x

ilustr: Sinode GKJ

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 30 Juli 2023 05:36 WIB

Empat Kompetensi sebagai Pemimpin

Ajaran leluhur tentang pemimpin. Harus jujur tak suka berbohong, cerdas, dipercaya dan tidak memetingkan golongannya saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya

Sepertinya kita akan asyik membicarakan soal bagaimana syarat atau kompetensi seorang pemimpin di tengah hiruk-pikuk soal copras-capres ini. Lebih asyik lagi kalau dicarikan referensi masa lalu, bagaimana ajaran leluhur kita mensyaratkan seorang pemimpin. Woo… banyak sekali kitab-kitab yang berbicara soal itu. Apakah masih cocok dengan situasi di abad teknologi modern ini, entahlah.

Yang paling populer tentu pemimpin teladan yang dianggap mewakili sifat-sifat alam semesta. Salah satu, misalnya, ajaran kepemimpinan yang disebut Asta Brata, delapan sifat alam. Namun, ajaran ini berbau impor meski pun masuk ke Nusantara sudah mengalami adaptasi dengan budaya setempat. Yakni datang dari benua India lewat ephos Ramayana. Asta Brata adalah “pidato pengukuhan” dari Sri Rama pada saat “melantik” Wibisana menjadi Raja Alengka, menggantikan raja otoriter yang kakak kandungnya sendiri, Rahwana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adakah kitab yang lebih lokal tentang kepemimpinan itu? Konon ada banyak, baik yang ditulis lewat sastra bertembang mau pun prosa. Salah satunya kitab yang disusun oleh Bhagawan Wararuci di abad ke 8 Masehi. Tidak disebutkan siapa Wararuci itu, namun jika melihat ada kata Bhagawan di depannya, tentu beliau seorang rsi atau pendeta di masa kini. Kecuali nama Bhagawan Wararuci itu disematkan oleh orang lain dalam rentang waktu di kemudian hari sebagai penghargaan.

Kitab itu bernama Sarasamuscaya, berbicara tentang etika. Di dalam itu terselip syarat utama seorang pemimpin. Apakah ini ajaran tentang kepemimpinan yang benar-benar lokal? Dari bahasa yang dipakai yakni Bahasa Jawa Kuno (juga disebut dengan Bahasa Kawi) sepertinya ini ajaran lokal dalam budaya Jawa di masa lalu. Namun ada yang mengira, ajaran ini pun impor dari India pula karena paparannya mirip dengan Astadasaparwa, salah satu bagian dari kitab Mahabharata. Kita tahu, ephos Mahabharata begitu mendunia bahkan di dalam budaya Jawa ephos ini “diwayangkan” dengan tokoh-tokoh yang tetap mengacu kepada Mahabharata versi India.

Saya tak bermaksud mengulas tentang siapa Bhagawan Wararuci dan bagaimana ajaran itu lahir. Saya lebih tertarik memaparkan apa isi ajaran itu, terutama yang menyangkut soal kepemimpinan. Sebenarnya ada telaah bahwa ajaran ini tadinya dikhususkan buat para rohaniawan terutama pendeta (yang di masa dulu populer disebut dengan Bhagawan dan Rsi) namun kemudian dikembangkan untuk para pemimpin juga. Ada empat poin dalam ajaran ini. Dan ini yang ingin saya bagikan sambil coba mengaca apa ada relevansinya dengan kepemimpinan yang kita butuhkan saat ini, menjelang pemilu dan pilpres tahun depan.

Empat syarat utama seorang pemimpin itu adalah (1) Sang Satya Wedi, (2) Sang Apta, (3) Sang Pathirtan, dan (4) Sang Panadahan Upadesa. Tentu uraiannya pun memakai bahasa Jawa Kuno, tapi saya mengabarkannya dengan bahasa kekinian.

Sang Satya Wedi adalah seorang pemimpin yang senantiasa harus mengatakan tentang kebenaran dengan cara yang baik dan bertanggungjawab. Satya artinya kebenaran, Wedi artinya mengatakan. Bukankah seorang pemimpin harus selalu berkata yang jujur dan selalu bertanggungjawab terhadap apa yang dikatakannya. Tidak boleh seorang pemimpin itu menipu atau berperilaku yang melempas dari kebenaran yang sudah diucapkannya. Jangan sekali-sekali memilih pemimpin yang suka berbohong. Nah silakan memeriksa apakah calon presiden, calon wakil presiden, calon anggota legislatif ada yang suka berbohong?

Yang kedua, Sang Apta artinya orang yang dapat dipercaya. Untuk memiliki kepercayaan itu seorang pemimpin harus punya moralitas dan kepribadian yang luhur. Kalau pemimpin tak memiliki moralitas dan kepribadian yang baik, dia akan menjadi perusak di masyarakat. Pemimpin yang seenaknya memberi janji-janji yang tak pernah dilaksanakannya, bukanlah pemimpin yang ideal.

Kata “apta” juga berarti cerdas atau memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Menjadi pemimpin kalau tak mempunyai ilmu yang memadai dan gagasan yang cemerlang, bagaimana bisa menggerakkan masyarakat? Pemimpin tak bisa mengandalkan kepopuleran semata-mata. Sekarang ini banyak calon pemimpin yang wawawasannya kurang dan hanya mengandalkan kepopulerannya. Tak sepantasnya mereka dipilih untuk mewakili bangsa ini.

Yang ketiga Sang Pathirtan artinya seorang pemimpin berfungsi sebagai tempat rakyat untuk meminta pencerahan. Pemimpin yang menuntun masyarakat untuk berkembang maju. Mereka yang menjadi pemimpin harus rajin datang ke desa-desa menemui rakyatnya untuk memberi motivasi agar masyarakat bekerja dengan baik. Kalau masyarakat sejahtra dan rakyat bebas dari tekanan ekonomi sudah pasti kehidupan akan lebih nyaman. Pemimpin harus menjadi panutan dan menuntun warganya kea rah yang baik.

Yang terakhir Sang Penadahan Upadesa. Yang dimaksudkan di sini adalah pemimpin itu memiliki swadharma (tugas dan kewajiban) memberikan pendidikan moral atau kesusilaan agar masyarakat hidup harmonis dengan moral yang luhur. Pemimpin harus melakukan hal ini. Tentu saja pemimpin harus pintar berbicara di depan umum dan menggiring masyarakat untuk hidup harmonis berdasarkan moral yang luhur. Kalau pemimpinnya tidak bemoral justru akan menjadi beban, kemana masyarakat mencari teladan?

Kata “penadahan upadesa” juga bisa diartikan sebagai pengayom kepada masyarakat tanpa membedakan asal-sul, keyakinan, pekerjaan yang berbeda-beda di masyarakat. Pemimpin tak boleh mengadu-domba di masyarakat, misalnya, dengan cara pilih kasih mementingkan kelompoknya saja.

Apakah ajaran leluhur ini masih relevan untuk masa kini, terutama dalam memilih siapa yang akan kita coblos pada pemilu legistalif dan pemilihan presiden mendatang? Mari kita renungkan bersama. Tentu ini hanya sebagian kecil dari syarat-syarat pemimpin, lain kali saya akan mencoba membagikan dari sumber yang lain. Jangan kita anggap remeh petuah kebajikan dari masa lalu. Dan jangan pula kita ngawur untuk memilih pemimpin pada pesta demokrasi tahun depan.

Salam sejahtra, semoga kita bisa mendapatkan pemimpin yang amanah untuk bangsa yang besar dan majemuk ini. ***

 

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB