x

Minyak murah, oprasi pasar di Banten, dijual Rp 14.000 per kg. Foto- Ist.

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 11 Februari 2022 12:03 WIB

Ironi Minyak Goreng di Negeri Rayuan Pulau Kelapa

Terkait kelangkaan minyak goreng dengan harga terjangkau, pernyataan Menteri Perdagangan Lutfi bahwa swasta tidak bisa mengatur pemerintah, apa iya? Tadi pagi harga satu liter masih Rp 20 ribu. Tidak goyah oleh jurus kewajiban eksportir untuk memasok jumlah minimal tertentu untuk pasar dalam negeri, tidak pula goyah oleh aturan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Lagu Rayuan Pulau Kelapa kembali terngiang di telinga, mengajak wisata ke masa lampau. Sayup-sayup lagu ciptaan Ismail Marzuki itu terdengar, kadang jelas, kadang lamat-lamat. Itu pertanda berakhirnya siaran radio RRI malam hari. Itulah lagu yang mengundang kerinduan pada tanah air bagi siapapun yang tengah berada di rantau.

Negeri ini memang kaya pantai, dan karena itu kaya nyiur. Ketika minyak goreng tidak lagi dibikin dengan teknologi lama—dulu orang membuat kopra dan minyak kelapa dengan cara tradisional, orang-orang kaya kemudian menanam kelapa sawit. Berhektar-hektar. Teknologi jadi penting, sebab produksi minyak tak bisa lagi dilakukan dengan cara lama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harga minyak yang menggiurkan, jadi alasan orang kota masuk kampung, mencari lahan untuk ditanami kelapa sawit. Jadilah kini, petani kelapa sawit bukan lagi penduduk kampung. Mereka orang-orang berduit yang di dalam benaknya hanya berseliweran cuan.. cuan...

Ada empat korporasi besar yang menurut media massa mengatur pasokan minyak goreng beserta harganya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Koran Tempo edisi Senin, 31 Januari 2022, menulis bahwa empat produsen besar ini menguasai 46,5% pasar minyak goreng nasional. KPPU sedang mengusut kemungkinan kartelisasi oleh pengusaha besar, sehingga pemerintah kalang kabut dalam menjamin ketersediaan minyak goreng di pasar.

Jika KPPU tak mampu bekerja cepat, maka dampak kelangkaan minyak goreng bisa serius bagi masyarakat. Bukan saja dari sisi ekonomi kehidupan rakyat terganggu, sebab para pedagang dan ibu rumah tangga merasakan beban berat bila harus membeli minyak goreng dengan harga mahal. Situasi ini juga berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan bila pedagang dan ibu rumah tangga terpaksa memakai minyak goreng berulang kali demi menghemat pengeluaran.

Tapi ternyata, di luar soal isu kartelisasi, Koran Tempo juga menulis perihal tersendatnya pasokan minyak goreng. Diduga, sebagai ditulis Koran Tempo, program pencampuran 30% minyak kelapa sawit dengan solar, yang dikenal sebagai B30, telah menyedot pasokan yang biasanya disalurkan untuk pasar minyak goreng.

Kok bisa begitu? Alasannya, karena program biodiesel ini cuan banget—insentifnya sangat menggoda bagi produsen minyak kelapa sawit agar mau menyalurkannya ke program biodiesel. Tahun ini, kabarnya, menurut Koran Tempo, program biodiesel ditopang oleh 22 perusahaan minyak kelapa sawit. Nilai insentif bagi penyaluran minyak ke biodiesel ini, menurut Koran Tempo, mencapai triliunan pada tahun 2021 lalu. Entah siapa yang tega memanen cuan di tengah kesulitan rakyat.

Uniknya pula, insentif ini difasilitasi oleh aturan dalam UU Cipta Kerja. Bisnis kelapa sawit dan turunannya tampak sangat menguntungkan, terutama karena dukungan pemerintah. Tragisnya, rakyat kesusahan  mendapat minyak goreng dengan harga terjangkau. Sementara itu, kebijakan pemerintah terlihat jungkir balik karena jurus-jurusnya tidak mempan memperbaiki keadaan pasar demi menyelamatkan rakyat banyak.

Jadi, terkait kelangkaan minyak goreng dengan harga terjangkau, pernyataan Menteri Perdagangan Lutfi bahwa swasta tidak bisa mengatur pemerintah, apa iya? Tadi pagi harga satu liter minyak goreng masih Rp 20 ribu. Tidak goyah oleh jurus kewajiban eksportir untuk memasok jumlah minimal tertentu untuk pasar dalam negeri, tidak pula goyah oleh aturan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu.

Lagu Rayuan Pulau Kelapa itu kembali terngiang: “Memuja pulau... nyiur di pantai... berbisik-bisik...rajaa kelanaaaa..”

Entah apakah para juragan kebun sawit dan sekaligus juragan minyak goreng pernah mendengar lagu gubahan Ismail Marzuki itu atau tidak, bagi mereka mungkin lebih penting mendengarkan rayuan cuan... >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler