ini juga akan dikategorikan merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya?

Jikalaupun rakyat melontarkan kritik, anggota DPR semestinya bukan membentengi diri dengan pagar pertahanan semacam ini—benteng yang semakin memisahkan mereka dari rakyat yang diwakili. Seakan-akan anggota DPR tengah menghadapi lawan dan untuk itu merasa perlu mempersenjatai diri dengan aturan yang memperkuat diri sendiri. Mengapa anggota DPR bukan malah sering turun ke lapangan dan mendengar langsung suara rakyat agar mengetahui persis keluhan, kehendak, harapan, kesukaran hidup, maupun keinginan dan mimpi-mimpi rakyat. Dengan lebih dekat kepada rakyat, mereka akan tahu persis apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat—dan kritik itu (apalagi yang dianggap merendahkan kehormatan) mungkin tidak akan terlontar. Puji-pujianlah yang akan disuarakan.

Kehormatan institusi DPR sesungguhnya dibangun dan tegak di atas perilaku anggotanya, dan kehormatan DPR tidak akan runtuh hanya karena kritik dari rakyat. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu