x

Tes Kesehatan Capres-Cawapres

Iklan

Lucius Karus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memilih Pemimpin

Pemilu hanya akan bermakna jika calon pemimpin menginisiasi kampanye yang bermartabat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa pekan lagi Indonesia akan dihadapkan pada pilihan figur pemimpin negara melalui pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Sementara ini sudah dipastikan ada dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang akan berhadap-hadapan. Pasangan pertama adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan yang lain Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dua pasangan calon di atas masing-masing didukung oleh ‘gerombolan’ parpol-parpol peserta pemilu 2014. Sebagaimana diketahui bahwa dari 12 parpol peserta pemilu, tak ada satu partaipun yang sukses meraih angka sempurna 20% kursi parlemen atau 25% suara sah nasional, yang menjadi syarat pengusungan capres-cawapres. Lahirlah apa yang disebut koalisi atau kerja sama antar parpol untuk menampung syarat suara atau kursi agar bisa mengusung capres-cawapres.

Koalisi atau kerjasama antar partai akhirnya hanya sanggup melahirkan dua pasangan calon presiden-wakil presiden. Koalisi/ kerja sama partai yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla terdiri dari 4 parpol yakni PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura. Sementara Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Golkar sepakat berbaris di kelompok pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selanjutnya masing-masing koalisi akan bekerja untuk memenangkan capres-cawapres masing-masing. Pertarungan paling sengit tentu akan menghiasi wajah musim kampanye karena dua kubu saling berhadap-hadapan hingga hari H pemungutan suara. Diperkirakan cara apapun akan dipakai oleh Tim Sukses masing-masing kandidat, termasuk cara-cara ilegal.

Pengalaman buruk Pileg lalu mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan Pilpres akan dihantui oleh berbagai pelanggaran. Mulai dari money politics, jual beli suara, suap petugas, penggelembungan suara, dan lain-lain diduga akan mewarnai kampanye pilpres. Satu hal, nafsu untuk membuktikan kehebatan melawan kandidat lain akan membutakan nurani untuk melakukan apapun agar bisa menang.

Tindakan menghalalkan segala cara akan merusak martabat bangsa umumnya, dan martabat masing-masing orang pada khususnya. Transaksi dari pihak yang berharap dipilih dengan kelompok pemilih akan menegaskan relasi tanpa ‘roh’ antara pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan akan menjadi sesuatu yang basa-basi dan formalistik karena pada dasarnya perekat hubungan itu rapuh. Padahal pola relasi yang benar dan berdampak positif hanya mungkin terjadi jika ada trust atau saling percaya antara yang dipilih dan pemilih, antara pemimpin dan yang dipimpin.

Sama juga halnya, pemimpin yang lahir dari proses pemilu yang tidak bermartabat hanya akan mempertahankan status quo kepemimpinan dengan terus meminggirkan rakyat dari panggung utama. Pemimpin yang muncul dari hasil proses pemilu yang curang tak akan peduli dengan tanggung jawab moral selama memimpin. Baginya dengan tipu muslihat, dia sudah menggenggam kekuasaan, jadi terus saja menipu demi mempertahankan kekuasaan tersebut. Pemimpin akan mengutamakan ego pribadinya ketimbang kepentingan rakyat.

Pemilu hanya akan bermakna jika calon pemimpin menginisiasi kampanye yang bermartabat. Jujur pada diri sendiri dan terbuka kepada publik merupakan modal calon pemimpin agar dipercaya rakyat. Suara calon pemimpin tidak otomatis benar, karenanya calon pemimpin harus rendah hati mencari kebenaran pada rakyatnya. Dialog menjadi kata kunci, bukan orator kharismatik yang mendikte kebenaran dari panggung, padahal yang sedang dibicarakannya hanya tipu muslihat.

Ikuti tulisan menarik Lucius Karus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler