Tarik ulur mengenai rencana penerbitan perpu pembatalan revisi UU KPK masih berlangsung. Kalangan pro pemberantasan korupsi terus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraruran pemerintah pengganti undang-undang itu.
Sebaliknya, kalangan partai politik terkesan menakut-nakuti Presiden Jokowi. Mereka melontarkan resiko yang terjadi jika Presiden memenuhi aspirasi kalangan antikorupi. Berikut ini sejumlah gertakan mereka.
1.Melanggar konstitusi
Anggota Komisi Hukum Fraksi PDIP, Arteria Dahlan meminta Presiden Jokowi memperhatikan suara DPR. "Jangan sampai presiden terjebak melakukan perbuatan inkonstitusional," ujar Arteria, akhir September lalu.
Walaupun Perpu memang hak konstitusional presiden, ujar Arteria, keputusan tersebut harus ada legal basisnya dan rasio logisnya harus juga dipenuhi. "Pertanyaannya apakah kondisi objektif saat ini mewajibkan seorang presiden untuk menerbitkan Perpu?" ujar dia.
Ucapan politikus PDIP itu boleh jadi hanya semacan gertakan. Kalau presiden nanti dianggap keliru dalam membikin perpu, misalnya syaratnya dianggap tak terpenuhi, perpu itu bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam berbagai uji materi perpu, hakim konstitusi menilai bahwa syarat "kegentingan yang memaksa" untuk bikin perpu merupakan kondisi subyektif Presiden. Jadi masalah ini juga tidak bisa persoalkan.
Kalangan politikus juga tak perlu cemas karena DPR, kalau mau, juga bisa menolak perpu pada masa persidangan berikutnya. Sesederhana itu prosesnya.
2.Penerbitan Perpu Terhalang MK
Luhut berpendapat, Jokowi tak bisa serta-merta menerbitkan perpu pembatalan revisi UU KPK karena produk hukum itu telah diproses oleh lembaga yudikatif. "Enggak bisa lagi terbitkan Perpu karena sudah ditangani yudikatif dan diproses judicial review," ujar Luhut awal Oktober lalu.
Fakta bahwa ada gugatan uji materil itu betul. Diantaranya yang diajukan 18 mahasiswa. Sidang perdana gugatan pun telah digelar . Hanya, Hakim MK menilai uji materi itu tidak jelas karena revisi Undang-undang KPK belum teken oleh Presiden dan masuk dalam lembaran negara.
Jadi dalih Luhut aneh karena tidak mungkin uji materi dilakukan selama UU itu belum diberi nomor dan diundangkan. Uji materi mustahil dilakukan juga jika Presiden Jokowi meneken revisi UU KPK dan setelah itu langsung pula mengeluarkan perpu pembatalan uu tersebut.
Hal itu pula yang dulu dilakukan Presiden SBY. Ia meneken UU No 22/2014 tentang pemilihan kepala aderah oleh DPRD. Nah, setelah itu, Presiden juga langsung mengeluarkan Perpu yang membatalkan undang-undang itu
3.Ancaman dilengserkan
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengatakan revisi UU KPK itu sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Saat ini UU tersebut juga tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Dia berpendapat agar proses ini berjalan dulu.
"Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah Presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara," kata Surya Paloh.
Alasan ancaman pelengseran itu hampir sama dengan Luhut: revisi UU sudah masuk ke MK, dalih yang tak masuk akal tadi. Pelengseran juga tidak mudah karena harus sesuai mekanisme dan perlu persetujuan MK sesuai Pasal 7A dan 7B UUD 1945. ***
Baca juga:
Tarik ulur Revisi UU KPK, Benarkah Jokowi Diancam Dilengserkan?
Kata Moeldoko, Buzzer Itu Destruktif: Kenapa Pemerintah juga Dirugikan?
Ikuti tulisan menarik Anas Muhaimin lainnya di sini.