x

Pemudik yang terdiri dari satu keluarga naik motor di musim libur lebaran 2018 saat melintas di kawasan Karawang, Jawa Barat. Tempo/Fakhri Hermansyah

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 5 April 2020 06:22 WIB

Kalau Sayang Emak di Kampung, Jangan Mudik!

Pemerintah terkesan kurang tegas mengenai perkara mudik Lebaran. Walaupun sudah membuat aturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB, tapi mudik Lebaran tidak dilarang. Padahal risikonya besar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini pemerintah pusat mengeluarkan aturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar atau dipendekkan menjadi PSBB. Namun, aneh bin ajaibnya, Presiden Jokowi tidak melarang warga untuk mudik Lebaran. Padahal, yang namanya mudik pasti melibatkan massa alias orang dalam jumlah banyak berada di satu tempat serta berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Di stasiun, bandara, terminal bus, maupun pelabuhan kapal laut, orang berkumpul--antri membeli tiket, menunggu keberangkatan, jalan mondar-mandir, mengisi perut di restoran, belum lagi kerabat yang mengantar ikut nimbrung.

Jelas, mudik Lebaran bukan aktivitas sosial berskala kecil. Gerbong-gerbong kereta akan penuh penumpang, begitu pula kapal laut, bus antarkota, serta pesawat terbang. Akankah penumpang diinstruksikan duduk berjauhan satu sama lain? Misalnya nih, tempat duduk di kereta lazimnya terdiri dari empat nomor kursi dalam satu baris (dua di kiri dan dua di kanan, bahkan tiga kalau kelas ekonomi). Jika satu nomor dikosongkan, berarti secara kasar gerbong kereta hanya terisi separonya. Apakah penumpang akan diminta membayar tiket dengan harga dua kali lipat dari tarif normal?

Keputusan mengenai urusan mudik Lebaran sempat menimbulkan kebingungan di masyarakat. Mula-mula, juru bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan bahwa warga diperbolehkan mudik dengan syarat langsung menjadi orang dalam pemantauan (ODP) begitu tiba di kampung halaman. Konsekuensinya, warga harus mengisolasi diri secara mandiri begitu masuk rumah selama 14 hari. Tidak lama kemudian, Mensesneg Pratikno meralat pernyataan jubir dengan mengatakan bahwa pemerintah bukan memperbolehkan mudik, melainkan mengajak dan berusaha keras agar  masyarakat tidak perlu mudik. Kadarnya terasa sedikit berbeda, tapi tetap belum tegas melarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika mudik tidak dilarang, warga akan melenggang kangkung bepergian dalam jumlah banyak, berombongan mungkin. Mereka barangkali berpikir, daripada mengurung diri di perantauan, mendingan mengurung diri di rumah kampung halaman. Yang penting bisa kumpul bersama keluarga. Sayangnya, di balik itu ada soal lain yang patut dicermati.

Katakanlah para ODP di seputar Lebaran ini tidak muncul di muka publik karena harus mengisolasi diri selama 14 hari, tapi siapa dapat menjamin bahwa ia tidak berinteraksi dengan kerabat yang tinggal serumah? Dalam satu rumah, jumlah pemudik mungkin bukan hanya seorang, bisa tiga atau lima. Begitu bertemu ayah ibu, cium tangan. Begitu bertemu kakak atau adik, lantas cipika cipiki, ngobrol berdekatan, makan bareng-bareng, bahkan mungkin nonton teve dan tidur ramai-ramai di ruang keluarga.

Lho, lupa ya kalau corona sedang mengintai peluang untuk berpindah? Saya kan sehat! Lho, siapa yang dapat menjamin seseorang sehat ketika berangkat akan tetap sehat setiba di kampung halaman? Terlebih lagi, mereka yang tinggal di kampung halaman mungkin jauh lebih tua dari yang mudik, sehingga lebih rentan tertular. Bukan kita berharap yang buruk, tapi potensi risiko itu begitu besar, jadi kita perlu berhati-hati lebih ekstra.

Pemerintah barangkali berpikir tentang potensi ekonomi dari aktivitas mudik Lebaran, misalnya bus antarkota jalan, gerbong-gerbong kereta api tidak lagi menganggur, pesawat pun terbang dan tidak nongkrong di garasi, dan kapal-kapal pun berlayar. Harapannya, ekonomi akan menggeliat di tengah kelesuan akibat invasi corona. Sayangnya, berapa besar nilai ekonomi yang diperoleh dari aktivitas mudik dibandingkan dengan nilai ekonomi dari pulihnya terlebih dahulu kesehatan masyarakat?

Apakah aktivitas mudik ini tidak akan berisiko pada meningkatnya jumlah warga yang positif Convid-19, yang berarti pula nilai ekonomi yang diharapkan dapat diambil dari aktivitas mudik malah tidak didapat? Yang berarti pula, kelesuan ekonomi akan semakin panjang karena rakyat yang harus dirawat bertambah banyak? Jika kesehatan masyarakat segera pulih, in syaa Allah ekonomi pun segera bangkit.

Rasanya penting untuk ditimbang kembali bobot antara mudharat dan manfaat dari aktivitas mudik pada saat pandemi Corona ini. Apabila mudharatnya lebih besar, pemerintah mestinya tidak perlu ragu untuk melarang mudik Lebaran pada tahun ini. Pemerintah seyogyanya tidak sekedar mengimbau bahwa masyarakat tidak perlu mudik, melainkan melarang mudik.  Asal pendekatannya jelas, bukan soal keamanan, melainkan atas dasar pertimbangan kesehatan dan keselamatan jiwa bersama.

Larangan mudik juga tak perlu diganti dengan libur lain waktu, sebab sepanjang tinggal di rumah karena invasi Corona kita semua sudah berminggu-minggu menikmati libur. Work from home pun kenyataannya tidak berlangsung 100% dalam arti delapan jam kerja di kantor dipindahkan tidak serta merta menjadi delapan jam kerja di rumah.

Jadi, menyelamatkan kehidupan jauh lebih penting ketimbang menjalankan tradisi mudik, apalagi bila mudik itu berpotensi membahayakan emak, ayah, istri, anak, maupun eyang dan sepupu di kampung. Lagi pula, mudik bukanlah kewajiban yang diperintahkan agama. Silaturahim Lebaran bisa lewat video conference dan ini menjadi pengalaman berlebaran yang berbeda. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler