x

Corona membuat rakyat menderita

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 29 Juli 2020 08:38 WIB

Perlu Bukti Apa Lagi untuk Meyakinkanmu bahwa Covid-19 Itu Nyata dan Mematikan?

Bagaimana mungkin masih ada orang-orang yang tetap beranggapan bahwa angka-angka itu hanya permainan? Perlu bukti apa lagi untuk membuat percaya bahwa virus Corona pembunuh ini memang nyata dan mematikan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jika kamu masih ragu bahwa Covid-19 itu menyeramkan, sebenarnya tidaklah mengherankan. Sebab, sejak awal beredarnya informasi tentang wabah Corona sampai ke tanah air, banyak orang meragukannya. Bukan hanya orang awam dengan informasi terbatas, tapi bahkan para pejabat penting negeri inipun meremehkan Covid-19 dan menjadikannya bahan kelakar. Padahal mereka pengambil keputusan yang menyangkut hidup puluhan juta rakyat. Merekalah para pendahulu dari orang-orang yang hingga kini masih ragu bahwa Covid-19 itu nyata dan mematikan.

Mungkin kita masih ingat beberapa kelakar yang tidak lucu, tapi justru membuat kita menangis sebab sebagai pejabat tinggi mereka tidak menyadari bahwa ancaman sudah tiba di ambang pintu. Bandingkan dengan pejabat Taiwan yang demikian sigap mengambil keputusan dan tindakan. Andaikan mereka mengambil tindakan lebih awal untuk menekan penyebaran virus Corona, situasi saat ini mungkin akan lebih baik ketimbang yang sekarang kita jalani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cobalah ingat kembali beberapa kelakar itu, di antaranya “Katanya virus Corona enggak masuk Indonesia karena izinnya susah”—ini dikaitkan dengan perizinan bisnis dan yang berkelakar pejabat tinggi. Gelap bukan selera humornya? Meskipun informasi mengenai cepatnya penyebaran dan betapa maut virus ini telah tersedia dari hari ke hari, pejabat kita masih juga bergurau gak jelas. Ini menandakan bahwa alarm peringatan bahaya mereka tidak berfungsi. Bahkan ada menteri yang marah ketika seorang ahli epidemiologi AS mengatakan bahwa semestinya di Indonesia sudah ada kasus.

Selain humor gelap itu, ada humor gelap lainnya. Ada Menko yang bilang: “Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, maka virus Corona tak bisa masuk.” Menko yang lain berkata: “Corona... Corona kan sudah pergi... Corona mobil...” Ada lagi Menteri yang bilang: “kita kebal Covid-19 karena setiap hari kita makan nasi kucing.” Ketika kemudian beliau menteri ini dirawat karena positif Covid-19, tak terdengar kelakarnya; jangan-jangan dia tidak pernah makan nasi kucing. Lalu ada anggota Dewan yang terhormat berbicara dalam sidang: “Ini lebih bahaya MERS dan SARS dibandingkan dengan si Corona, kecuali ‘komunitas rondo mempesona’... Bapak-bapak kalau kena korona yang itu, ngeri kita.”

Mohon maaf saja bila selera humornya mengerikan karena menandakan ketidaktahuan yang berbahaya, sebab mereka pejabat publik. Kilas balik beberapa bulan lalu itu termanifestasi ke dalam kenyataan hari ini ketika wabah belum juga berakhir karena kita terlambat bergerak secara sungguh-sungguh, karena kita sempat meremehkan, karena para pejabat merasa bahwa negara kita bebas dari ancaman Corona dan hendak mengundang turis asing agar datang berbondong-bondong ke Bali, Toba, Raja Ampat, dan seterusnya.

Segala hal yang menyedihkan itu masih terihat dampaknya sekarang pada banyaknya orang yang masih juga tidak percaya bahwa Covid-19 itu ada dan efeknya betul-betul menyeramkan. Mereka beranggapan bahwa kematian ribuan orang itu merupakan akibat dari kerja konspiratif, bukan karena cengkeraman virus Corona dan Covid-19 yang senyatanya. Penganut teori konspirasi mengatakan bahwa yang disebut pandemi ini merupakan hasil konspirasi elite global dan penuh kebohongan; rumah-rumah sakit di luar negeri sepi pasien [kata teman] dan tidak ramai seperti yang diberitakan media asing [media asing bohong], dan seterusnya. Seorang teman juga berkata, “Selama ini kita telah dibohongi.” 

Keyakinan semacam itu barangkali yang mendorong  sebagian orang—kebanyakan anak muda—menggelar aksi di Denpasar, Bali [27 Juli 2020]. Salah satu poster protesnya berbunyi: “Tolak tes Corona sebagai syarat administrasi.” Aksi turun ke jalan ini digelar tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Peserta aksi tidak mengenakan masker dan tidak menjaga jarak di antara sesama peserta. Mudah-mudahan saja tidak ada yang terpapar Covid-19 dan tetap sehat bugar.

Entah bagaimana cara memahami jalan pikiran ini, yang jika ditelaah bakal menyita banyak waktu dan tenaga. Persoalan pikiran ini menjadi rumit karena orang-orang yang percaya bahwa semua kehebohan ini hasil konspirasi kemudian berperilaku sesuka hati dan menolak protokol kesehatan untuk mencegah penularan dan menghentikan penyebaran Covid-19. Padahal wabah sudah berlangsung lebih dari 4 bulan bila dihitung sejak Maret dan jumlah korban tak kunjung menurun.

Sungguh aneh, wafatnya ribuan warga serta gugurnya puluhan tenaga medis dianggap sebagai hal yang lumrah belaka. Mereka yang tak percaya bahwa virus Corona itu nyata telah menyimpulkan bahwa orang-orang itu meninggal karena memang sudah tua, memiliki penyakit bawaan, kelelahan karena kerja merawat pasien, dan alasan lain. Faktanya, banyak anak muda dan anak-anak yang juga meninggal karena Covid-19. Setiap hari korban berjatuhan dan tak kunjung reda, di antaranya orang yang kita kenal dekat. Per tanggal 27 Juli, Satgas mengumumkan bahwa kasus Covid-19 di Indonesia telah menembus angka 100 ribu dan menempati peringkat ke-4 di Asia. Puncak wabah pun belum diketahui kapan terjadi.

Bagaimana mungkin masih ada orang-orang yang tetap beranggapan bahwa angka-angka itu hanya permainan? Perlu bukti apa lagi untuk membuat percaya bahwa virus Corona pembunuh ini memang nyata dan mematikan? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler