Masa kampanye selalu ditandai oleh kemunculan aneka simbol yang menaburi ruang publik. Berbeda dengan kampanye pemilu legislatif yang kental diramaikan oleh warna-warni sesuai logo partai masing-masing, kampanye pilpres biasanya disesuaikan dengan karakter para kandidat. Dan kebetulan, pilpres kali ini hanya menyertakan dua pasangan calon, perang simbol warna pun tak seramai dalam kampanye Pileg. Sebuah kebetulan lagi bahwa kandidat capres saat ini memilih warna kostum yang sama yaitu "putih", walaupun belakangan Joko Widodo memutuskan berganti mengenakan kostum "kotak-kotak".
Warna putih yang dijadikan pembalut badan para kandidat dan tim kampanye tentu adalah pilihan sadar yang ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pemilih. Masa kampanye merupakan rentang waktu untuk merayu pemilih agar tertarik pada sang kandidat. Dengan demikian ketika warna putih memancar dari dua kubu capres-cawapres, pertanyaannya adalah rasionalitas apa yang mendasari pilihan dua pasang calon sehingga memilih warna kostum sejenis sebagai busana kampanye? Bagaimana menjual sesuatu yang sama dengan harapan agar pembeli mesti memilih satu diantaranya?
Secara umum, warna putih merupakan simbol dari ketulusan, kebersihan, kebeningan, kejujuran. Pilihan menggunakan kostum putih pada masa kampanye sebenarnya pilihan yang cerdas ketika menyadari bahwa sebagian besar warga negara kesulitan menemukan ketulusan pada jagad politik kita. Berangkat dari kesadaran itu, tak heran jika dua kubu sama-sama bertempur dengan simbol setara yakni kostum putih.
Dengan memilih simbol warna yang sama, dua kubu tampaknya mencoba strategi pengaburan dan penyamaran. Kerja menyamar adalah strategi tertutup yang kemudian menyulitkan identifikasi siapa kawan dan siapa lawan dalam arena pertarungan. Capaian dari model kampanye seperti ini tentu agar siapapun bisa mengklaim massa sebagai pendukung mereka.
Jauh di dasar budi masing-masing calon, strategi "serba putih" merupakan ekspresi ketakutan luar biasa dari masing-masing kandidat akan kekalahan. Dengan tampil berkostum sewarna, dua kubu sesungguhnya mengumumkan kegalauan masing-masing untuk bisa mendominasi kubu lawan. Pilihan menggunakan simbol yang sama dalam pertarungan merupakan pilihan "pengecut" yang enggan mengakui kelemahan dan kekuatan diri sendiri.
Tak mengherankan jika kemudian dalam proses kampanye yang tengah berlangsung, makna dari simbol putih pada kostum kedua pasang capres-cawapres sama sekali tak membumi. Alih-alih menampilkan sosok pribadi yang sebenarnya, para kandidat dan timnya lebih suka mengalihkan debat visi-misi menjadi debat kusir yang sesak oleh caci maki tak beretika.
Rupanya putih yang memancar dari kostum putih para kandidat presiden dan wakil presiden adalah putih yang menipu. Kejujuran yang menjadi makna warna putih, dalam kampanye saat ini, menjadi kemunafikan.
Beruntung saja, Joko Widodo memutuskan untuk berganti simbol dengan kembali menggunakan busana "kotak-kotak"nya. Artinya kesadaran "putih yang dinoda" dengan cepat mempengaruhinya.
Pengguna simbol putih yang masih bertahan kiranya juga akan sadar bahwa menipu makna putih yang dikenakan hanya akan menjadikan mereka menjadi pemimpin yang tak bernurani, pemimpin yang tidak tulus, dan pemimpin yang tidak jujur.
Ikuti tulisan menarik Lucius Karus lainnya di sini.