x

Ilustrasi Bursa Saham. Gambar: Gerd Altamann dari Pixabay.com

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 25 Juli 2023 08:03 WIB

Donatmu, Ekonomimu

Ilmu ekonomi konvensional terbukti gagal menyejahterakan manusia secara adil. Lingkungan pun bahkan jadi rusak. Lima tahun lalu Kate Raworth menawarkan “antitesis”-nya. Semakin urgen untuk sungguh-sungguh menimbang implementasi dari saran-sarannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Purwanto Setiadi

Para pemimpin dunia seharusnya mendengarkan Kate Raworth. Atau, kalaupun sudah, ya, mempraktikkan apa yang disarankan ekonom dari Environmental Change Institute University of Oxford itu. Dalam situasi ketika ancaman terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia juga sebetulnya, upaya untuk mengelakkan “kiamat” tak bisa disandarkan pada cara yang begitu-begitu saja. Raworth meresepkan jalan yang bukan saja masuk akal untuk ditempuh sebagai alternatif, melainkan juga punya kans untuk mengubah keadaan dunia menjadi lebih baik.

Resep tersebut bermula dari pertanyaan ringkas ini: “Kalau kamu ingin mengubah dunia, bahasa apa yang akan kamu pelajari?”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Raworth mengajukan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri pada 1980-an, saat dia masih remaja. Pertanyaan itu timbul karena dia menyaksikan berita di layar televisi yang memperlihatkan anak-anak berperut buncit di Etiopia yang sedang dilanda paceklik panjang serta adanya lubang di lapisan ozone di atmosfer.

Berita-berita itu meneguhkan tekadnya untuk menjadi bagian dari mereka yang ingin mengubah dunia, menjadikanya lebih baik. Dia memutuskan untuk mempelajari “bahasa ibu” kebijakan publik. Dia lalu kuliah di University of Oxford, belajar ilmu ekonomi. “Ekonomi adalah bahasa ibu kebijakan publik,” begitu dia menulis dalam pengantar bukunya, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist, yang diterbitkan lebih dari dua dasawarsa kemudian.

Sebelum meyakini benar bahwa, bagaimanapun, ilmu ekonomi tak bisa diabaikan dalam membuat keputusan-keputusan untuk publik, pengalamannya dengan ilmu ekonomi sempat mengguncangnya. Bahkan sejak masih belajar di universitas dia melihat betapa ekonomi melalaikan sebagian besar dari isu-isu yang justru dia pedulikan—keadilan, kesetaraan, kesejahteraan manusia, kelestarian lingkungan.

Dia mencampakkan buku teks dan, selepas kuliah, pada 1995, memilih bekerja di bidang yang langsung berhadapan dengan isu-isu tersebut: di desa-desa di wilayah hutan di Zanzibar; di kantor pusat perserikatan bangsa-bangsa di New York City, menjadi peneliti untuk penyusunan laporan tahunan Human Development seraya menyaksikan pemegang kekuasaan global menghalangi beraneka perundingan; juga di Oxfam, sebagai peneliti yang mengkampanyekan upaya mengatasi perubahan iklim. Dari pengalaman dengan semua pekerjaan itu dia menyimpulkan bahwa kita tak bisa meninggalkan ilmu ekonomi.

“Ia ada di sekitar kita. Ia adalah mentalitas yang digunakan untuk menjalankan masyarakat,” katanya.

Maka, dia memutuskan kembali ke ilmu ekonomi. Tapi dia kembali dengan misi: berupaya memperlakukannya secara berbeda sama sekali (“To flip it on its head,” katanya); dia menjadikan uang bukan sebagai cara memulai ekonomi, melainkan menempatkan kesejahteraan manusia sebagai titik awal.

Dia menunjukkan ada dua segi krusial di situ: bahwa kita saling bergantung satu dan yang lain, agar bisa memperoleh sumber daya untuk memenuhi hak asasi kita, juga memenuhi kebutuhan akan pangan, air, kesehatan, pendidikan, papan, serta energi; dan bahwa kita tergantung pada planet yang jadi rumah kita.

Dia menggambarkan kedua segi itu sebagai sistem pendukung kehidupan manusia di bumi. Dia meletakkan keduanya sebagai lingkaran sejajar yang mengelilingi pusat yang sama. Lingkaran di bagian dalam dia identifikasi sebagai landasan sosial, yang identik dengan tujuan-tujuan global dalam Sustainable Development Goals; sedangkan lingkaran di luar dia sebut sebagai limitasi ekologi, yang mengadopsi sembilan aspek dalam planetary boundaries yang memungkinkan kehidupan di bumi bisa lestari. Dalam imajinasinya, gambar yang dia coretkan dengan pensil itu mirip “junk food”, terlihat seperti donat.

Dalam ruang di antara kedua batas atau daging donat itulah manusia bisa berkembang dan maju secara aman dan adil. Dalam ruang itu, landasan sosial berfungsi baik, tidak ada manusia yang kekurangan atau yang haknya dinegasikan; sedangkan limitasi ekologi tidak terlampaui oleh kegiatan manusia untuk mencukupi kebutuhannya sehingga bumi tetap dalam keadaan baik-baik saja.

Demikianlah, doughnut economics atau ekonomi donat—sebuah konsep inovatif untuk mewujudkan keadilan lingkungan dan sosial—lahir.

Kenapa rancangan ekonomi yang menjalankan prinsip-prinsip dalam ekonomi donat itu penting?

Raworth, ibu anak kembar yang memilih tak bepergian dengan penerbangan, beralasan supaya warga dunia pada 2050 tidak “diajari pola pikir ekonomi yang berakar di buku teks dari 1950-an, yang pada gilirannya berakar dalam teori dari masa 1850-an”.

Sejak diterbitkan pada 2017, bukunya sejauh ini telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, di samping menjadi best seller dunia. Tapi inisiatif-inisiatif yang menjadikannya sebagai pedoman belum ada yang berskala besar, kecuali yang dilakukan Amsterdam Belanda), Brussels (Belgia), dan Nainamo (Kanada). Ketiga kota ini secara resmi mengimplementasikan prinsip-prinsip ekonomi donat untuk mewujudkan balans antara tujuan untuk manusia dan tujuan demi lingkungan.

Dengan ekonomi donat, Kate Raworth bukan saja telah menguasai bahasa yang ingin dia pelajari untuk mengubah dunia; dia pun telah berinisiatif mereparasi kekurangan-kekurangannya yang selama ini justru menjadi sumber persoalan. Giliran mereka yang telah mendengarnya, terutama para pembuat kebijakan, untuk sungguh-sungguh memikirkan implementasinya dan mengikuti jejak ketiga kota itu.

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu