x

Manipulan

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 31 Mei 2023 07:41 WIB

Hak Asasi Kata-kata, Arti dan Makna

Pertanyaannya adalah bagaimana jika kata-kata dimodifikasi melalui perekayasaan sehingga maknanya disalahgunakan untuk menutupi makna sebenarnya? Berapa banyak yang dapat dilihat di kejadian-kejadian semacam ini: kata penyesuaian dipakai untuk menutupi kenaikan, pemeliharaan digunakan untuk menyamarkan kerusakan, dirumahkan difungsikan untuk menghaluskan pemecatan, efektif dan efisien diintelek-intelekkan untuk menghindari fakta instan dan lain sebagainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap kata, selain mengandung arti dia juga memuat makna. Arti bersifat objektif-konkret sedangkan makna lebih bersifat subjektif-abstrak. Misalnya, ketika ada ungkapan "katak dalam tempurung" berarti ada seekor hewan amfibi yang terperangkap di tempurung kelapa. Itu saja. Namun beda ceritanya bila dilihat secara makna, karena ungkapan tersebut mencerminkan seseorang yang kurang pergaulan, berwawasan sempit dan sombong dengan sedikit ilmu yang dimiliki.

Pertanyaannya adalah bagaimana jika kata-kata dimodifikasi melalui perekayasaan-perekayasaan sedemikian rupa sehingga arti disalahgunakan sebagai sarana untuk menutupi makna sebenarnya? Berapa banyak yang dapat dilihat di kejadian-kejadian semacam ini: kata "penyesuaian" dipakai untuk menutupi "kenaikan", "pemeliharaan" digunakan untuk menyamarkan "kerusakan", "dirumahkan" difungsikan untuk menghaluskan "pemecatan", "efektif dan efisien" diintelek-intelekkan untuk menghindari fakta "instan" dan lain sebagainya.

Begitu banyak kejadian yang menggunakan rekayasa kata-kata semacam itu. Jika diamati rekayasa semacam itu berawal dari sebuah kekhawatiran yang tujuannya semata-mata hanya satu, menghindari kegaduhan. Kekhawatiran adalah sejenis penyakit pada hati –atau sebuah institusi– yang senantiasa gamang, takut terhadap kegaduhan karena kegaduhan bersifat mengguncang. Bayangkan sebuah bangunan yang rapuh tentu akan anti terhadap setiap getaran, sekecil apapun, apalagi yang besar. Di sisi lain, semakin besar kekhawatiran yang timbul menunjukkan betapa rapuh aslinya bangunan tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perekayasaan kata-kata juga terkadang digunakan oleh bawahan kepada atasan. Dan tentu, seperti yang kita ketahui, karena kedaulatan di tangan rakyat tentu rakyat adalah atasan dalam bernegara dan pemerintah adalah bawahannya. Kata-kata dari pemerintah kepada rakyat berbentuk laporan, misalnya ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah melaporkan bahwa produksi industri tekstil mengalami kenaikan. Bagus bukan? Seolah-olah iya. Seolah-olah ekonomi tumbuh dan bisnis lancar-lancar saja. 

Padahal kenaikan produksi ini tidak dibarengi dengan kenaikan penjualan tekstil alias hasil produksi di tumpuk di gudang. Anehnya, hal-hal yang terkait dengan penurunan penjualan, tidak ada laporannya. Anehnya lagi, rakyat nampaknya maklum terhadap laporan seperti itu. Cara-cara seperti itu jika dilazimkan, lama kelamaan akan membuat keadaan yang rusakpun tampak baik-baik saja.

Pada puncaknya, ketika sudah terbiasa menerima hal seperti itu, rakyat akan diam saja ketika menjumpai seseorang yang hitam disebutnya putih, kotoran sapi dibilangnya roti, dan bau bangkai disangkanya wangi. Pembalikan fakta itu yang akhirnya melahirkan apa yang disebut manipulasi. Apabila telah demikian, rusakklah seluruh negeri. 

Manipulasi sepertinya selalu bergandeng-tangan dengan pencitraaan. Seperti contoh-contoh diatas. Apa yang hitam dicitrakan seolah-oleh putih sampai orang lain percaya bahwa itu memang benar-benar putih. Contoh lain yang paling gampang diingat adalah ketika iblis memanipulasi Adam dan Hawa untuk memakan buah Khuldi dengan mengatakan bahwa buah tersebut berkhasiat menjadikan mereka abadi di dalam surga. Padahal sejak awal iblis mengetahui siapa saja yang memakan buah tersebut, maka akan terusir ke bumi. Bukan kebetulan juga dia disebut iblis yang berakar dari kata talbis (pencitraan, iblis: yang mencitrakan diri).

Manipulasi juga menjadi problem klasik yang selalu muncul dalam sastra-sastra lama. Tidak terlepas juga dengan yang terjadi di kisah pewayangan dalam wiracarita Mahabharata, kata "Aswatama" dimanipulasi sedemikian rupa oleh Kresna demi kemenangan pihak Pandawa:

Pertempuran telah memasuki hari ke-10 ketika Drona diangkat sebagai panglima tertinggi pihak Kurawa, menggantikan Bisma yang gugur. Kresna meyakini bahwa mustahil bagi Pandawa untuk mengalahkan Drona yang bersenjata lengkap terlebih lagi Drona adalah guru perang para Pandawa. 

Kresna menyarankan agar Yudistira dan para Pandawa membuat kesan seolah-olah Aswatama gugur dalam pertempuran. Karena Kresna tahu, bahwa Drona pernah berkata kepada Yudhistira jika ia hanya akan kehilangan kemauan bertempur apabila anak kesayangannya itu mati. Kresna pun menyuruh Bima untuk membunuh seekor gajah perang yang sebelumnya diberi nama Aswatama, lalu berteriak sekencang-kencangnya "Aswatama mati". Saran Kresna itu berhasil dilakukan oleh Bima.

Saat mendengar bahwa "Aswatama mati", Drona segera bertanya kepada Yudistira, orang yang ia ketahui tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya. Yudistira pun menyatakan bahwa Aswatama telah mati. Setelah mendengar kabar tersebut dari mulut seseorang yang tidak mungkin berbohong, Drona kehilangan daya juang dan tidak ingin melanjutkan pertempuran. Ia hanya duduk merenungi nasib anak kesayangannya. Melihat Drona sudah tak bersemangat lagi, Drestadyumna, panglima tertinggi pihak Pandawa bergegas mengambil pedangnya, dalam sekejap mata terpisahlah kepala Drona dari lehernya. 

Namun, rakyat itu bukanlah pihak Kurawa yang perlu dikalahkan, dengan cara apapun baik itu rekayasa kata-kata, manipulasi regulasi ataupun dengan pencitraaan picisan.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler