x

Mempertimbangkan dan mempertanggungjawabkan.

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Selasa, 1 Februari 2022 07:24 WIB

Keadilan ala Jaksa Agung: Korupsi di Bawah Rp 50 Juta Bisa Tak Perlu Diproses Hukum


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelemahan pemberantasan tindak pidana korupsi seakan telah disusun secara terstruktur dan sistematis. Rentetan peristiwa pelemahan beberapa tahun terakhir, telah membawa angin segar bagi para pengeruk uang negara. Dari segi kontruksi hukum,  pelemahan ini dapat dilihat dari lahirnya UU No 19 Tahun 2019 yang melemahkan independensi KPK dengan memposisikannya menjadi bagian rumpun eksekutif meski frasa sebagai Lembaga independen masih ada dalam UU tersebut. Di susul pencabutan PP No 99 Tahun 2012 yang secara substansi memberikan kesempatan yang sama bagi semua narapidana untuk  mendapat remisi termasuk koruptor tanpa membedakan syarat pemberian.

Di sisi lain dari segi internal KPK, pelemahan pemberantasan korupsi merujuk pada pemecatatan beberapa pegawai KPK yang memiliki kemampuan dan integritas tinggi dengan dalih belum lolos TWK. Dan yang terbaru adalah bagaimana lantangnya Jaksa Agung RI Sanitar Burhanundi menyatakan bahwa korupsi dibawah Rp 50 Juta tidak perlu diproses secara hukum dengan syarat pengembalian kerugian keuangan negara saja.

Kritik Jaksa Agung

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merujuk pada pernyataan Jaksa Agung, dapatlah dipahami bahwa sangat terang bagaimana semangat pemberantasan korupsi mulai redup dikalangan kejaksaan. Hal ini juga sekaligus mewadahi korupsi dengan kerugian negara dibawah 50 juta terus berkembang secara masal. Padahal, jika ditinjau dari segi kerugian, belum tentu besaran kerugian negara akibat korupsi sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat.

Selain itu, Mengacu pada pasal 4 Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas adanya bahwa mengembalikan uang hasil korupsi tak serta merta menghapus tindak pidana yang dilakukan. "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

Mengenai korupsi di bawah Rp 50 Juta bisa tidak perlu diproses hukum, juga bertentangan dengan ketentuan pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang tidak mengatur mengenai jumlah minimal uang yang dikorupsi.

Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor:

  • Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  •  Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam aturan tersebut, sangat jelas dan terang tak ada batasan minimal jumlah uang yang dikorupsi sehingga seseorang bisa merdeka dan tak dihukum karena sudah mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh perilaku koruptifnya.

Jaksa Agung juga mengklaim bahwa mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum cepat, murah, dan sederhana. jika klaim itu benar, lalu apa kabar dengan sebuah kasus seperti dilansir Merdeka.com, Rabu (26/01/22) Vonis hakim Dominggus Silaban di Pengadilan Negeri Medan lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut terdakwa dengan hukuman 3 tahun penjara.  "Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun, dikurangi masa tanahan," ucap hakim.

Dimana keadilannya, korupsi paling besar Rp. 50 juta diperintahkan untuk tidak diproses hukum, sementara mencuri Rp.100 ribu dituntut 3 tahun dan berakhir dengan vonis 2 tahun penjara. Jika mengacu pada pernyataan Jaksa Agung, seharusnya sejak awal pencuri yang mengambil uang Rp. 100 ribu itu tak perlu diproses hukum.  Cukup menggati uang kerugian korban lalu pelaku bisa dibebaskan.

Mengenai dampak, mencuri mungkin hanya merugikan pihak perseorangan, sedangkan korupsi bisa jadi merugikan khalayak ramai karena merugikan keuangan negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Keduanya jelas merupakan tindakan yang salah, dan secara hukum berapapun jumlahnya ketentuan hukum bersifat wajib untuk dijalankan. Jika tidak ya ubahlah aturannya dengan tegas batasan jumlah kerugian yang diperbolehkan untuk di curi atau dikorupsi. Jadi para pencuri dan para koruptor tahu berapa banyak yang harus dicuri dan dikorupsi agar tak dihukum. Jika kemudian diarahkan pada keadilan, seharusnya yang adil adalah pencuri uang Rp.100 ribu itu dibebaskan saja, dengan syarat mengembalikan uang Rp. 100 ribu tersebut.

Sebagai penutup, fiat justitia et pereat mundus, hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa. Tak peduli dunia sedang diguncang badai, pandemi, perang, dan situasi buruk lainnya, pantang hukum meletakkan mahkotanya.

           

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler