x

Ilustrasi alat film. Pixabay.com

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 4 Mei 2020 12:24 WIB

Manikebu dan Perfilman Indonesia (oleh Kemala Atmojo)

Persinggungan gerakan Manikebu dengan perfilman Indonesia menunjukkan gerakan itu sangat diperhitungkan. Hingga kini dikenang sebagai salah satu tonggak gerakan kebudayaan yang penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Kemala Atmojo, Pencinta Film

Ketika akhir April lalu Goenawan Mohamad (GM) menulis obituari tentang Arief Budiman dan menyebut soal  Manifes  Kebudayaan, beberapa generasi muda  perfilman Indonesia yang lahir tahun 1980-an bertanya:  “Apa itu Manifes  Kebudayaan dan  adakah hubungannya dengan sejarah perfilman Indonesia?” Tentu saja ada. Seni film sebagai bagian dari kebudayaan termasuk yang diperjuangan oleh gerakan Manifes Kebudayaan, yang diejek musuhnya dengan sebutan “Manikebo” alias sperma kerbau.

Ide  besar dari Manifesto itu, seperti ditulis GM, adalah untuk mempertahankan kebebasan  berekspresi.  Mereka  menolak  kemerdekaan seni  dikorbankan  untuk  perjuangan politik. Di sini saya hanya ingin menambahkan bahwa gerakan ini, dari berbagai serpihan dokumen yang saya punya, benar-benar punya pengaruh atau diperhitungkan dalam sejarah politik kebudayaan kita saat itu, termasuk perfilman Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manifes  Kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang  mengusung humanisme universal. Gerakan ini diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor  Hutasuhut, Goenawan  Mohamad, A.  Bastari  Asnin, Bur  Rasuanto, Soe  Hok  Djin (Arief  Budiman), D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo  Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson  Poyk ,Taufiq  Ismail, M.  Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.

Gerakan ini merupakan respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dalam surat kabar Berita Republik tahun 1963 dimuat teks Manifes Kebudayaan yang ditanda tangani pada 17 Agustus  1963 itu.

Bunyinya:  “Kami  para  seniman  dan  cendekiawan  Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan  politik  Kebudayaan  Nasional  kami. Bagi  kami  kebudayaan adalah  perjuangan  untuk menyempurnakan  kondisi  hidup  manusia. Kami tidak  mengutamakan  salah  satu  sector kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sektor berjuang  bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan  dan  mengembangkan  martabat  diri  kami  sebagai  bangsa  Indonesia  di tengah masyarakat bangsa-bangsa.  Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”

Lalu apa kaitannya dengan dunia perfilman kita? Dalam laporan Musyawarah Besar (Mubes) Panitia  Aksi  Pemboikotan Film Imperialisme  Amerika Serikat (Papfias)  yang berlangsung pada 30 Oktober – 3 November 1964 di Hotel Duta Indonesia, nama Manikebu beberapa kali disebut dengan nada miring. Mereka ditempatkan sebagai “lawan” oleh peserta Papfias yang dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai daerah dan aneka organisasi.

Mubes yang diprakarsai “kelompok  kiri” dan mengaku sebagai “anak kandung Dwikora” itu kemudian menelorkan resolusi tentang politik dan program umum perfilman nasional. Isinya macam-macam. Mulai dari yang sifatnya ideologis sampai hal-hal praktis seperti tentang produksi film, studio, perbioskopan, ekspor-impor, dan  lain-lain. Di antara sekian banyak resolusi itu, mereka mendukung gerakan praktis yang dapat dijalankan dalam waktu singkat di bidang  perfilman dengan menggunakan semboyan “Menjebol  dan Membangun”.

Maksudnya  adalah  menjebol  kekuatan  yang  imperialistis  dan membangun potensi yang nasionalis  dan  revolusioner  di  bidang  perfilman. Salah satu wujud gerakannya  adalah memboikot  film  Amerika  Serikat  dan  asing  lain yang  tidak  sejalan  dengan  mereka dan membubarkan  AMPAI (American  Motion  Picture  Association  of  Indonesia).  Selain  itu, mereka menuntut pembubaran Dewan Film Nasional (DFI) yang dianggap gagal melawan dominasi  film  asing,  khususnya  Amerika  Serikat, sekaligus mereka menuntut retooling pimpinannya, Kolonel  Sukardjo. Mereka ingin dibentuk lembaga  perfilman  baru  yang anggota dan pimpinannya berporos pada Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Lembaga baru itu nantii, kata mereka, harus bersih dari pembela-pembela AMPAI, orang- orang bekas partai-partai terlarang, dan Manikebu. Dalam koran Berita Yudha 17 Maret 1965 diberitakan bahwa sehari sebelumnya telah terjadi demonstrasi  di  bekas kantor AMPAI, Jl.  Segara, yang dilakukan oleh pendukung beberapa organisasi seperti Gerakan Pemuda Marhaenis, Lekra, CGMI, dan lain-lain. Bunyi spanduk yang dibawa oleh sekitar  1.500 orang itu  antara lain berbunyi: “Usir Bill Palmer agen CIA”, “Tutup AMPAI”, dan lain-lain. Bill Palmer adalah ketua AMPAI di Indonesia waktu itu.

Lalu, dalam majalah Purnama, April 1964, terdapat sebuah iklan berupa Ikrar dari seniman dan pekerja film yang terlibat dalam Festival Film Afrika-Asia III. Isinya, antara lain, mereka bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kebudayaan di Indonesia, terutama dominasi imperialis dalam bidang film. Di salah satu alineanya dituliskan: “Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobi-phobian, Manikebu-manikebuan, terutama di bidang film....”

Semua itu menunjukkan bahwa gerakan Manikebu itu memang cukup diperhitungkan oleh lawan-lawannya.

Namun, selain Manikebu, ada gerakan lain yang disebut sebagai kelomok “Mubes Nasakom Penterapan  Penpres  No.  1  Tahun  1964”, yang kemudian disingkat sebagai kelompok “Mubes Nasakom”. Dalam  rangka  penerapan Penpres  1964  itu, mereka mengadakan  Musyawarah  Besar (Mubes) pada 27-31  Oktober  1964  di  Wisma  Nusantara, yang  dipimpin Nyonya  M. Hadijuwono.  Hadir,  antara  lain, Soemardjono,  Wahyu Sihombing, Zulharman Said, N. Anwar Makarim, Affandy Djoko Atmoko, H. Amura, dan masih  banyak  lagi. Penpres 1964 yang  di-mubes-kan  itu  adalah  Penpres yang  ditanda tangani  Presiden Sukarno  pada  5  Maret  1964  yang berisi pembinaan  perfilman nasional.

Penpres  ini menjadi  salah  satu dasar -- selain  Ketetapan  MPRS  Nomor II/MPRS/1960-- tentang pembinaan perfilman nasional. Dalam  acara Musyawarah  Besar  Naskom  yang  dihadiri  oleh  32  organisasi  itu  ada banyak sambutan pejabat diucapkan, makalah dibacakan, dan dilanjutkan dengan rapat-rapat komisi dan akhirnya pernyataan, keputusan, serta resolusi.

Resolusi  pertama mereka adalah  memberi  gelar  kepada  Pemimpin  Besar Revolusi/Panglima  Tertinggi  Angkatan  Bersenjata,  Sukarno,  sebagai Pembina  Agung Perfilman Nasional.

Kemudian, dalam hal pelaksanaan Penpres 1964, resolusinya antara lain, mendukung sepenuhnya  kebijaksanaan  Pemimpin  Besar  Revolusi  di bidang  film  dan  menuntut dilaksanakannya Penetapan Presiden Nomor I tahun 1964 selekas-lekasnya. Nah, yang seram, mereka ingin menyingkirkan semua golongan yang merongrong Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun  1964, karena  perongrongan  itu  berarti menentang  Pancasila  dan Manifesto Politik/Usdek, serta  kebijaksanaan Pemimpin  Besar  Revolusi  Nasional  dan Pimpinan Revolusi  Nasional. Dan  yang  perlu  disingkirkan  juga  adalah “apa  yang  dinamakan “Manikebu”, karena “Manikebu” itu melemahkan Revolusi.

Menurut saya, meski dengan cara keras, semangat para peserta “Mubes Nasakom” ini adalah  untuk  mepertahankan  Pancasila  sebagai  ideologi dasar negara.  Mereka  tidak  saja menolak dominasi asing dalam pengertian Amerika Serikat saja, tetapi juga dominasi yang mungkin  akan  muncul  dari Blok  Timur.  Mereka  menolak  komunisme  dan  berseberangan dengan sekelompok orang lain yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Karena itu, apa yang dilakukan kubu “Mubes Nasakom” itu juga tidak disukai oleh kelompok Papfias. Menurut Papfias, Mubes Nasakom Penterapan Penpres Nomor I Tahun 1964” adalah  “mubes”  yang  khusus  diadakan  untuk menimbulkan  kekacauan  opini umum mengenai  perfilman  umumnya,  dan khususnya  untuk  menjegal  pengaruh  Papfias  yang semakin baik di mata dan hati rakyat.

Intinya Papfias menyimpulkan bahwa  penyelenggaraan “mubes  Nasakom” itu adalah  perbuatan  yang  munafik  dan  bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian  yang elementer  tentang  Nasakom. Menurut  mereka, sesungguhnya  tidak  ada  alasan  untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang  Penpres  Nomor I Tahun  1964  itu,  karena  sejak Penpres  itu dikeluarkan  tidak  ada  orang  yang  menentang  dan  mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres  tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias.

Kedua kelompok  tersebut  (Kelompok  Mubes  Nasakom  dan Kelompok Papfias) sama-sama  mengaku  sebagai  pendukung Presiden  Sukarno. Keduanya sama-sama menganggap bahwa  Penpres  Nomor I  tahun  1964 adalah  sebuah  peraturan  perundang-undangan yang baik dan wajib dilaksanakan. Keduanya sam-sama anti kelompok lain, yaitu Kelompok Manikebu. Namun, antara keduanya tidak saling mendukung satu sama lain.

Ada benarnya juga kecurigaan Papfias itu. Belakangan, tepatnya tahun 1984, dalam salah  satu  bagian  tulisannya, Seomardjono  Demang  Wiryokusumo, peserta  “Mubes Nasakom” menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Papfias. Katanya dalam tulisan itu,  menurut “seorang  tokoh  film  yang memiliki  wawasan  politik”, yang  saya  kira  adalah dirinya sendiri, dikatakan bahwa menjelang peristiwa G 30  S/PKI muncul sebuah gerakan atau kelompok di bawah LEKRA yang menamakan diri Panitia Pusat Aksi Pemboikotan Film Imperialis  Amerika  Serikat  (Papfias).

Munculnya Papfias  ini, menurut Soemardjono, menghancurkan kubu-kubu film Amerika untuk digantikan dengan dominasi film dari blok Timur. Padahal, saat itu Indonesia masih melaksanakan kebijakan politik bebas-aktif. Akibat peristiwa itu, lanjutnya, struktur  perbioskopan  Indonesia  ambruk  dan hampir  runtuh  sama sekali. Siapa yang  rugi, katanya bertanya.

Begitulah sekelumit persinggungan gerakan Manikebu dengan perfilman Indonesia. Gerakan itu sangat  diperhitungkan dan hingga kini dikenang sebagai salah satu tonggak gerakan kebudayaan yang penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia.

Adapun tentang aneka konflik yang pernah terjadi, biarlah semua itu menjadi bagian dari  sejarah bangsa kita di masa  lalu. Tak perlu ada saling dendam. Setiap  bangsa punya kisah perjalanannya sendiri untuk mematangkan diri. Kini saatnya kita menatap masa depan dengan tantangan-tantangan baru yang bisa jadi lebih berat dibanding masa lalu...

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB