x

Perlindungan Sosial bagi kelompok masyarakat yang rentan

Iklan

Mohamad Irvan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Desember 2020

Minggu, 6 Desember 2020 13:01 WIB

Pandemi, Perlindungan Sosial, dan Perlunya Kontrak Sosial Baru

Laporan ILO pada bulan Juni tahun 2020 menyebutkan bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 bedampak besar bagi 3,3 milyar pekerja di seluruh dunia. Kegiatan ekonomi menurun drastis dan mengakibatkan lonjakan pengangguran. Saat ini terjadi peningkatan angka pengangguran di dunia sebesar 10,5 persen, atau setara dengan 305 juta pekerja . Diperlukan perlidungan sosiak bagia ledakan penganggurna ini. Juga bagi mereka yang terdampak pandemi. Perlindungan sosial yang harus bersifat universal. Perlindungan sosial harus didapatkan sejak seseorang masih janin dalam .

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi tantangan maha berat bagi masyarakat di seluruh dunia. Negara-negara di seluruh dunia mengalami krisis multidimensi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Diantara yang sangat berat tersebut adalah sistem pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial di seluruh dunia, karena harus memastikann akses pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial didapatkan oleh  masyarakat yang terkena dampak pandemi.

Krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19 juga telah makin memperlebar kesenjangan yang ada terhadap akses pelayanan kesehatan dan perlindungan sosial. Namun krisis kali ini tidaklah seperti krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 2008. Krisis kali ini lebih parah dari dua krisis ekonomi yang lalu tersebut. Krisis kali ini telah menghancurkan ekonomi rakyat kecil, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal, usaha kecil dan menengah, start-up, pekerja mandiri, pekerja kontrak, pekerja migran, pekerja rumah tangga, dan mereka yang bekerja di sektor pariwisata dan rantai pasokan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Laporan dari International Labour Organization (ILO) pada bulan Juni tahun 2020 menyebutkan bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 telah bedampak besar bagi 3,3 milyar pekerja di seluruh dunia. Kegiatan ekonomi di seluruh dunia menurun drastis dan mengakibatkan melonjak tingginya jumlah pengangguran. Saat ini terjadi peningkatan angka pengangguran di dunia diperkirakan naik sebesar 10,5 persen atau setara dengan 305 juta pekerja penuh waktu (48 jam seminggu). Ini akibat dari perpanjangan dan perluasan tindakan karantina selama pandemi.

Sementara itu sekitar 1,6 miliar pekerja informal yang mewakili kelompok paling rentan di dunia kerja lebih mengkhawatrikan lagi. Dari sekitar 1,6 milar pekerja informal dari 2 miliar di seluruh dunia dan dari 3,3 miliar angkatan kerja global mengalami guncangan sangat besar dalam perolehan penghasilan, dikarenakan mereka bekerja di sektor yang paling terkena imbas pandemi.

Peningkatan tajam jumlah pengangguran dengan sendirinya peningkatan angka kemiskinan. Bank Dunia dalam laporan baru-baru ini memperkirakan adatambahan 88 juta orang akan hidup dalam kemiskinan ekstrim pada 2020 akibat pandemi Covid-19, jumlah ini meningkat menjadi 115 juta. Tingginya pertambahan tingakat pengangguran dan kemiskinan pastinya akan mengakibatkan keresahan sosial, apalagi jika perlindungan sosial tidak berjalan dengan baik, atau masyarakat terdampak pandemi sulit menjangkau akses terdadap perlindungan sosial.

Memang benar bahwa setiap orang dapat tertular virus Covid-19, tak pandang ia miskin atau kaya, ia rakyat biasa, pengusaha ataupun pejabat, semua bisa tertular. Namun menurut WHO, secara epidemiologis, tingkat kematian yang tinggi menyasar kepada orang yang berusia lanjut dan orang yang memang sudah punya penyakit-penyakit kronis seperti asma, tbc, pneumonia, jantung, diabetes, hipertensi, ginjal, dan lain-lainnya.

Namun yang menjadi permasalahan adalah fakta bahwa orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan buruk justru kebanyakan berasal dari kelompok-kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Mereka tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan, tidak mampu membeli obat, makan makanan yang bergizi rendah, hidup di lingkungan yang kurang bersih dan sehat atau kumuh, kesulitan mendapatkan air bersih dan pastinya kelompok-kelompok ini rentan terhadap krisis.

Jenis-jenis pekerjaan mereka memang tidak mungkin untuk menjaga jarak, tidak mampu membeli alat perlindungan diri, menggunakan transportasi yang tidak layak dan tidak memadai, punya waktu istirahat yang sedikit dan tidak cukup, dan yang jelas mereka ini memiliki pendapatan yang kuran atau malah jauh dari hidup layak. Ya, tak bisa kita pungkiri bahwa pandemi telah membuat kesenjangan sosial di masyarakat makin lebar dan parah.

Perlindungan sosial tidaklah cukup hanya sebagai respon saat bencana atau krisis. Perlindungan sosial harus bersifat universal. Ia  harus bisa menjamin tingkat terbawah dari perlindungan sosial untuk semua orang selama masa hidupnya, begitu menurut ILO dalam rekomendasinya tentang ‘Social Ptorection Floor.’ Dengan demikian perlindungan sosial harus didapatkan sejak kita masih janin dalam kandungan sampai kita mati.

Konstitusi kita, Undang-undang Dasar 1945 mengakui hak seluruh penduduk untuk mendapat jaminan sosial yang menjadi tanggung jawab negara. Lalu UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengamanatkan agar Indonesia memiliki suatu jaminan sosial yang menyeluruh atau komprehensif untuk seleuruh penduduk, tanpa kecuali. Dengan demikian perlindungan sosial mencakup bantuan pemerintah bagi penduduk atau kelompok masyarakat yang rentan. Kemudian diikuti dengan lahirnya Badan Penyelenggara Jamainan Sosial, sebagai amanat dari UU SJSN, sebagai penyelenggara jamianan kesehatan universal dan ketenagakerjaan. Sementara untuk pekerja sektor infornal, pemerintah menyelenggarakan Asuransi Kesejahteraan Sosial melalui Kementerian Sosial.

Sebenarnya banyak sekali program-program pemerintah untuk perlindungan dan bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, Beras untuk masyarakt miskin (Raskin), Bantuan langsungt tunai, dan masih banyak lagi.

Dengan sebegitu banyaknya program-program jaminan, perlindungan dan bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan, hak-kan dasar masyarakat terpenuhi, dan perlindungan bagi penduduk dari setiap guncangan sosial ekonomi, dapat terwujud.

Memang benar bahwa pemerintah Indonesia selama terjadinya pandemi telah mengeluarkan setidaknya ada 15 kebijakan untuk perlindungan sosial, diantaranya seperti insentif pajak bagi pekerja formal, kartu pra kerja untuk pekerja yang terPHK, stimulus bagi perusahaan yang tak memPHK pekerjanya, bantuan tunai bagi pekerja dengan upah dibawah 5 juta, dan sebagainya.

Namun pada kenyataannya, terlepas dari berbagai usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia saja masih jauh dari harapan masyarakat, apalagi pengentasan kemiskinan malah lebih jauh lagi. Misalnya, keikutsertaan Pekerja Bukan Penerima Upah  seperti pekerja informal, petani dan nelayan masih sangat minim, sekitar 5 persen dari jumlah pekerja informal. Tak sebanding dengan jumlah pekerja informal yang menduduki jumlah tertinggi, yaitu 70, 49 juta dari jumlah total pekerja sebanyak 126, 51 juta orang (BPS, Agustus 2019). Kelompok pekerja inilah yang disebut dengan ‘The missing middle,’ yaitu mereka yang termasuk pekerja informal, pekerja mandiri, pekerja rumah tangga, pekerja alih daya (outsourcing), pekerja kontrak, pekerja musiman, kaum disabel, dan sebagainya. Jumlah mereka bahkan menduduki 70 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.

Dari berbagai fakta-fakta yang ada temukan kesulitan-kesulitan yang dialami dan dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat rentan dalam mengakses program-program perlindungan sosial. Misalnya dalam kepesertaan PBI (Penerima Bantuan Iuran), banyak kelompok-kelompok masyarakat rentan dan miskin yang belum tahu kalau mereka adalah penerima PBI, karena proses pembuatan kartu dan pengiriman memakan waktu yang lama, yaitu 3 sampai empat bulan. Karena lamanya waktu pembuatan dan pengiriman kartu, dan ketika kartu itu dikirim, si penerima PBI misalnya ternyata sudah pindah tempat tinggal, atau malah sudah mennggal dunia.

Kelompok-kelompok masyarakat rentan dan miskin memang diberi akses tapi tidak di fasilitasi, misalnya tidak di fasilitasi transportasinya dan penginapan, karena fasiliras kesehatan yang jauh dari tempat tinggalnya. Ada seorang anak dari keluarga miskin di Jambi yang mengidap gagap ginjal dan harus cuci darah, sementara fasilitas cuci darah hanya ada di RSCM Jakarta. Untuk sampai ke Jakarta ia butuh penerbangan, dan penginapan di Jakarta. Hal seperti ini tidak difasilitasi oleh pemerintah, hanya berkat solidaritas dan bantuan masyarakat lah kebutuhan si anak pasien cuci darah terpenuhi. 

Jadi tidaklah mengherankan banyak yang urung berobat dan memilih mati hanya karena tidak adanya fasilitas transportasi dan penginapan. Banyak dari  mereka yang tidak mendapatkan layanan yang lebih atau prioritas, adanya tambahan-tambahan biaya yang dikenakan, padahal seharusnya gratis. Banyak yang mengalami mereka diberi resep obat yang harus dibeli sendiri, atau dosisnya dikurang selebihnya beli sendiri, dsb. Juga cakupan kepesertaan dan faedah perlindungan sosial misalnya tak ada jaminan kecelakaan saat bekerja bagi misalnya petani, nelayan miskin atau penjaja bakso keliling.

Carut marutnya pendataaan kependudukan juga menambah panjang daftar kesuliran-kesulitan masyarakat miskin dan rentan ini. Akibatnya banyak program perlindungan dan bantuan sosial yang salah sasaran, misalnya ada orang yamg ekonominya mampu malah dikirimi kartu PBI. Juga banyak masyarakat miskin dan rentan yang tidak memiliki KTP sehingga mereka tak mendapatkan akses perlindungan dan bantuan sosial dari pemerintah. Kisruh bantuan sosial selama pandemi pun juga karena lemahnya pendataan kependudukan, khususnya untuk pendataan masyarakat rentan dan miskin yang paling terkena dampak dari pandemi. Belum lagi program-program perlindungan sosial yang tidak tersosialisasikan dan kurang menjangkau masyarakat miskin dan rentan, sehingga banyak yang tidak tahu dan tak terdata.

Sementara Pememerintah mengungkapkan bahwa perlindungan sosial di Indonesia masih menghadapai 3 kendala utama yaitu;akses mendapatkan pelayanan, kesetaraaan hak dalam mendapatkan pelayanan, dan kualitas pelayanan. Dalam suatu dialog nasional yang diselenggarakan oleh ILO terungkap pula bahwa untuk memenuhi perlindungan sosial di Indonesia ternyata hanya membutuhkan biaya antara 0,74 persen sampai 2,54 persen dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) pada tahun 2020. Dengan demikian pemenuhan perlindungan sosial sebenarnya bukan masalah keterbatasan anggaran negara, melainkan ‘political will’ dari pemerintah.

Perlunya Kontrak Sosial yang Baru

Dunia saat ini sedang mengalami perubahan-perubahan seperti perubahan iklim, perubaha demografi,  konsentrasi kekayaan, dan juga ditandai dengan revolusi industri 4.0. Perubahan tersebut juga memberikan dampak hak masyarakat atas perlindungan sosial. Kebijakan perlindungan sosial di Indonesia dan di negara-negara lain di dunia harus dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut.

Untuk itu dperlukan sebuah kontrak sosial yang baru antara pemerintah, dunia bisnis dan masyarakat sipil. Dengan demikian perlindungan sosial dalam kontrak sosial yang baru adalah perllindungan sosial yang komprehensif, tidak hanya bertujuan mengentaskan kemiskinan, tetapi juga mengurangi kesenjangan, memperkuat ketahanan, meningkatkan penghidupan yang layak dan berkelanjutan, namun juga mampu mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial.

Namun perlindungan sosial bukan sesuatu kita dapatkan sebagai hadiah dan otomatis. Perlindungan sosial akan selalu berada dalam tekanan dan ancaman. Untuk itu perlindungan sosial sangat layak terus menerus diperjuangkan.

Ikuti tulisan menarik Mohamad Irvan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler