x

medsos sebagai kekuatan penekan

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Jumat, 25 Februari 2022 07:15 WIB

Viral for Justice: Medsos, Kekuatan Penekan Era Keterbukaan Informasi Digital

Medsos tidak hanya sebatas ruang berbagi informasi, berjejaring sosial, bersosialisasi, atau berasosiasi di era digital. Medsos adalah sebuah fakta sosial baru dengan segala aspek positif dan negatifnya bagi publik. Kehadirannya tidak lagi hanya menjadi media alternatif yang berani mengambil sikap berbeda, tetapi juga media tandingan bagi media arus utama. Bahkan, kini medsos telah muncul sebagai kelompok penekan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Adalah fakta bahwa medsos juga sudah menjelma sebagai jurnalisme netizen telah berdampak terhadap perubahan cara kerja demokrasi seperti bagaimana mobilisasi politik dan kampanye, polarisasi politik, perangkat pemerintahan, dan kelangsungan hidup rezim berkuasa (Gilardi, 2016). Terkadang medsos memainkan peran peradilan di luar pengadilan atau mahkamah, yang dikenal dengan istilah “trial by the netizen atau trial by the social media”

Bahkan, saat ini media sosial muncul sebagai kelompok/kekuatan penekan pada era keterbukaan informasi digital. Bahkan, kata Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, netizen akan menjadi kelompok penekan yang paling kuat dalam membangun opini di era perkembangan teknologi media sosial sekarang ini (19/11/2017). Salah satunya ditunjukkan oleh munculnya fenomena teranyar di ruang medsos yang cukup menarik dan menghentak pada akhir tahun 2021 (Oktober—Desember).

Viral for Justice: Antara Kecewa dan Harapan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena tersebut tidak lain adalah isu “Viral for Justice” atau “No Viral No Justice”, yang kemudian diikuti oleh tagar #PercumaLporPolisi, #SatuHariSatuOknum, hingga #PercumaAdaPolisi. Isu yang dibawa adalah bahwa aparat penegak hukum (kepolisian) seharusnya mampu melaksanakan penegakan hukum secara adil bagi setiap warga, tanpa diskriminasi apapun (equality before the law).

Berdasarkan catatan Kompas (17/12/2021), setidaknya, ada empat kasus viral yang ditangani oleh kepolisian di tahun 2021. Tetapi, tidak mendapatkan respon yang memadai dalam persepsi WargaNet. Yaitu: pelecehan seksual pegawai KPI (September); pemerkosaan tiga anak di Luwu Utara (Oktober); kasus bunuh diri mahasiswi NWR (Desember); dan kasus warga Pulogadung yang menjadi korban pencurian (Desember).

Di satu sisi, fenomena ini mengekspresikan kekecewaan WargaNet atas kinerja aparat kepolisian yang dianggap “abai, kurang peduli/responsif” terhadap kasus-kasus yang menimpa masyarakat kecil. Tetapi, fenomena ini juga sekaligus memuat harapan besar WargaNet agar aparat kepolisian bisa menegakkan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum. Pada titik ini, medsos telah menjelma sebagai “alat penegakan hukum” (law enforcement tools).

Di sisi lain, fenomena ini merupakan bentuk mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital, dan merupakan simbol dari kebangkitan media sosial (medsos) sebagai kekuatan penekan (pressure group).

 

Kilasan Sejarah

Sejatinya, fenomena seperti ”Viral for Justice” atau “No Viral No Justice” bukan hal baru. Bila dirunut, dalam sejarah medsos di Indonesia kemunculan medsos sebagai kekuatan atau kelompok penekan (pressure group) pernah terjadi beberapa kali, serta berdampak signifikan dan sistemik terhadap kebijakan publik.

Pada tahun 2009 muncul fenomena perseteruan antarlembaga penegak hukum, yaitu Polri dan KPK yang kemudian dipersepsi kasus bernuansa kriminalisasi KPK dan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice). Fenomena ini disimbolisasi dalam analog “Cicak vs Buaya”. Dalam catatan, kasus ini terjadi dalam 3(tiga) jilid pada dua masa kepresidenan.

Jilid I (2009) terjadi ketika Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK; Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan dua komisioner KPK ini memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi. Tak pelak, Presiden SBY pun angkat bicara.

Jilid II (2012) terjadi KPK mengusut kasus dugaan korupsi simulator SIM yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Aksi KPK ini mendapatkan reaksi dari pihak Polri untuk menangkap penyidik KPK, Komisaris NB yang dituduh terlibat aksi penganiayaan berat saat masih bertugas di Kepolisian Daerah Riau. Kembali Presiden SBY angkat bicara.

Jilid III (2015) terjadi ketika KPK menetapkan Komjen BG sebagai tersangka. Aksi ini direaksi oleh kepolisian menangkap Wakil Ketua KPK, BW. Kasus inipun viral dan menjadi trending topik dengan taar #SaveKPK dan #SavePOLRIKPK. Seperti kasus jilid I & II, pada kasus Cicak vs Buaya jilid III Presiden JW pun angkat bicara setelah viral #WhereAreYouJokowi, dan Komjen BG batal dilantik menjadi Kapolri.

Pada tahun 2014, medsos diviralkan dan trending topik oleh gerakan kritik dan protes WargaNet terhadap UU No. 22/2014 yang memutuskan pemilihan kepala daerah melalui Lembaga perwakilan rakyat/DPRD (psl.1:5), bukan oleh rakyat melalui Pilkada. Gerakan protes WargaNet yang disimbolisasi melalui tagar #ShameOnYouSBY, #ShamedByYou; #ShamedByYouAgainSBY. Gerakan protes ini sukses “menekan” Presiden SBY, Partai Demokrat, dan Koalisi Merah Putih (KMP) untuk membuat Perpu Nomor 1/2014 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No.1/2015. Yang menarik adalah, dalam salah satu konsiderannya menyatakan bahwa UU No.22/2014 “telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009”.

Pada tahun 2015, ada fenomena kasus korupsi dan pelanggaran etika yang melibatkan Ketua DPR. Fenomena ini merupakan isu terpanas, viral dan menjadi trending topik dalam berbagai kanal medsos dengan label “Papa Minta Saham”. Bahkan, kasus ini karena memiliki implikasi politik praktis yang tak tertandingi oleh isu lainnya, mengalahkan empat kasus panas lainnya, yaitu pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri, gejolak rupiah, bencana asap, dan hukum mati terpidana narkoba. Akhirnya, Sang Ketua DPR secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya (16/12/2015).

Pengunduran diri Sang Ketua DPR disampaikan melalui surat resmi dan dibacakan secara terbuka di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Sekitar sebulan lebih lamanya kasus ini menjadi puncak perhatian tak tergantikan, dan menjadi headline berkali-kali, serta mengundang perdebatan sarat emosional diantara WargaNet. Fenomena pengunduran diri seorang Ketua DPR ini baru pertama kali terjadi di Indonesia akibat “tekanan” WargaNet.

Selain empat kasus di atas, ada beberapa kasus lain yang viral dan menjadi trending topic di kanal medsos, yang mengindikasikan betapa dahsyat kekuatan Warganet (netizen), dan tidak bisa diabaikan sebagai kekuatan kelompok penekan baru di era digital.  

 

Kemunculan Kelompok Penekan

Secara teoretik, kelompok penekan (ada juga yang menyebut dan menyamakan dengan “kelompok kepentingan” atau interest groups) pertama kali dikemukakan oleh Maurice Duverger dalam karyanya “Les Partis Politiques” (1951). Duverger mendefinisikan kelompok penekan sebagai individu-individu (individuals), aktor-aktor non-pemerintahan (non-state actors) yang mengelompok atau mengorganisasi diri dalam suatu perkumpulan, organisasi atau sejenisnya.

Tujuan utama kelompok ini adalah mempengaruhi pemerintah, pengambil keputusan, legislator, bahkan institusi meliter agar melakukan perubahan kebijakan publik (politik, ekonomi, hukum, dll.) sesuai dengan tuntutannya. Kelompok penekan bisa bersifat “partisan” atau “non-partisan”, dan/atau kedua-duanya. Tergantung bagaimana relasi dan kesamaan pandangan/pemikiran antara mereka dengan kelompok-kelompok politik tertentu terkait dengan isu dan kebijakan publik (Khanna, 2018; Bone, 1958; Givarian & Jahromi, 2016).

Kelompok penekan merupakan kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang memiliki karakteristik:1) memiliki organisasi yang baik (well-organized) dengan struktur yang ketat (strictly structured), 2) fokus pada upaya memberikan tekanan (pressure) kepada isu kebijakan publik, 3) beranggotakan individu/pelaku yang memiliki minat dan perhatian khusus pada bidang tertentu, 4) sangat protektif dan promotif dalam mewujudkan tujuan kelompok yang menjadi pengikat keutuhan kelompok (Social Science:141).

Dalam negara dan masyarakat demokrasi, keberadaan dan peran kelompok penekan atau disebut juga “kelompok kepentingan” (interest groups) sangat vital. Mereka dapat mempromosikan, mendiskusikan, memperdebatkan, dan memobilisasi opini publik terkait dengan isu-isu yang menjadi perhatian publik. Mereka juga dapat mengedukasi publik, memperluas wawasan publik, meningkatkan partisipasi demokratik, serta mengangkat dan mengartikulasikan berbagai isu yang berkembang di publik terkait dengan kebijakan pemerintah dan/atau pengembil kebijakan.

Untuk mencapai tujuan kelompok, mereka melakukannya dengan berbagai cara, seperti banding, petisi, demonstrasi, picketing, lobbi, atau prosesi. Selain itu, mereka juga menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, panflet, jumpa pers (press release), kampanye, debat dan diskusi yang teorganisasi, poster, dan slogan. 

Karakteristik Medsos sebagai Kelompok Penekan

Sebagai kelompok penekan, medsos memiliki kesamaan dengan kelompok-kelompok penekan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kecuali pada aspek organisasional/institusional.

Pertama, bersifat “terbuka”, tidak memiliki organisasi atau institusi resmi dengan struktur kepemimpinan dan keanggotaan yang ketat dan permanen. Pembentukannya lebih bersifat insidental, temporal sesuai dengan ada tidaknya isu atau masalah publik yang lagi viral, menjadi trending topic atau menjadi perhatian atau sorotan publik secara luas. Sifat “terbuka” ini sangat memungkinkan medsos sebagai kelompok penekan menjadi gerakan yang sangat ekspansif yang melibatkan sebanyak mungkin individu WargaNet dengan seluruh sumber daya yang terdapat di ruang digital.

Kedua, medsos sebagai kelompok penekan secara umum bersifat non-partisan, berasal dari seluruh kalangan/lapisan masyarakat. Tetapi, bisa juga bersifat partisan yang mendukung dan berafiliasi pada kelompok tertentu, bahkan pemerintah. Fenomena ini bisa ditengarai dalam kasus munculnya kelompok buzzer (pasukan siber) yang diinisiasi dan digerakkan oleh  politisi, partai politik, organisasi massa, dan kalangan swasta tertentu yang berkepentingan dengan isu/masalah yang lagi menjadi perhatian publik (Farisi, 2021b). 

Ketiga, motif perlawanan WargeNet melalui medsos lebih bersifat spontan, didasarkan pada kesadaran reflektif diri-sendiri, rasa simpati, peduli, rasa senasib sependeritaan, dan kesadaran bersama atau kolektif atas keadaan yang merenggut hak-hak individu/sosial yang kurang dipedulikan oleh kekuasaan. Karakter ini, tidak lepas dari dasar pembentukannya sebagai kekuatan sosial baru yang terbentuk dari para pekerja keras atas dasar dedikasi, dan sukarela, serta di bawah kontrol dan kuasa masyarakat klas-bawah (Farisi, 2021b).

Keempat, gerakan medsos seperti kelompok penekan lainnya, merupakan gerakan berbasis “mobilisasi publik” dalam bentuk “boikot” atau “penggiringan opini”. Tujuannya adalah memberikan tekanan (pressure) kepada pemerintah, pengambil keputusan, legislator, bahkan institusi meliter agar melakukan perubahan atas kebijakan yang menyangkut kepentingan dan menjadi isu publik.

Kelima, medsos sebagai kelompok penekan juga dapat menjadi institusi sosial dalam rangka pendidikan publik yang bersifat populis dan bottom-up. Tentu saja, dengan catatan, mereka konsisten menjaga sikap independensi kelompok, fokus dan komitmen pada keadilan dan perjuangan untuk kepentingan publik, serta tidak partisan.Tampaknya, fenomena medsos sebagai kelompok penekan akan menjadi trend atau role model gerakan mobilisasi kekuatan publik di era virtual/digital pada masa-masa mendatang (al Habsy, 2022).

 

Tangsel, 24 Februari 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler