x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Februari 2022 08:06 WIB

Sanggupkah Para Dewan Bersikap Rendah Hati?

Arogansi kekuasaan itu muncul karena seseorang merasa lebih tinggi atau lebih kuat dibandingkan orang lain dalam konteks relasi kuasa. Dalam dirinya muncul hasrat untuk diperlakukan secara terhormat oleh orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berkat kekuasaan, kepercayaan diri seseorang berpotensi terdongkrak, bahkan hingga mencapai tingkat di mana arogansi mulai muncul. Ya, arogansi yang berasal dari perasaan memiliki kekuasaan, sehingga seseorang merasa berkuasa serta memperlakukan orang lain secara berlebihan. Mengapa berlebihan? Karena sebenarnya masih ada cara lain yang lebih sederhana tanpa mengesampingkan substansinya, cara yang tidak memperlihatkan arogansi kekuasaan dalam berhubungan dengan orang lain.

Arogansi kekuasaan itu muncul karena seseorang merasa lebih tinggi atau lebih kuat dibandingkan orang lain dalam konteks relasi kuasa. Dalam dirinya muncul hasrat untuk diperlakukan secara terhormat oleh orang lain, terlebih dari orang yang ia pandang posisinya lebih lemah dibandingkan posisinya sebagai anggota Dewan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di DPR, kita menyaksikan bagaimana arogansi para anggotanya ditunjukkan secara verbal: Sekjen Kementerian Sosial diusir dari ruang rapat dengan salah satu komisi lantaran dianggap kurang sopan dalam berkomunikasi, para komisioner Komnas Perempuan diusir juga karena datang terlambat ke ruang rapat, hingga seorang anggota DPR meminta Jaksa Agung mencopot pejabat di lingkungannya karena berbahasa Sunda di dalam rapat.

Kabar terakhir disampaikan media, Menteri Kesehatan Budi Sadikin kena semprot anggota DPR karena tidak menatap wajah anggota yang sedang berbicara dalam rapat bersama. Anggota Dewan itu menilai sikap Menkes itu tidak menghormati anggota DPR. Entah jika Menkes Budi seorang menteri yang berasal dari partai politik; boleh jadi anggota DPR itu tidak akan mengeluarkan kata-kata pedas.

Sesungguhnya, semua hal yang dipersoalkan oleh para anggota Dewan itu dapat diselesaian dengan cara yang lebih sederhana. Bila anggota Dewan merasa dikecewakan dan tidak dihormati, cukuplah sampaikan perasaan itu dengan cara yang santun. Tindakan mengusir, meminta pejabat dicopot, hingga menyemprot dengan kata-kata pedas di hadapan banyak orang itu hanya mungkin dilakukan karena para anggota Dewan merasa lebih tinggi posisinya dalam relasi kuasa dengan pihak lain.

Dalam urusan lain di luar ruang sidang DPR, arogansi itu juga diperlihatkan ketika masa pandemi sedang tinggi, anggota Dewan meminta perlakuan khusus, sementara rakyat kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Belakangan media juga mengungkap ada anggota Dewan meminta perlakuan khusus hingga urusan nomor kendaraan—dan tidak ada tindakan apapun ketika diketahui ia menggunakan nomor yang sama untuk lima kendaraan. Apakah ia warganegara istimewa?

Di mata rakyat, para anggota Dewan justru terlihat arogan. Arogansi ini diperlihatkan pada cara mengabaikan pendapat, suara, dan aspirasi rakyat yang seharusnya mereka perjuangkan. Ketika musim kampanye pemilihan, mereka mendatangi rakyat, tapi bukan untuk mendengarkan suara rakyat, melainkan untuk berkoar-koar di panggung kampanye dan mengobral janji-janji. Manakala sudah terpilih dan duduk di pemerintahan dan parlemen, mereka semakin enggan mendengarkan suara rakyat, sibuk berbicara dengan sejawat sendiri. Mereka asyik membicarakan ini dan itu tanpa ingin tahu apa kehendak rakyat banyak.

Tidak layakkah bila rakyat kecewa dan kesal pada para Dewan? Tapi rakyat bisa apa? Para Dewan tahu benar bahwa rakyat tidak akan mampu berbuat apa-apa sekalipun para Dewan telah mengecewakan rakyat. Dan mereka, para politisi di DPR itu, menikmati relasi seperti itu bahkan terhadap rakyat yang memilih mereka. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler