x

Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa 24 Septembar 2019. Mereka menyuarakan penolakan Revisi Undang-undang KUHP (RKUHP) dan Undang-undang KPK yang baru. TEMPO/Subekti.

Iklan

YOHAN MISERO

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 25 September 2019 20:11 WIB

Benarkah RKUHP Ditunda? Untuk Apa ILC Semalam?

Demonstrasi yang menurut Moeldoko dan Wiranto sudah tak relevan serta sebuah tayangan televisi Selasa malam lalu menunjukan sesuatu tentang RKUHP.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan sikap Pemerintah untuk menunda pengesahan RKUHP. Sebagian kemudian menilai bahwa pernyataan Presiden tersebut menjadi situasi final dari RKUHP di periode DPR 2014-2019 ini. Benarkah demikian?

Pasal 72 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyiratkan bahwa pengesahan sebuah UU membutuhkan persetujuan Presidan dan DPR. Artinya, jika salah satu pihak, entah Presiden atau DPR, tidak menyepakati RUU maka ia tidak bisa disahkan menjadi UU.

Maka, cukupkah pernyataan Presiden saat itu? Tergantung. Jika anda dalam suatu keadaan yang amat mempercayai negara, maka mungkin anda akan memandang bahwa gejolak penolakan RKUHP di tengah masyarakat hari ini tidaklah lagi diperlukan. Di sisi lain, tidakkah dapat kita melihat bahwa kekhawatiran masyarakat akan pengesahan RKUHP adalah sesuatu yang valid?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, pengesahan revisi UU KPK yang bagai pencuri di siang bolong itu tentu menciptakan trauma – bahwa ketika mata dan perhatian kita berpaling sedikit saja, di saat itulah pejabat-pejabat yang entah kenapa kita pilih itu akan kembali mendorong agenda-agenda sesatnya. Perlu dicatat bahwa DPR menjadwalkan dua rapat paripurna lagi, yakni Kamis, 26 September 2019, serta Senin, 30 September 2019. Apa saja masih dapat terjadi pada dua rapat tersebut: termasuk perubahan sikap Presiden. Oleh karena itu, pantas rasanya bila masyarakat terus memantau dan menyatakan penolakannya pada dokumen RKUHP hari ini.

Kedua, Menkumham, DPR, serta tim penyusun masih melakukan “advokasi” tentang pasal-pasal tertentu di RKUHP dan seakan terus berupaya untuk meloloskan RKUHP di periode ini. Hal ini dapat dilihat dari sikap Erma Suryani Ranik, Ketua Komisi III DPR, yang masih ingin mempertahankan pasal penghinaan Presiden. Fahri Hamzah kemudian secara terbuka mengutarakan kekecewaannya pada penundaan pengesahan RKUHP. Namun, upaya “advokasi” paling grande dari Menkumham dan DPR adalah apa yang semalam ditayangkan ke seluruh negeri: Indonesia Lawyers Club (ILC).

Menkumham, Junimart Girsang, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, dan Prof. Andi Hamzah hadir ke ILC malam itu dan mengabarkan ke penjuru nusantara tentang maksud baik penyusun RKUHP serta “kesalahpahaman” publik terhadap RKUHP. Segala penjelasan teoritis maha mulia tentang hukum pidana yang bertujuan satu: mendelegitimasi protes yang dilancarkan berbagai elemen masyarakat hari-hari ini dengan membangun persepsi bahwa massa aksi dan warganet yang melakukan penolakan terhadap RKUHP adalah sekumpulan orang yang malas membaca keseluruhan dokumen RKUHP dan tertipu infografis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat.

Sebagai contoh, upaya delegitimasi ini sangat terlihat pada respon Prof. Harkristuti Harkrisnowo atas kritik masyarakat terhadap perumusan (1) Pasal 470 tentang aborsi yang dapat menjerat perempuan korban perkosaan dan (2) Pasal 432 mengenai gelandangan yang dapat menjerat perempuan pekerja yang sedang pulang makam.

Terhadap Pasal 470, Prof. Harkristuti mengatakan bahwa Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengecualikan larangan aborsi bagi situasi darurat medis dan korban perkosaan tetaplah berlaku. Sedangkan untuk Pasal 432, Prof. Harkristuti kemudian mendefinisikan bahwa seorang gelandangan adalah “Orang yang tidak jelas, tidak memiliki identitas.” Menurut Prof. Harkristuti, pasal ini tidak akan berdampak seperti yang ditakutkan karena, “Kalau ada perempuan pulang kerja malam, pasti dia punya identitas kan? Jelas dia, dia tidak mengganggu ketertiban umum.”

Sebagai catatan, RKUHP tidak mendefinisikan ketertiban umum dan gelandangan. Definisinya tentu dapat dicari di UU lain atau, setidak-tidaknya, KBBI. Untuk kepentingan tulisan ini, mari kita anggap bahwa apa yang disampaikan Prof. Harkristuti secara logika hukum masuk akal. Namun demikian, ada sebuah aspek yang jelas luput dari penjelasan Prof. Harkristuti dan, nampaknya, menjadi aspek pokok dari respon masyarakat terhadap RKUHP, yakni: realita penegakan hukum.

Interpretasi-interpretasi pasal yang, oleh penyusun RKUHP, dianggap ngawur ini bukan berarti tidak dapat terjadi. Di Indonesia hari ini, mudah sekali untuk menangkap seseorang atas nama penegakan hukum. Tapi, sejauh apa sih kita dapat berharap pada anggota Kepolisian dan Kejaksaan untuk merujuk UU Kesehatan saat berhadapan dengan seorang korban perkosaan? Apakah si korban perkosaan ini mengetahui hak-haknya? Jika kita mengikuti definisi Prof. Harkristuti, apakah ini artinya seorang perempuan yang bekerja secara informal di pasar atau toko dan berjalan pulang ke rumahnya dapat dijerat dengan Pasal 432? Di lain pihak, jika seorang perempuan bekerja di sebuah start up ternama dan pulang malam-malam, apakah ada jaminan ia tidak akan ditangkap karena terduga melanggar Pasal 432?

Ketika seseorang sudah ditangkap maka, secara realistis, orang tersebut tinggal berharap pada dua hal saja: bantuan hukum dan putusan hakim. Tapi, berapa banyak sih pengacara berkualitas yang bisa diakomodir oleh situasi ekonomi masyarakat kita? Sejauh apa jangkauan bantuan hukum gratis berkualitas di negeri ini? Dan kalaupun putusan hakim pada akhirnya berpihak pada si perempuan korban perkosaan dan si perempuan pekerja ini, mereka toh harus mengalami proses penangkapan, penahanan, pencarian bantuan hukum, serta persidangan yang tentunya menguras tenaga, energi, biaya, dan kewarasan.

Maka kuncinya ialah membuat rumusan pasal pemidanaan yang mengunci interpretasi penegak hukum dengan memperbaiki dan bahkan menghilangkan pasal-pasal karet yang multi interpretasi ini. Hal yang nampaknya enggan dilakukan Menkumham, yang pada Rabu, 25 September 2019, menyatakan keengganannya merombak ulang RKUHP. Hal ini yang kemudian membawa kita ke poin berikutnya mengapa demonstrasi pun seruan penolakan terhadap RKUHP hari ini penting untuk berlanjut.

Ketiga, enggannya Pemerintah dan DPR untuk menengok dan meninjau kembali RKUHP secara holistik. Penyusun RKUHP nampaknya memilih untuk memperbaiki RKUHP secara parsial karena prosesnya akan lebih cepat untuk segera menancapkan legacy tentang “KUHP produk bangsa sendiri” yang luhur itu. Padahal, kita tahu bersama bahwa RKUHP memiliki kelemahan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai kesalahan, mendasar mengenai nilai-nilai “ke-Indonesia-an” yang mendasari pasal-pasal pemidanaan mengenai living law, seks konsensual antar orang dewasa di luar koridor pernikahan, penguasaan dan pembelian narkotika untuk dikonsumsi sendiri, hidup bersama, alat kontrasepsi, menjual minuman beralkohol, dan lain sebagainya.

Hal ini yang kemudian menjadi fungsi krusial ILC semalam bagi tim penyusun RKUHP: menjustifikasi rancangan RKUHP saat ini ke tengah masyarakat banyak. Sehingga meskipun pada periode ini ia tidak disahkan, RKUHP versi ini akan lebih mulus jalannya pada periode 2019-2024. Wajar kemudian setelah ILC semalam, di internet banyak beredar potongan-potongan kutipan yang mendukung RKUHP dalam bentuk foto, video, serta teks dari tim penyusun RKUHP yang hadir semalam di ILC – walau belum seramai gelombang penolakan yang petisinya (saat kalimat ini diketik) hampir menyentuh angka satu juta pendukung.

Selama dokumen RKUHP masih seperti hari ini: mengancam privasi dan demokrasi, selama itu pula kami, rakyat yang kritis dan melawan akan tetap lantang berjuang. Karena anggota DPR dan Presiden akan datang silih berganti, tapi rakyat akan tetap di sini: menanti keadilan yang sejati atau, setidak-tidaknya, menjaga amanat reformasi.

Ikuti tulisan menarik YOHAN MISERO lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu