Suara di Rumah Ini

Jumat, 12 November 2021 08:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Beberapa riset menunjukkan pekerja tetap produktif dari rumah
Iklan

Terdengar, suara tik tik tik yang tidak pernah kehilangan iramanya, tidak pernah berdetak lebih cepat ataupun lebih lambat  seakan-akan dia adalah waktu itu sendiri. Aku memutar kepalaku ke arah belakang, mencari sumber suara itu. Tidak ada apapun di belakangku. Hanya ada satu buah jam dinding berwarna putih, terletak di atas pintu kamarku. Aku tahu jam itu, aku selalu melihatnya setiap pagi ketika aku bangun dari tidur. 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jam itu sudah lama menetap di dalam kamarku, Ibu yang memasangnya sendiri sampai kaki kanannya harus terkilir karena terjatuh dari tangga lipat yang digunakannya. Tapi, baru kali ini aku mendengar suara dari mesin itu, keras dan jelas.

 

Dengan wajah yang masih basah dari air mata, aku menjulurkan tubuhku melewati meja belajarku untuk membuka jendela kamarku. Begitu sebuah celah muncul di antara dinding pembatas kamarku dan dunia luar, suara kehidupan di dunia luar menyusup masuk ke kamarku. Suara angin dingin yang berhembus. Suara percakapan orang-orang dari tempat yang tidak terlihat dari pandanganku yang terbawa oleh angin ke dalam kamarku. Suara tawa, suara langkah kaki, suara yang menyiratkan kehidupan ada di luar sana.

 

Tubuhku mulai gemetar karena terpaan angin bulan Desember yang masuk dari jendela yang terbuka. Aku terpaksa menutup jendela kamarku dan suara dari dunia luar pun menghilang, dan suara detak jarum jam yang sama kembali terdengar. 

 

Aku menyeka wajahku dengan lengan baju panjangku dan bangkit berdiri dari kursi kayu yang kududuki. Keempat kakinya menggores lantai kayu ketika aku mendorongnya ke belakang, menimbulkan decitan yang menyakitkan telinga.

 

Malam itu aku baru menyadari bahwa rumah yang dibangun oleh Ayah tiga puluh tahun lalu ini sudah terjangkit penyakit tua. Setiap sentuhan dan gerakan di tubuhnya akan menimbulkan suara, seperti tubuh orang berusia 70 tahun yang sedang melakukan peregangan. Ketika aku memijakkan kakiku di lantai, sepelan apapun aku melakukannya, bagian lantai yang kuinjak akan berderit protes. Ketika aku menarik daun pintu kamarku, maka engselnya akan berteriak nyaring.

 

Suara yang dibuat oleh rumah ini keras dan membuat bulu kuduk berdiri. Tapi, malam itu adalah pertama kalinya aku bisa mendengar suara-suara itu.

 

**

 

Kamar Ayah dan Ibu sebenarnya berada di sebelah kamarku. Tapi sejak Ayah mulai terbangun di setiap malam karena batuknya yang tidak bisa berhenti dan bahkan di siang hari, Ayah mulai tidur di lantai bawah di dalam ruangan yang dulu kami pakai sebagai tempat penyimpanan barang. Ibu pernah bilang Ayah tidak mau aku tidak bisa tidur di malam hari karena kondisinya. Padahal, aku tahu bahwa Ayah tidur di lantai bawah karena tubuhnya tidak lagi kuat menaiki tangga.

 

Ibu terkadang masih menggunakan kamar di sebelahku. Tapi di jam-jam yang berbeda di malam hari dia akan bangun dan turun untuk mengecek keadaan Ayah, beberapa kali jatuh tertidur di bangku yang dia taruh di sebelah ranjang Ayah. Aku tahu hal ini karena akulah yang membangunkan Ibu dari tidurnya karena aku tidak bisa tahan mendengar suara batuk Ayah bahkan di malam hari.

 

Aku mengecek ke dalam kamar di sebelahku. Kosong dan gelap. Artinya Ibu masih ada di lantai bawah bersama Ayah atau ada di dapur menyiapkan sarapan besok.

 

Dari ujung tangga, aku mencoba mengintip ke lantai bawah. Lampu berwarna kuning di bagian dapur masih menyala, menyinari bagian bawah tangga. Aku menunggu dan mengamati beberapa saat, tapi tidak ada bayangan yang bergerak ataupun suara orang yang sedang memasak.

 

“...Ibu?”

 

Tidak ada jawaban. Tidak ada suara langkah kaki ataupun pintu yang dibuka untuk merespon panggilanku.

 

Apa Ibu marah dan tidak mau menjawabku karena pertengkaran tadi? Tapi, biasanya Ibu masih tetap akan menjawab, tidak peduli seberapa parahnya kami bertengkar. Ibu tidak pernah mendiamkan aku, semarah apapun dia.

 

Apa aku harus minta maaf dulu baru Ibu akan menjawabku? Apa dengan begitu suara Ibu dan Ayah akan kembali terdengar di dalam rumah ini?

 

Aku berjalan kembali ke dalam kamarku tanpa mengucapkan apapun lagi, lantai kayu yang kupijak menjadi satu-satunya sumber suara di dalam rumah ini.

 

**

 

Malam itu, aku tidak bisa jatuh terlelap. Kedua mataku sudah kututup dengan rapat, tapi tidak ada rasa kantuk sama sekali. Setiap aku mencoba menenangkan pikiranku dengan mengambil nafas yang dalam dan panjang, jantungku akan berdebar lebih cepat seakan tidak ingin membiarkanku untuk merasakan damai. Ada sesuatu yang salah dan tubuhku sedang memberikan peringatan atas sesuatu yang tanpa sengaja terlewat olehku.

Aku bergumam kesal dan mencoba mengubah posisi tubuhku beberapa kali. Ranjangku berderit karena berat tubuhku yang berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain. Setelah beberapa menit yang terasa seperti beberapa jam, aku membuka mataku dan mengubah posisiku menjadi duduk.

 

Tubuhku tiba-tiba gemetar karena terpaan angin dingin yang muncul tiba-tiba. Aku melihat ke arah jendela di kamarku yang masih tertutup rapat. Darimana hembusan angin ini masuk?

 

Pandanganku mengitari keseluruhan ruangan kamarku dan berhenti di bagian pintu. Aku melangkah mendekati pintu dan merasakan lantai kayu yang lebih dingin di sana. Ketika aku membuka pintu dan berjalan ke arah ujung tangga, semuanya masih sama seperti tadi. Hanya saja udara terasa jauh lebih dingin. Padahal rumah ini tidak pernah terasa sedingin ini karena Ibu selalu mengatur penghangat sampai maksimum agar kondisi Ayah terkontrol.

 

Kamar di sebelahku masih kosong. Artinya Ibu masih berada di lantai bawah bersama Ayah.

 

Aku berjalan masuk ke dalam kamar untuk mengambil jaket tebal milikku. Ujung jaket itu tanpa sengaja menjatuhkan kotak pensil yang kuletakkan di meja belajar. Dua buah pen di dalamnya ikut terjatuh ke lantai, menimbulkan suara yang muncul ketika pulpen terjatuh dan beradu dengan lantai kayu. Nyaring di tengah kesunyian malam itu.

 

Suara itu berhasil begitu mengejutkanku sampai aku terdiam di tempat beberapa saat. Aku menggaruk kepalaku, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman di dalam dadaku.

 

Langkah demi langkah aku menuruni tangga menuju lantai dasar. Lampu di dapur masih menyala, tapi tidak ada siapapun di sana.

 

Aku memanggil Ibu. Suaraku terdengar seperti tenggelam oleh suara yang dibuat oleh lantai kayu yang aku pijak, tapi aku yakin suaraku akan terdengar.

 

Beberapa kali aku memanggil Ibu lagi. Setiap kali lebih keras dari sebelumnya. Tapi, tetap tidak ada respon dari bagian manapun di rumah ini.

 

Ujung-ujung jari tanganku terasa dingin, sedikit kaku karena suhu yang terlalu rendah. Tapi anehnya, telapak tanganku malah berkeringat. Kedua kakiku tidak ingin beranjak lebih jauh dari tempatku berada. Entah karena mereka kedinginan atau ada alasan yang lainnya.

 

Jika Ibu tidak ada di dapur, maka Ibu akan ada di dalam kamar Ayah. Duduk di sebuah kursi keras di sebelah Ayah, seperti yang dilakukannya berjam-jam sebelumnya. Mungkin Ibu sedang tertidur di sana, atau melipat baju-baju yang baru kering, atau mengelap dahak yang keluar dari mulut Ayah ketika gejala batuknya muncul.

 

Ah.

Kenapa aku baru bisa sadar sekarang apa yang salah dengan malam itu? Kenapa aku tidak bisa tidur seperti ada sesuatu yang selalu hadir di malam hari tapi absen pada malam itu?

 

Aku tidak mendengar suara batuk Ayah sejak aku mendengar suara detak jam di kamarku.

 

Aku berjalan perlahan menuju ruangan yang dipakai oleh Ayah sebagai kamarnya. Pintu kamarnya tertutup, tapi aku bisa melihat cahaya yang menyelinap keluar dari bawah pintu.

 

“Ibu… Aku minta maaf karena aku berteriak keras ke arah Ibu tadi.”

 

Tangan kananku memegang gagang pintu, gemetar. Rasanya aku tidak punya kekuatan di tanganku. 

 

“Aku tidak benci…” Suaraku mulai tercekat karena air mata dan ingus yang mulai menyumbat hidungku. “Aku tidak pernah benci tinggal di sini. Aku tidak pernah benci Ibu dan Ayah.”

 

Aku menunggu jawaban dari dalam ruangan itu. Jika Ibu ada di dalam, dia pasti akan mendengar suaraku dan menjawab. Ibu tidak pernah mendiamkanku, semarah apapun dia. Tapi yang menjawabku hanyalah kesunyian.

 

Dengan pandangan yang buram karena air mata, aku membuka pintu itu. Daun pintu itu terdorong peralahan, menampilkan isi kamar itu sedikit demi sedikit. Cahaya lampu berwarna orange kini menyelimutiku. Begitu aku melihat Ayah dan Ibu, aku hanya bisa berteriak. Teriakan yang akhirnya akan menghilang di dalam kesunyian malam.

 

**

 

Terdengar.

 

Suara percikan api yang hampir mati di perapian. Suara angin yang berembus di luar, menyebabkan kusen jendela kamar ini bergetar dan bergesek. Suara lantai kayu yang kududuki saat ini. Suara nafasku. Hanya milikku. 

Bagikan Artikel Ini
img-content
jennifer dwicahyani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Apa yang Kamu Takutkan

Senin, 22 November 2021 19:29 WIB
img-content

Suara di Rumah Ini

Jumat, 12 November 2021 08:58 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua