x

Iklan

jennifer dwicahyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Senin, 22 November 2021 19:29 WIB

Apa yang Kamu Takutkan

Kita takut dengan apa yang bersembunyi di dalam kegelapan. Kita takut akan sesuatu yang tidak bisa kita lihat, rasakan, ataupun pahami dengan akal sehat. Sampai datang hari dimana sumber dari rasa takut itu diletakkan di bawah lampu terang, rasa takut itu akan selalu menetap dan menghantui.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nina ingat ketika dia, kakak perempuannya Cynthia, ayah dan ibunya berdiri tepat di depan rumah baru mereka lima belas tahun yang lalu. Tembok rumah itu dicat pink dengan pintu pagar yang juga dicat dengan warna yang senada. Satu pohon mangga besar yang berada di antara rumah dan pagar memberikan keteduhan di teras rumah dengan daun-daunnya yang lebat.

Ini bukan rumah kita, rumah kita ada di gang yang lain, dengan cat rumah berwarna krim. Nina yang berusia tujuh tahun saat itu tidak mengerti kenapa ayah dan ibunya membuka pintu pagar rumah orang lain, bahkan sampai masuk ke bagian dalam rumahnya. Baru sampai ibunya memberitahu Nina bahwa itu adalah rumah baru mereka, Nina mulai berteriak kegirangan seperti mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya.

Mengekor di belakang Cynthia seperti kebiasaannya sejak dulu, Nina kecil mulai menjelajahi isi rumah itu seperti karakter kartun yang dia tonton, Dora The Explorer. Mulai dari lantai dua dengan kamar tidur utama dan kamar yang nanti dia akan pakai bersama Cynthia yang diisi dengan kerangka bunk bed berwarna pink, ke dapur dan ruang makan dan sofa keras berwarna hijau lumut yang menyapa mereka begitu mereka memasuki rumah ini. Tempat terakhir yang belum dikunjungi Cynthia dan Nina adalah satu kamar tidur di lantai bawah, tepat di sebelah ruang tamu dan kamar mandi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nina ingat kamar tidur itu sejak dulu terlihat sederhana, diisi oleh perabotan seadanya. Hanya ada sebuah kasur berukuran king size dan lemari pakaian yang dilapisi cermin di sebelah kanan pintu masuk. Sebuah lukisan bergambarkan beberapa petani yang sedang memanen di ladang padi yang berwarna keemasan digantung di atas kasur itu. Di dalam kamar itu terdapat sebuah jendela yang menghadap ke arah pagar rumah, dimana Nina bisa melihat ke arah jalanan dan pohon mangga besar di halaman rumahnya.

Kamar tidur di lantai bawah itu adalah sebuah kamar biasa di sebuah rumah biasa. Tapi, di ingatan Nina kamar tidur itu bukan sesuatu yang biasa, bukan sesuatu yang seharusnya tidak membekas di ingatan sampai belasan tahun lamanya. Nina ingat merasa takut akan kamar itu. Apa alasannya? Nina sendiri tidak tahu, sampai akhirnya dia merasa terlalu lelah dengan ketakutan tidak berbentuk ini.

**

Nina merasakan bibirnya mulai membentuk sebuah senyuman yang kemudian berubah menjadi tawa kecil. Takut akan satu ruangan di rumahnya sendiri terdengar bodoh jika dia pikirkan ulang. Bahkan dirinya sampai rela menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk mencari tahu penyebab ketakutannya. Dari jawaban sederhana seperti adanya hantu penunggu di sana sampai ke faktor psikologis Nina kecil di lingkungan baru, semua dia telaah dan cermati.  Dan ternyata jawabannya ada di dalam ingatannya sendiri. 

Sebuah ranjang king size menjadi hal yang pertama Nina lihat begitu membuka pintu kamar. Lukisan para petani itu sudah dipindahkan ke ruang tamu oleh ayahnya, untuk menyambut penghuni baru rumah ini besok. Tercium bau cat yang cukup menyengat dari dalam kamar, sehingga Nina memutuskan untuk tidak menutup pintu kamar tersebut.

Nina membuat sebuah panggilan keluar. Suara tuut tuut tuut terdengar melalui speaker smartphone di genggamannya, menunggu orang yang ditelepon untuk menerima panggilannya. Cepat angkat, cepat angkat...

“Halo, Na? Ada ap…”

Nina tidak bisa menunggu kalimat orang itu selesai.

“Halo, Kak Cyn? Maaf ganggu, aku tahu Kakak masih di kantor tapi aku butuh bertanya sesuatu.” 

Nina duduk di atas kasur. Punggungnya tegak dan kaku seperti bongkahan kayu. Sepasang matanya terpaku akan pintu kamar yang tertutup dengan sempurna, memisahkan dirinya dengan dunia luar.

“Kamu mau tanya apa memangnya?”

“Iya, lagi iseng saja, tiba-tiba kepikiran,” Nina mencoba tertawa untuk meringankan suasana di kamar itu, “Kak Cyn ingat kita suka ketakutan sendiri sama kamar di lantai bawah di rumah baru kita?” 

“Mm-hm?” Cynthia membalas dengan gumaman penuh ragu.

“Itu semua karena Anita, kan? Karena dia pernah membuat cerita sembarangan tentang kamar ini, kita jadi ketakutan sendiri, benar kan?” Nina tidak memberikan jeda untuk dirinya sendiri menarik nafas di antara pertanyaan-pertanyaannya. Adrenalin mengalir deras di dalam pembuluh darahnya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan energi meluap-lupap dari tubuhnya.

Tapi Cynthia yang berada di balik telepon tidak menyadari apa yang terjadi dengan NIna. Cynthia malah menjauh dari teleponnya dan mulai berbicara dengan orang lain untuk beberapa saat. 

“Maaf, maaf tadi dipanggil bos,” Ucap Cynthia santai, “Tapi, maksud kamu gimana, Na?”

Suara Nina meninggi satu oktaf karena sikap Cynthia. “Dulu, lho. Waktu kita masih kecil, Anita, sepupu kita datang bermain ke rumah baru dan kita main petak umpet. Lalu begitu selesai bermain, Anita bilang ketika dia bersembunyi di kamar di lantai bawah, dia merasakan hal yang aneh-aneh. Itu bohong, kan? Benar, kan?”

“Whoa, whoa, whoa,” Cynthia berkata, “Kamu kenapa sih? Kok sampai marah-marah begini?”

Nina tersentak oleh pertanyaan Cynthia. Kenapa dia harus sampai seemosi ini hanya untuk membicarakan hal ini?

Tangan kirinya yang bebas menyeka dahinya yang basah karena keringat. Suhu di kamar itu seharusnya sejuk, mengingat jendela yang terbuka seharusnya membawa angin malam sejuk usai hujan di sore hari tadi. Tapi, yang Nina rasakan malah kebalikannya. Udara di kamar itu terasa panas dan sumpek, ditemani oleh bau cat menyengat yang seperti menumpulkan indra-indranya setiap dia menarik nafas. 

“Maaf…” Nina menarik nafas panjang, lalu lanjut berbicara, “Aku hanya… Aku hanya merasa perlu tahu apa aku benar atau tidak. Tapi, aku benar, bukan?”

Tembok kamar itu terlihat lebih dekat daripada sebelumnya. 

“Aku mana mungkin ingat hal seperti itu, Na. Kita tinggal di sana sudah lama, mana bisa aku ingat kejadian belasan tahun yang lalu.”

“Tapi, bagaimana bisa kamu tidak ingat? Ini… Ini kan hal yang spesial?”

“Na, aku jujur nggak punya ingatan seperti itu. Kalau kamu ngotot begini, ya mungkin memang benar. Lagipula, kenapa kamu tiba-tiba tertarik dengan kamar itu? Selama ini kamu bahkan tidak mau masuk ke dalamnya.”

Nina dan tembok kamar itu hanya dipisahkan oleh tiga ubin lantai sekarang. Sepasang matanya terpaku akan daun pintu kamar itu. Tidak pernah menempati kamar itu sebelumnya, Nina tidak tahu apakah pintu kamar itu bisa dikunci atau bahkan mempunyai kunci yang berfungsi. Tapi, Nina punya perasaan bahwa pintu kamar itu sekarang dalam keadaan terkunci dari luar.

Cynthia memutuskan panggilan telepon mereka setelah namanya dipanggil sekali lagi oleh bosnya. Sekarang Nina benar-benar sendirian di dalam kamar itu.

Nina tidak mengeluarkan suara, tetapi di dalam kepalanya bagian-bagian sel otaknya sedang berteriak dan menjatuhkan satu sama lain. Ada bagian dirinya yang mempertahankan argumen bahwa Anita-lah sumber dari ketakutannya. Ada bagian dirinya yang mengatakan itu bukan Anita, tapi Nina yang bersembunyi di dalam kamar itu dan mengarang cerita untuk menakuti orang lain. Ada bagian dirinya yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah bermain petak umpet di rumah baru itu dan ini adalah ingatan yang dikarang oleh Nina dalam pencariannya menemukan suatu penjelasan akan ketakutannya.

Ketika Nina berjalan masuk ke dalam kamar itu, dia berpikir dia telah menemukan sumber rasa takutnya, menyeretnya ke bawah cahaya lampu dan memotongnya kecil-kecil untuk diteliti. Dan ketika sumber rasa takut itu menjadi potongan kecil di bawah cahaya lampu, dia tidak lagi merasa takut. Yang Nina butuhkan berikutnya hanyalah pembuktian dari orang lain bahwa teorinya ini benar.

Tapi saat ini, jawaban dari Cynthia malah membuatnya meragukan apakah yang dia potong kecil-kecil adalah kebenaran dari apa yang dia cari.

Nina melihat ke arah depan. Dinding kamar itu sekarang berdiri tepat di ujung ranjang. Sesuatu di dalam lemari pakaian bergerak meronta ingin keluar. Sesuatu di luar jendela menggedor kaca jendela berteriak ingin masuk.

Rasa takut itu kembali dan kini menelan Nina lebih dalam.

**

Ikuti tulisan menarik jennifer dwicahyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Penumbra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu