x

Lestantya tunjukkan Adinegoro

Iklan

Lestantya Baskoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 29 Juli 2023 06:14 WIB

Menulis Adinegoro, Mengumpulkan Saksi Hidup

Pengalaman menulis buku Adinegoro, tokoh pers yang perannya banyak yang belum mengetahui: pembuat atlas Indonesia dan dunia pertama berbahasa Indonesia, pembuat ensiklopedi Indonesia pertama, dan lain-lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PEREMPUAN 86 tahun itu rupanya sudah bersiap menerima saya. Berkain biru panjang, agak tertatih-tatih, ia menemui saya yang duduk di ruang tamu di rumahnya yang jembar. Dalam usia  sebanyak itu ia masih tampak sehat -dan jelas kala mudanya tentulah cantik. “Lebih baik kita ngobrol di belakang,” katanya, ramah. Saya mengikuti. Rumah ini memiliki halaman di belakang yang dilengkapi kolam renang. Selama sekitar tiga jam, saya menggali kenangannya perihal sosok ayahnya: Adinegoro.

Anita Marni, perempuan itu, merupakan putri atau anak ke dua Adinegoro, tokoh pers Indonesia yang terkenal dengan bukunya Melawat ke Barat yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1930.  Pada Rabu 10 Mei 2023 lalu itu  saya menemui Bu Anita untuk pembuatan buku tentang Adinegoro yang akan diterbitkan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).

Saya sendiri yang mengusulkan penulisan buku ini ke LPDS.  Saya menganggap perlu adanya buku ini, buku tentang tentang tokoh Pers,  yang memiliki nama asli  Djamaluddin tersebut. Apalagi LPDS juga “menyandang” namanya -LPDS berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA). Sebagai penggagas, maka tugas utama saya merencanakan bagaimana isi buku, serta siapa saja yang harus diwawancarai, berikut  foto-fotonya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lestantya R. Baskoro, Adiwarsita, Priyambodo RH (kiri-kanan)

Sumber utama tentu mereka yang kenal Adinegoro -dan ternyata itu tak mudah. Sumber itu bisa teman-temannya atau anak-anaknya. Yang pertama, teman-temannya,  saya tak menemukannya -jika masih ada Adinegoro  kini 119 tahun. Yang kedua, anak-anaknya. Saya tak mengenal mereka, juga tidak tahu siapa saja di antara mereka yang masih ada dan tinggal di mana. Yang saya tahu putri bungsunya, Astrid, pernah aktif di PWI, dan  telah meninggal. Beruntung seorang teman memberikan nomor telepon putra Adinegoro ketiga, Adiwarsita. Dari Adiwarsita inilah kemudian saya tahu putra-putri Adinegoro yang masih hidup, dari 5 anaknya,  ada tiga:  Anita Marni, 86 tahun, Adiwarsita, 75, tahun, dan Marsini, 73 tahun.

Saya sempat mengira ”Marsini,”  anak ke empat Adinegoro itu perempuan, tapi ternyata lelaki. “Marsini sekarang sakit-sakitan,” kata Adiwarsita saat saya meminta nomor teleponnya.  Pertengahan Mei lalu, melalui putrinya, Aliza,  saya sempat membuat janji wawancara dengan Pak Marsini. Tapi, belum lagi terlaksana, putrinya,  mengabarkan ayahnya telah meninggal pada 4 Juni lalu. Aliza sendiri kemudian mengirimkan sebuah foto dokumentasi keluarga usai pemakaman Adinegoro, sebuah foto yang sangat berharga.

Jauh sebelumnya, tahun lalu, saya sudah ke Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Saat itu LPDS menggelar  Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk wartawan  Sumbar. Usai acara itu  esoknya saya, dengan menyewa mobil, mendatangi tempat kelahiran Adinegoro di Talawi yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Padang.

Talawi tempat yang sepi. Jalan lurus membentang menuju kampung itu dan diberi nama Jalan Muhammad Yamin. Saya harus bertanya pada tiga warga di sana sebelum tahu di mana “rumah Adinegoro.” Nama Adinegoro, wartawan, tokoh pers, ternyata tak banyak yang tahu di tempat kelahirannya. “Mungkin di dekat pasar, Pak Jokowi pernah ke sana,” ujar seorang staf Kecamatan Talawi yang saya temui di halaman kantor kecamatan. Saya ingat, pada Hari Pers  Nasional, Presiden Jokowi pernah mengunjungi rumah Adinegoro.

Sebelum ke rumah Adinegoro saya menyempati diri mendatangi  makam Muhammad Yamin yang terletak sejalan dengan kediaman Adinegoro. Yamin, pahlawan nasional itu,  tak lain kakak tiri Adinegoro, satu ayah beda ibu. Saat di Tempo, saya pernah memimpin proyek laporan khusus Majalah Tempo tentang Muhammad Yamin. Jadi, kini lengkap sudah yang saya tulis: kakak dan adiknya.

***

Rumah gadang Adinegoro -yang juga tempat kelahiran Muhammad Yamin- telah hancur.  Saya bertemu dengan salah  satu “cucu” Adinegoro, Iriswati Alamsyah, 85  tahun, yang bersedia saya wawancarai secara dadakan. Di rumahnya, yang menurut  Bu Iriswati, dulu,  bagian dapur rumah gadang Adinegoro, tergantung sejumlah foto Adinegoro.

Cerita Iriswati tentang kakeknya itu jelas penting untuk bahan buku -penggambaran  Adinegoro  di kampungnya.   Dari Iriswati ini pula saya  mendapat nomor telepon keponakan Adinegoro, Julinar, yang tinggal di Bandung. Julinar, juga sumber penting lain. Ia satu-satunya keponakan Adinegoro yang ikut bersama wartawan itu saat Adinegoro menjadi Pemimpin Redaksi Harian Pewarta Deli di Medan pada 1931 sepulang dari lawatannya di Eropa. Pewarta Deli merupakan koran berbahasa Melayu paling terkemuka di Sumatera.

Julinar saya temui Juni  lalu di Bandung. Dalam usianya ke-98 ia masih sehat. “Saya masih baca Intisari dan lihat Kompas TV,” ujarnya. Saya bertanya sejumlah hal tentang Adinegoro di Medan. Misalnya, di mana saja ia tinggal, kasus pemeriksaan dirinya oleh polisi Belanda karena diduga terlibat komunisme (yang ini hanya gara-gara antara lain ia pernah berkunjung ke Rusia), dan lain-lain. Ada sejumlah hal yang Bu Julinar tak ingat. Jika saya melihat ia kesulitan untuk mengingat-ngingat peristiwa yang saya tanyakan, segera saya alihkan pertanyaan lain. Saya tak tega melihat ia berpikir keras mengembalikan ingatkan pada hal-hal yang terjadi 90 tahun silam itu.

Julinar berkisah, pamannya merupakan orang baik, kendati agak pendiam. “Ia sangat baik, perhatian, dan temannya banyak,” ujarnya. Satu hal yang tak terlupakan baginya, “Saya dibelikan sepeda, ” ujar Julinar. Matanya berbinar saat mengatakan kalimat itu. Julinar sendiri kemudian tinggal di asrama sesaat sebelum menyelesaikan sekolah bidannya. "Waktu ia mendengar saya sakit di asrama, ia segera mendatangi saya," kata mengenang bagaimana kebaikan pamannya itu.

Di Medan, saya meminta bantuan rekan LPDS, Pak Maskur Abdullah,  untuk melacak bekas kantor Harian Pewarta Deli yang pernah dipimpin Adinegoro hingga Jepang masuk. Saya memerlukan reportase kantor media yang legendaris itu. Namun, bekas kantor Pewarta Deli yang terletak  di  Jalan Masjid, Kawasan Kesawan, Medan itu  sudah raib. Tak tersisa sama sekali bekas bangunannya. Tempat itu telah  berganti deretan ruko.

***

Buku ini memang merupakan rangkaian tonggak-tonggak perjalanan hidup Adinegoro sebagai wartawan. Banyak yang belum tahu bahwa Adinegoro juga merupakan pembuat atlas pertama Indonesia dan dunia dalam Bahasa Indonesia. Ia juga pembuat ensiklopedi Indonesia pertama, penyeleksi pidato Kongres Pemuda pertama pada 1926 dan juga pembicara pada Kongres Bahasa pertama pada 1938 di Solo. Di luar itu ia juga pernah ditunjuk Presiden Sukarno sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk Urusan Umum dan Penerangan di Sumatera pada masa-masa awal kemerdekan Indonesia, jabatan yang membuat ia dianugerahi pangkat letnan kolonel tituler.

Di sinilah, untuk melengkapi cerita-cerita ini, dikutip sejumlah referensi yang menunjukkan peran Adinegoro pada sejumlah peristiwa penting itu. Peristiwa itu kemudian ditambah keterangan, informasi, atau cerita dari narasumber yang selama ini belum pernah terungkap.

Dari Bu Marsini misalnya saya mendapat cerita alasan  kenapa Adinegoro meninggalkan kuliahnya di sekolah kedokteran STOVIA dan memilih untuk jadi wartawan. Dari Adiwarsita, saya mendapat informasi bahwa Adinegoro, saat berangkat ke Eropa naik Kapal Tambora selama hampir sebulan itu, mencari tambahan bekalnya dengan menjadi tukang pel di kapal. “Itu ayah yang cerita,” ujar Adiwarsita. Selain mewawancarai anak-anaknya saya juga mewanwacarai dua cucunya, Arvinia Riyanti (putri Anita Marni) dan  Pramesti Tilutama Dewi (Luti), putri Astrid Adinegoro.

Dari Luti ini saya mendengar kisah lain tentang Alidar, istri Adinegoro. Tentu informasi tentang istri Adinegoro tersebut menjadi bagian penting dan menarik dari buku Adinegoro ini.  Di luar itu semua, saya juga memerlukan berkunjung ke rumah kediamanan Adinegoro di Jalan Sumatera dan Banyumas, Jakarta Pusat, ziarah ke makamnya di Pemakaman Karet, dan mendatangi bekas kantornya PersBiro Indonesia di Jalan Antara, Pasar Baru yang letaknya bertetangga dengan Kantor Berita Antara. Saat saya datang dua kantor itu sedang direnovasi total, akan dijadikan menjadi Kantor Berita Antara yang “baru,” setelah sebelumnya kantor Antara yang lama di Wisma Antara, dikosongkan, karena gedung Wisma Antara akan dialihfungsikan peruntukannya oleh Pemerintah. Saya juga mendatangi Perpustakaan HB Jassin di TIM untuk mencari dua novel Adinegoro. Saya memerlukan foto buku itu untuk ilustrasi perannya dalam dunia sastra Indonesia. Sayang hanya novel Darah Moeda saja yang ada  -dan itu pun hanya fotocopinya. Novel lainnya, Asmara Djaja, tidak ada.

***

Pada Selama  25 Juli 2023 lalu, buku ini diluncurkan. Judulnya sengaja saya “plesetkan”-agak mirip dengan judul buku Adinegoro yang terbit 93 tahun silam. “Melawat ke Talawi. Tapak Langkah Wartawan Adinegoro”  dengan gambar Adinegoro memakai seragam tentara yang saya foto dari lukisan Adinegoro yang tergantung di dinding rumah Pak Adiwarsita. Sengaja saya tambahkan kata “wartawan”  supaya mereka yang belum mengenal, paham siapa Adinegoro itu.

Lahyanto Nadie, Bambang Harymurti, Abdullah Alamudi (kiri-kanan)

Acara yang juga dikaitkan dengan peringatan HUT LPDS ke-35 tahun ini cukup meriah. Pak Adiwarsita, Priyambodo, rekan di LPDS, dan saya, membahas buku dan sosok Adinegoro. Sejumlah keluarga Adinegoro juga datang, termasuk menantu dan cucu-cucunya.  Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi publik dan khususnya pers Indonesia. [Lestantya R. Baskoro]

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Lestantya Baskoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB