x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Partai Politik Harga Mati

Ilustrasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Manusia merupakan organisme yang sangat inovatif. Daya inovasi tercermin dari kegemaran dalam penciptaan konflik-konflik baru yang dilandasi perjuangan politik suatu ideologi” [Hungtington]

     Sejarah keberadaan partai politik di Indonesia dimulai semenjak diberlakukannya Maklumat X/1945 yang melegitimasi kehadiran partai politik dan corak kehadirannya (multipartai) dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, partai politik mengalami pembatasan kehidupannya pada masa Orde Lama (Soekarno) dengan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpim dan pengerdilan ruang gerak partai pada masa Orde Baru (Soeharto) yang bercorak Totaliter. Perubahan mendasar sistem perpolitikan di Indonesia terjadi pada masa era reformasi. Salah satu agenda perubahan pada masa transisi tersebut adalah eksistensi partai politik yang kian signifikan menemukan peranannya dalam konteks kehidupan sosial bangsa dan negara Indonesia. Bagaimana tidak, era reformasi sebagai upaya revolusi sistem pemerintahan bangsa dan negara Indonesia menempatkan partai politik sebagai instrumen penting dalam proses demokrasi. Di masa reformasi, penataan partai politik terus berlanjut dengan adanya upaya revisi tatanan kepartaian sebagaimana yang ditunjukkan melalui UU No.2/2008 sebagai revisi atas UU No.31/2002. Hal ini memperlihatkan desakan masyarakat sekaligus keinginan partai politik sendiri untuk membangun relevansi dengan masyarakat. Alhasil, kehadiran partai politik di Indoensia secara signifikan memperoleh ruang geraknya dalam konteks pemerintahan demokrasi Indonesia. Namun demikian, bebasnya ruang gerak partai-partai politik ini tidak hadir tanpa cela melainkan sangat berpeluang melahirkan konflik-konflik yang lebih intens dan mungkin terbuka dibandingkan pada periode-periode pemerintahan sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens sebagaimana yang diberitakan Sindonews (20/12/2013) menyatakan ada 2 tipe konflik antarpartai politik, yaitu konflik laten dan terbuka. Konflik antarpartai politik biasanya bersifat laten. Sedangkan konflik antarelit politik secara personal berlangsung secara terbuka di ruang publik terutama melalui media massa. Konflik laten antarpartai politik dapat menjelma menjadi konflik terbuka antarelit politik. Di satu sisi, pendapat di atas menjadi satu realitas relasi antarpartai politik di Indonesia dan di sisi lainnya, fanatisme antarpartai politik di Indonesia justuh bukan karena perang ideologi, melainkan hanya kepentingan kaum elit partai-partai politik. Sayangnya, konflik terbuka tidak hanya terjadi di antara para elit partai politik, tetapi juga fanatisme itu dilakoni oleh pendukung partai-partai politik. Beberapa tahun silam, kita mungkin masa diingatkan “Tragedi Sabtu Kelabu Sukasada” (10 Oktober 1998) dan “Tragedi Banjar” (7 Novmber-14 Desember 1998) di Kabupaten Buleleng, Bali. Tragedi ini diwarnai bentrokan antar pendukung partai politik yang menelan belasan korban jiwa dan kerusakan material lainnya. Tidak hanya itu, menjelang pilpres Indonesia 2014, misalnya ada pengrusakan poskoh relawan Jokowi-JK di Setiabudi, Jakarta dan penyerangan terhadap Pimpinan Relawan Jokowi-JK Jogyakarta oleh orang tak dikenal hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Bahkan Indonesian Police Wacth (IPW) dalam situs berita online Pemilu.com pernah merilis daerah-daerah rawan konflik antarpartai politik di antaranya: Aceh, Sumut, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Jogja, Jateng, Jatim, Sulsel, Sulteng, NTB, Kalbar, dan Papua. Realitas ini setidaknya menjadi kenyataan betapa riskannya konflik antarpartai politik di tanah air oleh karena kuatnya fanatisme tiap partai politik di Indonesia.

     Sebagai bahan perbandingan, dikemukan 2 konteks eksistensi partai politik sebagai berikut: Pertama, konteks negara maju. Realitas perbedaan ideologi antar partai sesungguhnya berangkat dari pemahaman bahwa dalam satu negara perbedaan nilai dan kepentingan tiap warga masyarakatnya adalah sesuatu yang nyata dan alamiah. Partai politik hadir sebagai wadah penampung corak perbedaan-perbedaan tersebut. Partai politik sebagai wadah perjuangan satu bentuk nilai dan kepentingan berjuang guna memperoleh kekuasaan sehingga dapat merealisasikan nilai dan kepentingan tersebut dalam konteks banyaknya perbedaan di antara warga masyarakat. Seliger (1976) menegaskan hubungan antara ideologi dan politik adalah hubungan yang tak terpisahkan. Artinya, partai politik mengisyaratkan suatu cara berpikir yang mewarnai dan mempengaruhi cara bersikap dan berperilaku yang diperlihatkan orang-orang dalam suatu kelompok sosial. Hal demikian menjuruskan kita kepada pemahaman bahwa partai politik tidak lebih sebagai wadah perjuangan sekelompok individu warga masyarakat yang memiliki nilai dan kepentingan yang sama untuk kedepannya dapat memperoleh kuasa memerintah sehingga dapat menjamin pengutamaan nilai dan kepentingan yang dianut dalam kehidupan bersama. Partai politik yang mendapat legitimasi untuk berkuasa sudah tentu memprioritaskan nilai dan kepentingan kelompok sosial pendukungnya. Sehingga fanatisme partai politik karena perbedaan ideologi satu realitas logis. Pertanyaannya bagaimana nilai dan kepentingan sekelompok individu warga masyarakat yang diwadahi oleh partai politik yang tak memperoleh kekuasaan? Apakah kemudian mereka harus mengamini dan melaksanakan sesuatu yang tak sejalan dengan nilai dan kepentingan mereka? Inilah yang selanjutnya menjadi persoalan tersendiri bagi partai politik yang berkuasa mengingat bahwa kendati kekuasaannya dicapai dan dilegitimasi melalui cara demokrasi (Voting), tetapi kekuasaannya secara de yure meliputi segenap kelompok sosial selaku warga masyarakat negara. Ini merupakan tanggungjawab yang berkuasa secara konstitusional. Salah satu hasil konsensus Konferensi Milan menggarisbawahi bahwa fanatisme partai politik oleh karena perbedaan ideologi mengalami penurunan di negara-nagara barat yang ditandai oleh fenomena sayap “kiri” dan sayap “kanan” lebih cenderung mencari titik temu ketimbang memperuncing masalah. Ini artinya, ada sikap fleksibel dari partai-partai politik yang secara sadar lebih memahami bahwa kekuasaan memerintah suatu negara tidak secara fanatik didasarkan pada ideologi partai politik semata, tetapi lebih menyangkut keterjaminannya kelangsungan perbedaan-perbedaan yang ada dalam kekuasaannya. Di sini, ada kesadaran bahwa kekuasaan itu bukan soal dominasi, tetapi lebih pada relasi. Kekuasaan itu senantiasa memperoleh dukungan dan bertahan sepanjang relasi antara yang memimpinan negara dan segenap masyarakat negara berlangsung baik. Lebih mulia lagi, jikalau yang berkuasa betul-betul menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai pimpinan negara yang tetap menjamin perbedaan dalam kehidupan bersama. Kondisi ini terutama sangat disadari dan dipahami oleh para elit partai politik di negara barat yang telah maju pemikirannya. Sehingga proses kaderasi anggota atau simpatisan partai betul-betul didasari bahwa kepentingan bersama menjadi tujuan yang paling utama ketimbang prioritas ideologi partai. Ada hal yang memang menjadi prioritas ideologi partai politik, tetapi ada juga hal lain yang semestinya dipahami sebagai yang asasi sekalipun dalam warna nilai dan kepentingan yang berbeda demi kebaikan bersama. Ada pemahaman bahwa satu ideologi selalu punya aspek kelemahan dan karenanya membutuhkan kontribusi ideologi lain dalam penyempurnaannya. Misalnya saja kemenangan partai Buruh di Inggris tiga kali berturut-turut tidak serta merta mengubah sistem perekonomian Inggris menjadi masyarakat tanpa kelas. Ini berarti selalu ada pertimbangan lain dalam menyiasati penerapan satu ideologi demi kebaikan bersama. Kedua, konteks negara Indonesia. Memang kalau diperbolehkan, maka seharusnya ada pemahaman khusus terkait esensi dan peranan kehadiran partai-partai politik di Indonesia. Bukan tanpa alasan, partai-partai politik di Indonesia dibentuk tidak dengan merepresentasikan nilai dan kepentingan satu kelompok masyarakat tertentu, tetapi lebih pada nilai dan kepentingan elit yang parsial. Hal ini setidaknya menjadi rahasia publik bahwa landasan pembentukan sebuah partai di tanah air hanya karena berupa ambisi elit untuk berkuasa, konflik antar elit, persaingan kepentingan antar elite, balas dendam, sakit hati, dan sebagainya. Logika pendirian dan pembentukan partai pun berlangsung secara terbalik. Pendeklarasian partai mendahului kuatnya fondasi dukungan secara luas satu kelompok masyarakat yang memiliki nilai dan kepentingan yang seragam. Sehingga pada persoalan ideologi partai politik maka sulit sekali untuk dibedakan secara jelas domain ideologi masing-masing partai karena awal pembentukannya pun tidak berdasarkan satu landasan ideologi yang universal dan kuat. Hal yang membedakan hanya sebatas nama (identitas) partai, elit yang menguasai partai, dan kepentingan parsial elit partai. Namun uniknya, tanpa domain ideologi yang jelas, genderang konflik antarpartai politik di Indoensia menjadi satu realitas yang sangat bergema. Jikalau bukan karena fanatisme ideologi antarpartai, lantas perbedaan apa yang melahirkan konflik antarpartai politik. Ini persoalan serius karena konflik bahkan menelan korban nyawa. Kenyataan minat dan simpati masyarakat Indonesia terhadap politik tidak terletak pada partai politik itu sendiri (ideologi), tetapi lebih kepada figur pimpinan atau elit partai. Mungkin ini juga menjadi alasan mengapa eksalasi politik partai politik di tanah air lebih berorientasi pada pencitraan figur-figur tertentu. Cara berpikir yang dianut oleh partai-partai politik di Indonesia adalah kehadiran figur politik justruh dapat menarik minat dan simpati masyarakat sehingga meningkatkan elektabilitas partai politik, dan bukan sebaliknya. Realitas ini dikarenakan ideologi antarpartai politik sendiri menjadi sedemikian kaburnya bagi masyarakat karena sejarah mencatat klaim ideologi partai politik tidak secara signifikan dirasakan oleh masyarakat sehingga kesan yang ditimbulkan sama saja. Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Soekarno berakhir dengan Sistem Demokrasi Terpimpin, Partai Golkar oleh Soeharto malah mengkondisikan sistem pemerintahan Demokrasi Totaliter, dan lainnya. Sampai pada satu titik masyarakat Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap penyelenggara negara. Bagi mereka, tak penting partai dan ideologi, toh tidak sejalan dengan implementasinya dan yang terpenting adalah figur partai politik entah dari partai politik manapun.

     Upaya menggali akar persoalan fanatisme partai-partai politik di Indonesia dapat kita tinjau dalam 2 aspek atau faktor sebagai berikut: Pertama, Kondisi Chaoshopy.Masyarakat Indonesia benar-benar terjebak di dalam situasi Chaos yang ditandai ada turbelensi hampir pada setiap aspek kehidupannya, ekonomi, sosial, budaya, dan tak terkecuali politik itu sendiri. Dalam konteks itu, persoalan yang muncul adalah realitas teritorialisasi dalam tubuh bangsa ini yang ditandai sikap fanatisme di antara kelompok-kelompok sosial, termasuk partai politik. Ini bukan soal adanya distingsi by desing  antar kelompok sosial yang mengakibatkan fanatisme, tetapi malah ada upaya designing perbedaan-perbedaan tersebut untuk kepentingan politik individual atau parsial. Ikatan-ikatan sosial yang selama ini terjalin baik harus menemukan akhirnya oleh karena kepentingan politik. Intinya adalah kondisi yang serba kacau, bimbang, dan rasa ketidakadilan perlahan membentuk pola pikir, sikap, dan tindakan individu masyarakat untuk mengamankan dirinya. Lahir pola perjuangan yang tidak lagi demi nilai dan kepentingan bersama melainkan demi keuntungan diri sendiri. Kontrak sosial yang selama ini dipercaya membawa kehidupan yang lebih teratur (order), seragam (uniformity), dan kesatuan (unity) malah berbalik kondisinya. Ketidakadilan mungkin menjadi akar yang paling dalam mendasari kemunculan ego individual atau kelompok untuk memprioritaskan kepentingannya sendiri. Untuk itu, maka dalam konteks kehidupan bersama maka langka pertama yang mesti ditempuh adalah kekuasaan. Legitimasi kekuasaan mengkondisikan peluang perubahan. Ketika partai politik merupakan satu wadah perjuangan yang langsung berkorelasi dengan kompetisi memperoleh kekuasaan maka partai politik tanpa ideologi yang jelas sekalipun menjadi geo-politic paling strategis dan karenanya harus diperjuangkan dan dibela habis-habisan. Perbedaan nilai dan kepentingan menjadi hal yang sangat berbahaya dan sepantasnya dilawan. Di sini manusia Indonesia sudah menjelma kembali sebagai makhluk yang berjuang demi kepentingan masing-masing sebagaimana yang telah dikemukan oleh Thomas Hobbes dalam karyanya “Leviathan”. Realitas ini menjadi konsekuensi logis dari kondisi chaos di Indonesia. Fanatisme partai politik yang hadir muncul guna menisbikan sistem kekuasaan dominan dengan menetralisir dan mendekonstruksikan berbagi sistem konsensus sosial yang telah ada. Kedua, Kekuasaan (Power). Dalam konsep sosiologis, negara merupakan salah satu bentuk kelompok sosial. Kelompok sosial dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang secara bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan atau juga kumpulan individu yang mencoba memenuhi kebutuhannya (nilai dan kepentingan) melalui penggabungan diri mereka (joint association). Dalam kesatuan itu, maka ada pihak yang dianggap memiliki kemampuan, keahlian, dan kecakapan memimpin persatuan mereka yang diangkat menjadi pimpinan. Kepemimpinan menjadi faktor yang sangat penting dalam mengarahkan anggota kelompoknya guna mencapai kepentingan bersama mereka. Dalam posisi demikian, posisi memimpin menjadi satu nilai tambah yakni kemampuan memerintah (kuasa) oleh karena sudah dilegitimasi secara bersama. Max Weber dalam karyanya “Economie et Soci?ti” (1959) mengartikan partai politik sebagai organisasi publik yang membawa pemimpinnya untuk berkuasa dan memungkinkan pendukungnya mengambil keuntungan dari  kekuasaan pemimpinnya. Ide Marx ini rupanya sangat relevan dengan track record  partai-partai politik di tanah air. Partai politik juga sebagai market berlangsungnya transaksional nilai dan kepentingan pihak interen partai politik. Tercapainya nilai dan kepentingan elit partai, yakni kekuasaan punya daya legitimasi terhadap nilai dan kepentingan pendukungnya. Pemahaman ini merupakan lanjutan konsep pertama sebelumnya, tetapi di sini bagaimana kita melihat secara lebih mendalam ada hubungan dialektis antara elit partai politik dan kelompok pendukungnya. Ekspetasi kekuasaan oleh elit partai politik dipakai sebagai daya pikat bagi masyarakat yang tengah berada dalam semangat ego memperjuangkan keamanan hidupnya masing-masing. Elit partai politik kemudian memanfaatkan kondisi demikian untuk memperoleh dukungan guna melegitimasi kekuasaannya nanti dalam pesta demokrasi. Cantiknya permainan elit partai politik ini biasanya tidak ditujukan bagi per individu melainkan kelompok-kelompok sosial sehingga lebih efektif dan efisien pendoktrinisasiannya karena tiap kelompok sosial memiliki nilai kolektif dan bagi elit partai politik cukup bermain pada tataran nilai kolektif tersebut. Sehingga fanatisme partai politik pada lapisan bawah bukan terjadi antar individu tetapi melibatkan kekuatan yang lebih besar dan dasyat, yakni kelompok.

     Entah apapun alasannya, yang tampak adalah fanatisme atas paham partai politik harga mati. Upaya pelepasan hasrat dari perangkap totaliterisme (Orde Baru) justruh menjelma menjadi totaliterisme bentuk baru. Realitas ini menjadi totaliterisme mikro, yaitu fasisme-fasisme kecil yang tumbuh di dalam tubuh masyarakat. Politik pada tingkat mikro yang melalui tindakan dan ekspresi sosial politiknya yang bernuansa kekerasan dan totaliter telah membentuk dirinya sebagai gerakan politik fasis-fasis kecil. Firmanzah dalam bukunya “Mengelolah Partai politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi” (2008) mengatakan partai politik adalah institusi yang dianggap penting dan sine qua non dalam sistem demokrasi moderen. Partai politik memainkan peran sentral dalam menjaga pluralisme politik dan menjamin adanya partisipasi politik, sekaligus juga persaingan politik. Konsep ini menegaskan kepada kita bahwa poin penting partai politik dalam mengkondusifkan adanya perbedaan dan aturan main dalam mengkompetisikan perbedaan-perbedaan tersebut. Sulit ditemukan cantolan untuk memperbaiki kualitas kehidupan politik (partai politik) di Indonesia oleh karena berlangsung sekian lamanya dan seakan-akan menjadi realitas taken for granted. Sebagai aspek sosial yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum, sistem politik kita telah banyak membuahkan realitas-realitas timpang yang lainnya sehingga betapa sulitnya membenahinya. Mengalahkan satu bentuk sistem adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Akan tetapi selalu ada harapan perubahan dan kemajuan yang terorganisir di bangsa ini melalui satu aspek kecil tapi paling besar peranannya: KESADARAN.

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu