x

Istana Disney di Disneyland

Iklan

Rahmadean Alifani Purwatiana, S.Ars.

Mahasiswa Arsitektur S-2, sedang belajar menulis.
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Senin, 20 Juni 2022 19:03 WIB

Disneyization dalam Industri Taman Wisata Kita

Kenapa hari ini banyak berdiri taman wisata bertema luar negeri, misalnya tema Eropa di kawasan Lembang? Apakah ada kaitan khusus Lembang dengan negara-negara asing itu? Dulu, kalau ada pertanyaaan wisata paling terkenal di Lembang, jawabannya adalah gunung Tangkuban Parahu, Pemandian Air Panas Ciater atau Observatorium Bosscha. Sekarang nama-nama itu bahkan bahkan tak nongol di halaman pencarian Google. Mau kemanakah industri wisata kita?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Waktu saya kecil, Lembang sangat dikenal dengan wisata alamnya. Orang-orang pergi ke Lembang untuk refreshing, melepas kepenatan dari suasana kota dengan melihat pemandangan alam yang bikin badan dan hati segar kembali.

Dulu kalau ada yang tanya wisata apa yang paling terkenal di Lembang, saya akan jawab gunung Tangkuban Parahu, Pemandian Air Panas Ciater atau Observatorium Bosscha. Tergantung tujuannya: mau menikmati pemandangan alam pegunungan perginya ke Tangkuban Parahu; mau piknik dan berendam untuk kesehatan perginya ke Ciater; kalau penasaran dan mau lihat seperti apa peneropongan bintang, perginya ke Bosscha.

Sekarang di bulan Juni 2022, kalau kita ketik "wisata di Lembang" di Google, ketiga tempat yang dulu saya asosiasikan sebagai tempat wisata terkenal di Lembang itu, justru tidak muncul dalam halaman pertama hasil pencarian. Foto-fotonya pun tidak ada. Di halaman pertama itu justru yang muncul adalah sederetan nama-nama taman wisata yang beragam, disertai foto-foto. Menariknya, sekaligus juga janggal, foto-foto itu menampilkan imaji yang mirip: replika bangunan dan suasana lansekap seperti di luar negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menarik, karena ternyata hari ini sudah banyak berdiri objek wisata baru berupa taman wisata bertema, yang lebih dikenal dibanding wisata alam yang dulu saya kenal. Janggal, karena kok semua taman-taman wisata itu mempromosikan hal yang sama? Kurang lebih begini narasi soal wisata Lembang dari sebuah website:

“Negara-negara Eropa punya sejumlah warisan arsitektur keren berusia puluhan abad. Asyiknya, kini kamu tak perlu terbang jauh-jauh ke Benua Biru untuk berfoto ala-ala di depan bangunan apik tersebut. Ada beberapa tempat wisata di Lembang Bandung ala Eropa yang bisa kalian manfaatkan. Deretan wisata Lembang Bandung ala Eropa menawarkan miniatur bangunan berarsitektur luar negeri untuk meramaikan selfie kamu. Meski tak semegah aslinya, dijamin bakal menghasilkan foto luar biasa. Penasaran?”

Iya, saya penasaran. Tapi bukan penasaran pengen lihat ‘miniatur bangunan-bangunan warisan arsitektur Eropa yang keren’ itu, tapi karena: kenapa hari ini banyak berdiri taman wisata bertema luar negeri, terutama tema Eropa di Lembang? Apakah ada kaitan khusus antara Lembang dengan negara-negara di luar sampai banyak taman wisata yang menawarkan tema tersebut?

Penasaran, saya coba cek satu website paling atas yang merekomendasikan 35 tempat wisata di Lembang. Saya coba klasifikasikan dan menemukan dari 35 tempat wisata yang direkomendasikan, 12 tempat diantaranya memiliki tema suasana luar negeri; hampir sepertiganya. Saya coba cek akun Instagram dari keduabelas tempat tersebut, dan melihat hampir selalu ada elemen ini dalam lingkungannya: replika bangunan berarsitektur khas negara luar (mulai dari rumah pedesaan Belanda, kastil ala Eropa, sampai ke replika gerbang sakral kuil Jepang Senbon Torii); lengkap dengan pengunjung yang berfoto ceria menggunakan kostum pakaian tradisional berbagai negara. Sepertinya model wisata seperti ini laris dan sangat digemari wisatawan akhir-akhir ini, sampai ada banyak sekali taman wisata yang menawarkan konsep sama.

Di taman wisata bertema suasana luar negeri seperti ini, kita bisa berfoto ‘seolah-olah’ sedang berada di pedesaan Belanda yang cantik, kemudian dengan mudah berpindah negara lalu berfoto ‘seolah-olah’ di Jepang sedang menikmati bunga sakura tanpa harus benar-benar mengalami jet lag setelah menyebrang antar benua. Hasilnya, tentu saja foto ciamik yang bisa kita upload di sosial media kita. ‘Ini loh, saya sedang  ada di Belanda! Belanda cabang Lembang’ ; mungkin kira-kira begitu bayangan saya kalau kita upload foto berlatar suasana luar negeri di taman wisata tersebut. Yah, Belanda cabang Lembang pun nggak apa-apa, yang penting cantik untuk dijadikan konten! Istilah sekarang, Instagrammable. Selain spot-spot untuk berfoto, taman wisata seperti ini biasanya menawarkan atraksi seperti naik perahu atau kereta; memberi makan binatang; dan kalau lapar kita bisa makan di restoran/café yang ditawarkan.

Tapi sebenarnya kenapa taman wisata dengan konsep ini jadi menjamur di Lembang? Padahal kayaknya semua taman-taman wisata itu sama aja. Nggak ada bedanya kalau kita pergi ke Taman Wisata A atau ke Taman Wisata B dan C, karena keduanya menawarkan konsep serupa: foto di depan replika bangunan luar negeri, untuk diupload di Instagram sambil jalan-jalan menggunakan kostum pakaian tradisional negara yang kita mau. Kalaupun ada bedanya, saya rasa hanya beda sedikit: harga tiket, jenis tempat makan, dan atraksi tambahan selain berfoto. Yang tetap mendominasi dan paling utama dijual itu narasi seolah-olah kita sedang di luar negeri, yang suasananya dihadirkan dalam replika atau miniatur bangunan berarsitektur ala Eropa atau Asia.

Pertanyaannya: kenapa fenomena ini bisa terjadi? Kenapa hari ini wisata Lembang didominasi oleh taman-taman wisata bertema luar negeri yang sama sekali tidak merepresentasikan Lembang itu sendiri?

Lembang: dari Wisata Alam ke Leisure Park (Taman Wisata)

Sejak dulu Lembang dikenal sebagai daerah pertanian. Masih banyaknya area perkebunan dan lahan pertanian menghadirkan pemandangan yang sejuk, hijau, asri, enak dipandang mata. Pergi ke Lembang adalah pelarian sejenak untuk refreshing dengan keindahan alamnya. Istilah anak zaman sekarang healing. Bukankah dekat dengan alam membuat kita selalu merasa lebih baik?

Suasana Lembang yang seperti ini disukai wisatawan lokal maupun luar kota/provinsi. Terbukti tiap akhir pekan arus kendaraaan dari dan ke arah Lembang selalu padat. Wisatawan lokal bisa plesir kesini dengan mudah tanpa perlu menginap. Tinggal pulang-pergi aja karena jaraknya dekat. Namun wisatawan luar kota atau provinsi terkendala jarak tempuh dan waktu untuk perjalanan, belum lagi sekarang sering macet parah. Rasanya kita lebih menyukai berhenti di satu tempat wisata yang mengakomodasi semuanya: ada atraksi wisatanya, bisa istirahat sejenak atau nginap, dan beli oleh-oleh. Semuanya di satu tempat yang sama, terpusat dan terintegrasi agar kita menempuh perjalanan dan berhentinya sekali aja. Tempat wisata dengan fasilitas seperti itu dikenal dengan istilah leisure park atau taman wisata.

Menurut Ir. Eliezer Widagdo, seorang arsitek spesialisasi bidang perancangan arsitektur resort & leisure, leisure park adalah fasilitas untuk bersantai, berekreasi, berwisata, melepaskan ketegangan sendiri maupun bersama orang lain (keluarga/teman) sehingga sepulang dari kegiatan ini, seseorang merasa terpuaskan, bugar fisik dan terutama segar mental. Leisure park ini adalah bentuk perkembangan dari theme park. Theme park ini contohnya Dufan (Dunia Fantasi), taman wisata yang memiliki banyak wahana dengan peralatan mesin. Leisure park atau taman wisata ini mulai naik di tahun 2014 dan dinilai paling cocok di Indonesia karena counter-nya variatif, semua sumber daya yang dibutuhkan ada di Indonesia, dan tidak mahal (tidak seperti theme park yang bisa mencapai trilyunan karena harus mengimpor mesin wahana dari luar negeri). Sepertinya memang betul konsep leisure park ini cocok di Indonesia, terbukti dari menjamurnya tempat ini dimana-mana, termasuk di Lembang.

Dalam leisure park atau taman wisata biasanya ada 3 hal yang harus diperhatikan: akses (mudah dijangkau pengunjung), amenities (kenyamanan, kebersihan toilet, dsb), dan atraksi. Atraksi berkaitan dengan yang bisa kita nikmati dan biasanya beragam untuk memaksimalkan pendapatan: untuk fotografi, wedding space, artivity, seni dan budaya, villa, spa, kuliner, wahana, shop art market, dan sebagainya. Di era sekarang, menurut Pak Widagdo, semua sudut harus layak untuk difoto keindahannya, tidak bisa ditawar. Keindahan foto ini berkaitan dengan kebiasaan pengunjung untuk upload foto tempat wisata yang menarik di sosial media. Foto yang bagus akan menghasilkan feeds yang bagus, feeds yang bagus menghasilkan branding yang bagus, termasuk personal branding dan branding promosi tempat wisata itu sendiri. Ibarat sekali mengayuh, dua tiga pulau terlampaui. Maka dari itu setiap sudut memang mutlak harus bagus, harus indah, harus cantik agar menyenangkan pengunjung (untuk konten dan personal branding) dan menyenangkan owner (untuk branding dan promosi cuma-cuma melalui postingan foto pengunjung).

Rasanya itulah yang terjadi di Lembang saat ini. Banyak tempat-tempat wisata di Lembang yang hari ini berkonsep leisure park. Pengunjung dapat melakukan kegiatan wisata dalam satu tempat terintegrasi. Mulai dari menikmati atraksi wisatanya, makan makanan khasnya, belanja cinderamata sampai istirahat semuanya dilakukan dalam satu tempat yang sama. Leisure park, atau taman wisata di Lembang ini juga memiliki tema tertentu. Survey sederhana yang dilakukan di awal menemukan bahwa duabelas dari tigapuluh lima tempat wisata memiliki tema suasana luar negeri sebagai atraksi utamanya. Dari pengamatan secara visual, seluruh titik-titik di dalamnya memang dibuat indah untuk berfoto. Wisata Lembang hari ini menitikberatkan konsep ‘berfoto dengan suasana tertentu agar menghasilkan foto luar biasa, dengan latar belakang (replika) bangunan berarsitektur luar negeri’. Setidaknyaknya itulah yang saya tangkap, karena begitulah taman-taman wisata itu di promosikan, baik dari segi narasi maupun visualnya. Keindahan yang dimaksud untuk berfoto itu dihadirkan dalam bentuk replika suasana luar negeri. Saking kuat narasi brandingnya, kayaknya tempat itu sudah menjadi destinasi tersendiri yang identik dengan Lembang. Ingat Lembang, ingat suasana ala Eropa. Tapi lagi-lagi, kenapa tema luar negeri yang mendominasi tema leisure park di Lembang?

Fenomena Disneyization dalam Leisure Park di Lembang

Melihat apa yang terjadi di taman-taman wisata Lembang, saya teringat istilah Disneyization. Disneyization atau dalam bahasa Indonesia Disneyisasi (Disney-isasi) mengacu pada internasionalisasi nilai-nilai hiburan budaya massa Amerika Serikat (Anderman & Rogers, 2005) dimana prinsip-prinsip taman hiburan Disney mulai mendominasi lebih banyak sektor masyarakat Amerika serta seluruh dunia (Bryman, 1999). Prinsip-prinsip taman hiburan Disney ini salah satunya adalah tema.

Bryman mendefinisikan tema sebagai 'lembaga atau objek pakaian dalam narasi yang sebagian besar tidak terkait dengan institusi atau objek yang diterapkan’. Maksudnya, prinsip taman hiburan Disney ini menerapkan tema tertentu untuk suatu fungsi, tapi sebetulnya tidak ada kaitan antara keduanya. Misalnya, di taman hiburan Disney ada restoran dengan tema suasana gurun dan koboi seperti di Wild West. Padahal tidak ada kaitannya antara restoran di taman hiburan dengan Wild West. Di taman hiburan Disney basis tema sangat beragam, mulai dari surga tropis, Wild West, dan peradaban klasik, hingga nostalgia, arsitektur benteng, modernisme, dan sebagainya.

Menurut Bryman (2004) "Disneyisasi" adalah mengubah suatu objek menjadi sesuatu yang dangkal atau sederhana. Penggunaan kata ini akan mengalihkan fokus diskusi ke produk budaya seperti dongeng, novel, dan skenario sejarah daripada ke bidang yang lebih luas seperti budaya, ekonomi, dan masyarakat. Dalam arti yang lebih luas, 'Disneyfication' dan 'Disneyfied' dapat digunakan untuk menggambarkan proses menghilangkan karakteristik sebenarnya dari tempat atau peristiwa nyata dan menjadikannya 'disanitasi'. Internasionalisasi prinsip tema taman hiburan Disney tersebut membuat budaya di seluruh dunia tumbuh dan semakin mirip. Kemiripan ini cenderung membuat perbedaan menjadi kabur – baik di dalam maupun di antara budaya lokal (Andrews & Ritzer, 2007).

Ada kata-kata kunci yang menarik mengenai Disneyization:

  1. Tema yang tidak terkait,
  2. Mengubah objek menjadi dangkal dan sederhana,
  3. Fokus pada produk (dongeng, novel, skenario) daripada budaya asli atau masyarakatnya
  4. Menghilangkan karakteristik asli dari tempat
  5. Membuat perbedaan menjadi kabur

Kata kunci ini kok rasanya cocok dengan fenomena yang sekarang terjadi di Lembang. Hari ini banyak taman wisata dengan tema suasana luar negeri, yang jelas tidak terkait secara historis atau budaya dengan Lembang itu sendiri. Rasanya agak aneh menghadirkan representasi suasana suatu negara yang nggak ada kaitannya dengan sejarah, budaya dan perkembangan daerah Lembang secara plek ketiplek dalam bentuk replika – kemudian akhirnya dikenal sebagai produk wisata Lembang ‘Lembang rasa Eropa’ atau ‘Lembang rasa Jepang’- mengalahkan potensi wisata asli daerah Lembang. Replika-replika bangunan berarsitektur negara asing ini juga membuat negara-negara yang direpresentasikan dipahami secara dangkal dan sederhana. Belanda cukup diidentikan dengan rumah kayu, kincir angin dan taman bunga warna-warni. Jepang cukup dihadirkan dalam dermaga oriental dan replika gerbang kuil. Padahal di negara asalnya bangunan-bangunan tersebut pasti lahir dari kearifan lokal budaya, masyarakat dan lingkungannya; bukan asal ada, asal indah dan asal-asal lainnya – apalagi hadir dan cuma dibuat untuk berfoto. Bahkan dari satu website yang saya baca, gerbang kuil ini di Jepang, negara asalnya memiliki nilai spiritual bagi kepercayaan masyarakat setempat. Ya kita bayangkan saja, kalau objek yang kita anggap sakral dihadirkan secara plek ketiplek hanya untuk properti berfoto.

Disneyization juga berfokus pada narasi dongeng, novel dan skenario. Narasi ini dihadirkan lagi-lagi dalam bentuk representasi suasana yang berpengaruh pada persepsi pengunjung. Replika kastil-kastil ala Eropa di taman wisata mungkin akan mengingatkan kita pada suasana romantis dalam cerita-cerita Disney: Cinderella, Beauty and The Beast, dunia peri dan sebagainya dimana semua tampak dreamy dan ajaib seperti dongeng. Budaya dan media dari luar mungkin memang sangat mempengaruhi imajinasi kita. Kita sering lihat filmnya sehingga familiar dengan setting-setting tempat dalam dongeng-dongeng happy ending itu. Mungkin bisa jadi ini saling mempengaruhi: pemilik leisure park ingin menghadirkan taman wisata bertema something magical karena terinspirasi dari film tersebut, dan sebagai konsumen kita juga ingin merasakan something magical dengan berkunjung ke taman wisata tersebut.

Suasana luar negeri yang ‘diimpor’ dari narasi dongeng luar negeri itu, bisa menyebabkan hilangnya karakteristik asli tempat. Menjamurnya taman wisata dengan tema seperti ini, ditambah narasi promosi yang massif, bisa betul-betul menjadikan Lembang lebih dikenal dengan wisata ala luar negerinya ketimbang dengan wisata kedaerahannya. Karakteristik aslinya sebagai daerah pertanian, kekhasan geografis daerah pegunungannya, nilai historis dan kearifan lokal masyarakatnya bisa jadi terkubur pelan-pelan oleh hal-hal yang diimpor dan ‘ditempelkan’ di atasnya. Pengaburan karakter daerah oleh branding wisata ala luar negeri ini pada akhirnya bisa jadi membuat kita membenarkan saja bahwa Lembang memang berasa luar negeri, bahwa kita nggak perlu jauh-jauh menyebrang benua untuk merasakan suasana ala Eropa. Apa yang dihadirkan di Lembang dirasa cukup. Kita jadi nggak bisa membedakan mana yang asli dan bukan, saking sudah terbiasanya dengan kondisi yang seperti itu. Mungkin nanti kita nggak akan merasa aneh melihat bangunan berarsitektur gotik ala abad pertengahan Inggris berdiri menjulang tinggi di tengah sawah. Mungkin akan semakin banyak tema taman wisata yang berkembang yang terinspirasi dari aneka narasi dongeng, novel atau skenario yang diimpor dari luar – berdiri di atas tanah Lembang yang dulu selalu diidentikan dengan cerita rakyat Legenda Sangkuriang.

 

Penutup

                Saya setuju bahwa setiap titik di leisure park, di taman wisata, haruslah bisa menarik pengunjung, harus bisa dinikmati keindahannya, dan dari kacamata bisnis tentu saja harus ‘menjual’ karena akan berkaitan dengan modal yang digelontorkan dan berapa lama waktu balik modalnya. Memang betul bahwa itu adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi.

                Tapi keindahan seperti apa sih yang harusnya diciptakan, bisa dinikmati, sekaligus menarik pengunjung dan menguntungkan di taman wisata? Rasanya untuk menciptakan keindahan yang seperti itu, kita tidak perlu sampai copy-paste – memindahkan secara utuh suasana atau arsitektur luar negeri dan menempelkannya begitu saja tanpa melalui pemikiran kritis. Keindahan tidak harus meniru, tapi lahir dari buah pemikiran. Dengan begitu keindahan itu bisa dimaknai, tidak hanya sekedar menjadi properti.

Dalam arsitektur, kita mengenal istilah ‘puisi arsitektur’, suatu metode kreatif untuk menyalurkan gagasan-gagasan arsitek ke dalam karya desain.  Gagasan ini dikemukakan oleh Anthony. C. Antoniades dalam bukunya Poetics of Architecture: Theory of Design. Anthony berpendapat bahwa imajinasi dan fantasi adalah dua prasyarat dalam kreativitas arsitektur, dan kreativitas ini dapat disalurkan melalui 14 jenis saluran kreativitas arsitektur. Dalam kasus taman wisata yang di dalamnya harus bisa menghibur atau menghadirkan ‘narasi’ tema tertentu agar memiliki daya tarik, kita bisa saja menggunakan metode metafora. Melalui metafora, misalnya, kita bisa mentrasferkan narasi  historis daerah atau cerita-cerita rakyat ke dalam sekuens-sekuens zonasi taman wisata. Tidak harus eksplisit, tetapi secara subtil. Atau kita bisa pilih 13 jenis metode kreatif lainnya. Kita bisa berangkat dari geometri, dari musik, dari literatur, atau material. Tinggal memilah mana yang paling optimal untuk diimplementasikan.

Singkatnya, ada banyak sekali cara menciptakan keindahan yang menarik untuk taman wisata tanpa perlu meniru produk luar negeri. Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi owner dan juga arsitek dalam merancang tema taman wisata. Tantangannya adalah bagaimana kita mengangkat nilai-nilai dan kearifan lokal yang kita miliki, dan mentransferkan narasinya kedalam tema taman wisata melalui metode kreatif. Peluangnya tentu saja lahirnya keberagaman karya arsitektur, rasa satu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya. Setiap taman wisata bisa menunjukkan karakter aslinya tanpa perlu ‘ditempeli’. Identitas dan sense of place yang lahir dari pemikiran kritis  akan menciptakan keindahan tersendiri yang dapat menarik pengunjung. Dengan begitulah kita akan lebih percaya diri, tidak perlu meminjam arsitektur negara lain untuk dihadirkan hanya sebagai atraksi dan spot selfie. Tentunya kita tidak ingin semakin banyak jargon tempat wisata seperti ‘Lembang rasa Belanda’, ‘Jogja rasa Santorini’, ‘Bontang rasa Singapura’, ‘Kediri rasa Paris’ di negara yang kaya dengan kearifan lokal ini, bukan?

Ikuti tulisan menarik Rahmadean Alifani Purwatiana, S.Ars. lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu