x

Ilustrasi Bunga Matahari. Gambar oleh Bruno /Germany dari Pixabay

Iklan

jihan ristiyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Minggu, 5 Juni 2022 19:06 WIB

Hari itu, Kujatuhkan Hatiku Sepenuhnya

Meski bukan kali pertama, jatuh cinta tetaplah sesuatu yang misterius. Mendebarkan. Kau tak akan pernah tahu, kapan dan mengapa ia bisa sampai ke relung hatimu. Tak butuh usaha untuk sampai di sana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagian 2,

Minggu ini terasa berbeda bagi Maria Oktaviana. Bukan karena arah angin yang tiba-tiba bertiup dari barat . Atau hujan yang datang sekenanya. Bahkan saat ayam jago belum berkokok.

Sore nanti, ia punya janji temu dengan seorang pria bernama Arsyad Pratama. Janji untuk membawanya pergi ke pantai. Sedari pagi, gadis itu  telah disibukkan mimilih baju, menyetrika, menyiapkan peralatan yang akan ia bawa. Sesuatu yang jarang ia lakukan. Bahkan saat hendak berangkat kerja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia terbiasa mengambil lipatan baju teratas. Tanpa memusingkan warna atau model. Melihat tingkah lakunya pagi ini, Maria terkekeh. Menertawakan dirinya sendiri.

Waktu masih menunjukkan pukul 12 siang . Mereka baru akan bertemu pukul 3. Tapi Maria telah duduk di atas motor dan bersiap berangkat menuju Surabaya. Ia sengaja datang lebih awal. Agar ia memiliki waktu. Untuk sedikit menata diri. Dan memberi polesan gincu di bibirnya. Wajahnya tampak sumringah.

Pukul 3 tepat ia menemui Arsyad di tempat yang telah mereka sepakati. Seperti biasa, lelaki itu  mengenakan jaket jin, dibalik kaos yang ia kenakan. Dengan celana jin dan batang rokok di tangan.

Maria  tersenyum dan menyapa. Tak ada ekspresi berlebih. Layaknya sesuatu yang saat ini berkecamuk di hatinya. Sangat kontras. Sepertinya, gadis itu berhasil menyembunyikan perasaannya.

Ia meyakinkan dirinya berkali-kali. Bahwa, ini hanya perjalanan seorang kawan. Tidak lebih. Dan Maria tahu, tak seharusnya ia menaruh harap lebih. Jika tak ingin kecewa.

Manusia adalah makhluk yang sukar ditebak. Terlebih hatinya. Sangat rentan berubah-ubah. Kau akan terluka jika menggenggamnya terlalu erat.

Maria tak ingin hatinya patah seperti yang  lalu. Perpisahan yang menyakitkan. Rasa sakit yang menganga hingga tahun-tahun berlalu.

Barangkali, merasa kehilangan sudah jadi tabiat manusia. Rasa sakit yang amat menyebalkan. Sesak yang memekikkan. Meski begitu. Tak ada manusia luput darinya.

Arsyad mengambil alih kemudi. Ia tidak datang dengan tangan kosong, ada termos panas yang ia bawa. Tak ada penjelasan atau pun pertanyaan. Digantungkannya termos kecil itu di bagian depan motor.

Kini mereka berada dalam satu kemudi. Perbincangan receh sesekali terdengar. Tak jarang, sunyi lebih  mengakrabi. Tatapan Maria sepenuhnya teralihkan pada punggung lelaki di depannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai menjalari isi kepala.

Kenapa lelaki di depannya bersedia meluangkan waktu untuknya. Jauh-jauh berkendara? Bukankah mereka tidak cukup dekat untuk melakukan perjalanan berdua? Mungkinkah dia hanya sekadar ingin mencari teman untuk menghirup udara segar? Apakah ini keisengan?

Iseng?

Jika iya, Maria benar-benar bodoh. Karena menganggap perjalanan ini spesial.

Tapi keraguan itu toh tak bisa menghentikan perasaannya. Maria senang bisa berada tepat dibelakang punggung lelaki itu. Ingin ia memeluknya dan mengatakan perasaannya. Tapi barangkali ini terlalu cepat.

Dalam perjalanan, Mereka  memutuskan pergi ke alun-alun Batu terlebih dulu. Sebelum akhirnya berlabuh di pantai. Tujuan utama mereka. Sesampainya di alun-alun, mereka menyantap sate kelinci. Sesekali diselingi dengan obrolan.

Hari mulai petang, tak banyak kata-kata yang keluar. Maria tahu mengapa ia yang banyak bicara dengan banyak orang tiba-tiba terasa kaku. Seolah lidahnya kelu. Tapi ia masih bertanya-tanya. Kenapa keheningan juga merasuki lelaki di sampingnya? Kenapa? Atau ini hanya perasaannya semata?

Apapun itu, Maria sadar betul. Ia gugup duduk di samping pria yang diam-diam ia ingini.  Arsyad memecah keheningan, mengajak Maria pergi ke toko penjual susu sapi kemasan. Ia berkelakar, susu yang dijual di sana sangat enak. Ada banyak rasa yang bisa dipilih.

Maria berdiri, diikuti langkah kaki Arsyad. Kedua tangan lelaki itu sekarang berada di pundaknya. Mengiringi langkahnya dari belakang.

"Perasaan apa ini, kenapa tumbuh begitu pesat," guman Maria.

Saat Maria masih bingung, akan rasa susu apa yang ia ingin beli. Arsyad justru mengambil semua rasa. Katanya,  biar gak repot. Maria tertawa kecil. Lelaki itu benar-benar tahu cara memecah sunyi.

Hari sudah larut, mereka beranjak dari alun-alun batu menuju pantai. Malam yang sunyi tak lagi bisu. Kali Ini gurauan dan candaan lebih akrab di telinga mereka. Kebisuan itu mulai terkikis. Sesekali Maria mencubiti perut lelaki di kemudi motor itu. Tertawa bersama. Seolah tak pernah ada kesunyian dalam tawa mereka.

Bersambung

Ikuti tulisan menarik jihan ristiyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler