Dikepung oleh pemerintah dan politikus Senayan, posisi Komisi Pemberantasan Korupsi semakin tak berdaya. Ada dua agenda yang melumpuhkan lembaga ini: pemilihan pemimpin baru KPK dan revisi UU Komisi Antikorupsi.
Dewan Perwakilan Rakyat telah memilih pimpinan baru KPK yang diketuai oleh Inspektur Jederal Firli Bahuri. Di Senayan, kalangan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan —partai utama penyokong Jokowi—termasuk cukup getol mendukung Firli. Hasil pemilihan ini mau tak mau harus diterima kendati Firli dianggap figur bermasalah. Ibaratnya Jokowi-DPR telah mencetak gol. Skor sementara, 0-1 untuk keunggulan pemerintan bersama Dewan.
Komisi Antikorupsi serta kalangan antikorupsi kini menghadapi “pertandingan babak kedua”: revisi UU KPK. Andaikata, revisi UU KPK ditunda ---skor KPK versus Jokowi dan DPR menjadi 1-1—sebetulnya tetap merupakan kabar buruk. Figur pimpinan KPK yang baru terpilih sulit diharapkan membongkar korupsi kalangan politikus dan elit penguasa.
Jika revisi UU KPK tetap dilanjutkan akan semakin memprihatinkan Artinya, KPK bersama kalangan antikorupsi bisa mengalami kekalahan telak 0-2.
Jokowi Belum Mengendur
Pernyataan terakhir Presiden Joko Widodo memperlihatkan ia belum mengubah sikapnya. Menanggapi “penyerahan tanggung jawab” pengelolaan KPK oleh Agus Rahardjo cs, Presiden menanggapinya secara normatif. Ia mengatakan tidak ada istilah penyerahan mandat
“Dalam UU KPK tidak ada, tidak ada mengenal yang namanya mengembalikan mandat, nggak ada, yang ada mengundurkan diri, meninggal dunia terkena tindak pidana korupsi, tapi yang mengembalikan mandat tidak ada," kata Presiden Jokowi di Jakarta, 16 September 2019.
Tarik ulur rencana pertemuan Presiden dan pimpinan KPK pun masih berlangsung. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, sempat ada undangan makan malam dari Istana, tapi ditunda. "Kami belum tahu katanya Pak Praktikno (Mensesneg) masih menjadwalkan longgarnya Presiden kapan.” Kata Agus.
Adapun Presiden Jokowi justru mengaku masih menunggu adanya pengajuan pihak KPK. "Kalau nanti sudah ada pengajuan, biasanya nanti diatur di situ," kata Jokowi.
Reaksi Kalangan Pro KPK
Banyak pihak mengecam hasil seleksi pimpinan KPK dan rencana revisi UU Komisi Antikorupsi. Tak hanya terjadi di kantor KPK di Jakarta, demonstrasi juga diadakan di kampus Universitas Gadjah Mada, tempat Jokowi dulu kuliah.
Sebanyak 100 dosen dan mahasiswa menggelar aksi bersama di dalam gedung Rektorat kampus tersebut, Ahad, 15 September 2019. Mereka membentangkan poster bertuliskan "koruptor maunya KPK bubar", "RUU KPK lemahkan KPK", "KPK tak ada, koruptor pesta".
Pegiat Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Hasrul Halili mengatakan civitas akademik yang bergabung dalam unjuk rasa ini ingin pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan revisi. "Presiden seharusnya tidak ragu-ragu menolak pelemahan KPK," kata Hasrul , 15 September 2019
Hanya, gerakan seperti itu belum membuahkan hasil. Gerakan masyarakat sipil juga semakin sulit lantaran kebebasan berpendapat mulai tergerus oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga pasal-pasal penghinaan pada KUHP. Banyak pula aktivis yang sudah menjadi dengan elite penguasa, kecuali jika muncul regenerasi dari kaum milineal.
***Baca juga:
Benarkah Gara-gara Sri Bintang Usik Jokowi, Putrinya Dijerat? Begini Faktanya….
Ikuti tulisan menarik Anas Muhaimin lainnya di sini.