x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 2 September 2021 14:49 WIB

Berminat Gak ya Feri Amsari, Zainal Arifin, dan Bivitri Susanti Tinggal di Sangkar Emas Kekuasaan?

Seandainya akademisi kritis yang kini masih berada di luar kekuasaan menerima tawaran untuk tinggal di sangkar emas, maka akan semakin kukuh kekuasaan dan akan semakin lemah masyarakat, tak berdaya lantaran ditinggalkan oleh para cendekiawannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Seorang guru besar hukum di Universitas Indonesia pernah mengritik sejawatnya, para akademisi dan pengajar di kampusnya, bahwa mereka terlampau tunduk pada birokrasi pemerintahan dan mengejar jabatan. Memang aneh, profesi sebagai akedemisi perguruan tinggi sekaligus ilmuwan dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan jabatan pemerintahan.

Banyak ilmuwan, termasuk guru besar, yang merasa terhormat ketika diminta untuk menempati jabatan tertentu, bila bukan menteri atau kepala lembaga ini dan itu, setidaknya jadi staf ahli. Bagaimana mungkin? Tapi itulah realitasnya. Mereka bersedia karena menganggap tawaran itu sebagai jalan untuk mengabdi kepada negara. Frasa seperti ‘bila diminta untuk membantu negara, saya siap’ telah menjadi jargon klise.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benarkah mereka kemudian mengabdi kepada negara dan bangsa, ataukah mereka sebenarnya mengabdi kepada kekuasaan? Banyak ilmuwan dan akademisi yang semula bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan—eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—kemudian berubah sikap manakala sudah masuk ke dalam pemerintahan.

Figur-figur yang semula dianggap memiliki integritas tinggi kemudian tidak terdengar lagi suaranya Mereka lebih suka berdiam diri menyaksikan apa yang dulu selalu mereka kritik. Dengan penuh percaya diri mereka dulu memasuki Mahkamah Konstitusi, kabinet pemerintah, parlemen, Dewan Pengawas KPK, Mahkamah Agung, Istana, maupun institusi lain serta kepanitiaan ad hoc yang berperan strategis, namun  ternyata mereka tidak berkutik. Mereka membiarkan diri jadi bagian sesuatu yang dulu mereka kritik sebagai akademisi.

Mereka ternyata tak sanggup melakukan perubahan dari dalam institusi. Anehnya, mereka tak mau keluar dan memilih tinggal di dalam. Ada yang beralasan, jika mereka keluar, tempat mereka akan diisi orang yang lebih buruk bagi negeri ini. Entah benar, entah tidak.

Boleh jadi mereka telah merasa nyaman berada di lingkungan kekuasaan, merasa enak berada di sangkar emas, sehingga kesadaran sosial mereka perlahan tergerus? Kecerdasan, penguasaan ilmu, serta integritas sebagai ilmuwan/akademisi begitu cepat luntur. Mereka kemudian dengan senang hati menjalani peran sebagai penyusun argumentasi untuk mendukung dan membenarkan kekuasaan.

Banyak nama figur akademisi/ilmuwan yang dapat disebut. Banyak pula yang masih berada di luar lingkaran kekuasaan, sebutlah di antaranya Feri Amsari di Universitas Andalas, Zainal Arifin Mochtar di Universitas Gadjah Mada, serta Bivitri Susanti pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, maupun Faisal Basri di Universitas Indonesia. Sejauh ini, mereka masih bersikap kritis terhadap pemerintahan dan memperkuat barisan masyarakat sipil yang tak bisa mengandalkan parlemen.

Menjadi pertanyaan: sampai kapan para akademisi itu akan mampu bertahan pada posisinya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi masyarakat? Ketika parlemen setali tiga uang dengan eksekutif dan yudikatif dalam memandang berbagai isu negara dan kemasyarakatan, kehadiran para akademisi seperti mereka—serta para aktivis masyarakat sipil—merupakan kebutuhan untuk membantu masyarakat. Namun, jika mereka kelak menyusul sejawat mereka memasuki lingkaran kekuasaan, mampukah mereka mempertahankan integritas mereka ataukah mereka akan mengikuti jejak sejawat mereka—larut dan puas menjadi penyusun argumen untuk membenarkan kekuasaan?

Ada beberapa alasan yang berpotensi mendorong Feri dan kawan-kawan itu untuk menerima tawaran [bila ada pada suatu saat] untuk ikut masuk ke dalam sangkar emas kekuasaan. Pertama, merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi negara [alasan klise]—padahal, di luar pemerintahan pun mereka bisa melakukan hal yang sama. Kedua, ingin mengubah keadaan dari dalam, pertanyaannya: mampukah? [mereka akan berhadapan dengan kepentingan yang tidak ingin diusik]. Ketiga, ingin menerapkan kepakaran ke dalam tataran praktis, pertanyaannya: mungkinkah? [banyak yang bakal merasa terganggu] Keempat, alasan lain yang mereka bisa susun sendiri untuk meyakinkan diri sendiri maupun meyakinkan masyarakat bahwa langkah mereka benar.

Seandainya skenario seperti itu terwujud, akan semakin kukuh kekuasaan dan akan semakin lemah masyarakat—tak berdaya lantaran ditinggalkan oleh para cendekiawannya. Apa kabar Bung Feri, Bung Zainal, Bung Faisal, dan Bu Bivitri--apakah Anda berminat mengikuti jejak sejawat yang terlihat betah berdiam di sangkar emas kekuasaan? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu