x

Legenda Candi Prambanan

Iklan

S Prasnowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Senin, 21 Februari 2022 08:39 WIB

Legenda Candi Prambanan

diceritakan oleh S. Prasnowo

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Alkisah... Dahulu kala, hiduplah seorang raja bersama putrinya. Raja itu adalah Prabu Boko dan anaknya bernama Roro Jongrang. Mereka hidup dalam istana yang megah dan luas. Negeri kekuasaan Prabu Boko pun sangatlah luas. Meski begitu, sang raja masih ingin terus menambah wilayah kekuasaannya. Nalurinya sebagai raja setengah reksasa tidak pernah membuatnya merasa puas dengan miliknya.

         Suatu hari, Prabu Boko memanggil perdana menterinya. Ia berencana merebut kekuasaan Kerajaan Pengging. Ia mendengar kabar bahwa negeri itu sangat subur, tetapi rajanya sudah tua dan tidak memiliki tentara sebanyak tentara kerajaannya.

“Patih Gupala... Siapkan pasukan bala tentara kerajaan kita. Aku ingin menaklukkan Kerajaan Pengging,” perintah sang raja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sendhiko... Gusti Prabu,” jawab Patih menerima perintah.

Sang perdana menteri pun segera menyiapkan rencana perang. Bala tentara juga ditambah dari negeri-negeri yang sudah dikuasainya.

        Hingga waktu yang ditentukan tiba, pasukan Kerajaan Boko berbondong-bondong menuju Kerajaan Pengging. Patih Kerajaan Boko mengumpulkan 1.000 tentara berpedang, 900 pemanah, dan 45 satria sakti mandraguna. Demi memenuhi hasrat menaklukan negeri subur itu, Prabu Boko juga ikut dalam rombongan perang tersebut.

     Setibanya di sana, pasukan Kerajaan Pengging yang sudah mengetahui rencana penyerangan itu sudah bersiap. Namun, Raja Pengging tidak menyangka pasukan Kerajaan Boko amatlah banyak. Dia segera meminta tentaranya memanggil anaknya yang sedang bertapa di gunung.

       Tidak lama masa penyerangan, Kerajaan Pengging porak poranda. Bahkan, Raja Pengging tewas di tangan Prabu Boko. Tidak lama setelah itu, tibalah putra Raja Pengging. Ia sangat marah karena penyerangan kerajaan ayahnya itu. Kematian ayahnya menambah besar kemarahannya. Ia masuk ke medan perang, lalu berteriak dengan lantang:

“Aku...Bandung Bondowoso, putra Raja Pengging. Akan kuhukum mati kalian...”

***

           Ratusan jin segera muncul, lalu mengamuk setelah putra mahkota Kerajaan Pengging itu merapal mantra. Langit bergemuruh. Angin bertiup kencang. Ratusan tentara berpedang, pemanah, dan satria sakti tewas dalam waktu sekejap. Medan perang pun dibanjiri darah.

       Setelah berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Boko, Bandung Bondowoso membunuh Prabu Boko. Sesuai aturan perang pada masa itu, maka Kerajaan Boko menjadi negeri kekuasaan Kerajaan Pengging. Bandung pun menjadi Maharaja menggantikan ayahnya. Ia segera menuju Kerajaan Boko untuk mengambil semua barang berharga di sana, termasuk putri kerajaan itu.

“Aku datang ke sini sebagai raja baru kalian. Kumpulkan semua harta kerajaan, aku akan membawanya ke Pengging.”

“Baik, Baginda Raja,” kata pasukan Kerajaan Boko. “Putri Kerajaan Boko, Roro Jonggrang, juga sudah siap di kamarnya, Baginda. Silakan Baginda menemuinya.”

         Selesai dengan urusan pengalihan kekuasaan, ketika mentari di ufuk barat, Bandung masuk ke kamar Putri Kerajaan. Ia tidak berniat membawa putri itu karena mengira putri itu seperti ayahnya yang setengah raksasa. Akan tetapi, setelah melihat wajah sang putri, Bandung jatuh hati. Cintanya pun tumbuh seketika.

“Putri, kaulah Roro Jonggrang putri Prabu Boko?” tanya Bandung dengan lembut.

“Ya, akulah Roro Jonggrang putri Prabu Boko, yang tewas di tanganmu,” jawab Roro Jonggrang lirih.

“Maafkan aku, Putri... Aku hanya menjalankan kewajibankanku sebagai Pangeran Kerajaan Pengging. Ayahmu telah menyerang kerajaan ayahku. Bahkan, ia telah membunuh ayahku juga.”

“Ya, semua memang kesalahan ayahku. Lalu, apa maumu sekarang Pangeran Bandung?” sahut Jonggrang dengan nada kesal.

“Kini aku adalah raja dari Kerajaan Pengging dan juga Kerajaan Boko. Aku ingin menjadikanmu ratuku, Diajeng Jonggrang.”

“Apakah aku harus menuruti kemauanmu itu, Baginda Maharaja Bandung Bondowoso? Setelah kau membunuh ayahku, lalu aku harus menjadi ratumu? Begitu???” jawab Roro Jonggrang sinis.

“Kau tentu masih merasa marah kepadaku, Diajeng. Namun, kau harus tahu bahwa aku telah jatuh cinta padamu, Diajeng. Apa yang harus aku lakukan agar kau mau menerima cintaku?”

“Lupakan saja perasaanmu itu, Baginda. Saat kau membunuh ayahku di medan perang itu, saat itu juga aku telah mati bersamanya. Pasti mudah bagimu untuk mendapatkan wanita sebagai ratumu, Baginda...”

“Tidak, Diajeng Jonggrang... Haruskah kukatakan seribu kali lagi bahwa aku mencintaimu?”

“Tidak, Baginda... Aku akan terus berkata TIDAK...”

“Mintalah sesuatu padaku, duhai Jonggrang... Apa pun permintaanmu itu, aku akan menurutinya. Adakah permintaan darimu agar kau yakin denganku, Diajeng?”

          Kamar luas nan megah Roro Jonggrang menjadi saksi bisu kesedihannya. Keluasan dan kemegahan kamar sang putri itu menjadi tak sebanding dengan kesedihan, kemarahan, dan keraguannya menghadapi Bandung. Hingga akhirnya terhembus desir napas Bandung di tengkuknya. Roro Jonggrang pun segera  menjawab pertanyaan Bandung yang berdiri di dekatnya itu.

“Baiklah, Baginda. Jika kau memang sungguh mencintaiku dan ingin aku menjadi ratumu, buatlah seribu candi sebagai tanda cintamu itu.”

“Baik, Jonggrang. Akan segera kubuatkan seribu candi megah sebagai tanda cintaku padamu,” sahut Bandung menyanggupi.

“Namun, aku ingin seribu candi itu dibangun dalam waktu semalam. Besok aku ingin melihat seribu candi itu sudah berdiri di wilayah Kerajaan Boko ini.”

***

            Tidak ingin membuang waktu, Bandung Bondowoso segera pergi ke tengah padang luas di luar istana Kerajaan Boko. Ia merapal mantra untuk memanggil ratusan jin dan makhluk gaib yang selalu setia kepadanya. Dalam sekejap mata, muncullah bala bantuannya. Mereka pun segera membangun puluhan dan kemudian menjadi ratusan candi batu yang megah nan indah.

           Hanya dalam waktu beberapa jam; puluhan, lalu ratusan candi terbangun. Malam  gelap yang bertabur bintang ditemani melodi sayup benturan batu-batu cadas yang sedang disusun menjadi candi. Seorang dayang mencuri lihat para jin sedang membantu Bandung Bondowoso saat itu. Ia berpaling, lalu berlari kecil menuju kamar Sang Putri.

“Putri... Gawat... Can...can...candi...,” lapor sang dayang kepada majikannya.

“Apa yang gawat, Dayang? Cepat katakan dengan jelas.”

“Can...can...candi-candi sudah terbangun, Tuan Putri. Gusti Bandung Bondowoso memanggil pasukan jin untuk membantunya. Bagaimana ini...Tuan Putri???”

“Perintahkan semua dayang dan rakyatku tercinta untuk menumbuk padi di wilayah timur dan menebarkan bunga-bunga di sekitar rumah mereka. Dan, aku perintahkan sebagian tentara kerajaan membakar Jerami di wilayah timur.” 

***

         Setelah rencananya dilakukan, Roro Jonggrang beserta iringan dayang-dayang istana mendatangi Bandung Bondowoso. Bandung menyambut gembira kedatangan wanita pujaan hatinya.

Diajeng Roro Jonggrang kekasih hatiku... Apakah kau sudah tidak sabar untuk melihat persembahan cintaku padamu?”

“Tentu saja, Baginda... Namun, apakah itu mungkin, Baginda???” Roro Jonggrang membalas kehangatan sambutan Bandung dengan perasaan sinis. Ia tidak sabar menyaksikan keberhasilan rencananya dalam menggagalkan usaha Bandung Bondowoso.

          Secara perlahan, cahaya merah kekuningan muncul di wilayah timur kerajaan. Aroma wangi bunga pun semerbak di udara. Malam seperti akan berganti menjadi pagi. Semuanya itu adalah rekayasa Roro Jonggrang.

“Apa yang kau lakukan, Diajeng? Aku tahu ini masih malam hari,” kekesalan Bandung mulai muncul di hatinya.

          Tidak hanya itu, suara alu penumbuk padi yang biasanya menjadi pertanda waktu pagi tiba pun terdengar di mana-mana. Ayam-ayam jantan rakyat Boko juga mulai berkokok sekencangnya. Para jin dan makhluk gaib bala bantuan Bandung Bondowoso pun panik, lalu berhamburan. Mereka berlarian pergi dari komplek candi yang sedang mereka bangun karena takut akan mentari pagi.

       Roro Jonggrang menyuruh tentara kerajaannya untuk menghitung jumlah semua candi yang terbangun.

“Jumlahnya 999 candi, Baginda Maharaja... Baginda tidak bisa mempersuntingku. ”

“Apa yang kau lakukan ini...jahat, Jonggrang... Kau licik,” sahut Bandung penuh amarah.

“Kau gagal, Bandung... Jangan pernah berpikir sedikit pun untuk menjadikanku ratumu.”

“Baiklah, Jonggrang... Cukup sampai di sini kelicikanmu. Aku akan menggenapkan jumlah candi-candi ini menjadi seribu. Dan, kau...adalah yang yang keseribu...”

        Maka, terbentuklah Candi Sewu atau ‘candi seribu’. Roro Jonggrang pun berubah wujudnya menjadi patung batu dalam candi yang keseribu setelah dikutuk oleh Bandung Bondowoso. Meski marah dan kesal dengan penolakan Roro Jonggrang, ia tetap ingin mengenangnya sebagai cinta abadi dalam candi. Kini komplek candi di wilayah Prambanan, Yogyakata itu dikenal dengan nama Candi Prambanan.

 

Ikuti tulisan menarik S Prasnowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler