x

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 31 Juli 2023 17:44 WIB

Pemimpin, Ketaladanan Manusia Simbol yang Sudah Dirusak

Dalam Bhagawad Gita banyak teladan tentang kepeimpinan. Kitab yang ditulis dalam bahasa Sansekerta ini diterjemahkan dan ditafsirkan dalam berbagai bahasa di dunia oleh pemeluk agama yang beragam. Konon Presiden Soekarno sangat suka membaca kitab ini. Saat ini kita miskin keteladanan dari pemimpin. Mari pilah-pilah dalam memilih pemimpin menjelang pemilu nanti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Saya mau melanjutkan berbagi wawasan soal kepemimpinan. Kesempatan ini harusnya semakin serius kita pikirkan menjelang pemilihan umum yang memilih anggota legislatif dan pemilihan presiden dengan pasangan wakil presiden. Hajatan demokrasi ini pada hakekatnya adalah memilih pemimpin yang akan menjadi nahoda perahu bangsa ini selama lima tahun ke depan. Salah kita memilih akibatnya bisa fatal. Ya kalau cuma negara kita jalan di tempat, namun kalau mundur dari apa yang sudah kita capai, tentu sangat memprihatinkan.

Kali ini saya ambilkan sumbernya dari sloka atau ayat yang terdapat dalam kitab Bhagawad Gita. Namun perlu saya jelaskan terlebih dahulu tentang kitab Bhagawad Gita ini, apakah itu kitab suci sebuah agama atau bukan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bhagawad Gita adalah rangkuman wejangan Sri Kresna kepada Arjuna pada saat perang saudara bangsa Bharata yang terkenal dengan istilah Bharata Yudha. Perang itu berlangsung di Kurusetra yang bekas-bekasnya kini menjadi tempat ziarah berbagai umat di India. Ketika itu Arjuna langsung lunglai lemas dengan melepas anak panahnya saat melihat siapa musuh-musuh yang akan dihadapinya. Ada guru yang dihormatinya, ada pamannya, ada bibinya, ada saudaranya. Maklum, namanya saja perang saudara. Arjuna tak ingin berperang dan apa gunanya berperang melawan saudara sendiri?

Di sinilah Kresna memberikan wejangan panjang lebar tentang kewajiban seorang kesatria. Bahkan wejangan itu melebar ke semua prilaku hidup manusia: untuk apa lahir, bagaimana mengisi hidup ketika lahir, apa tugas yang harus kita lakukan ketika kita sudah memilih profesi dalam hidup ini. Ajaran kemanusiaan yang sangat luas.

Bhagawad Gita tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam ephos Mahabharata. Nah para pemuka Hindu di masa lalu (tentu di India) menempatkan ephos Mahabharata ini sebagai apa yang disebut “Kitab Ithiasa”, yang artinya “sejarah kepahlawan manusia sebagai sesuluh umat”. Hanya ada dua Kitab Ithiasa, yakni Mahabharata sebagai sesuluh bahwa semua manusia itu punya sifat baik dan buruk. Tak ada manusia yang sempurna. Satu Kitab Ithiasa lagi adalah ephos Ramayana yang menjadi cermin bahwa kebenaran pada akhirnya akan menjadi pemenang.

Setelah Mahabharata dijadikan Kitab Ithiasa, berlanjut di kemudian hari disebutkan bahwa Bhagawad Gita sangat baik dijadikan pelengkap oleh umat Hindu dalam mempelajari tatwa (filsafat) keagamaan, melengkapi Kitab Suci Catur Weda yang terdiri dari Sama Weda, Reg Weda, Atharwa Weda dan Yajur Weda. Lalu diperkenalkan istilah Bhagawad Gita sebagai Pancamo Weda yang artinya “weda ke lima”. Jadi, apakah Bhagawad Gita itu kitab suci atau tidak, khususnya bagi umat Hindu, tergantung bagaimana sudut pandang orang yang membacanya. Yang jelas secara formal kitab suci umat Hindu adalah Weda dalam pengertian Catur Weda itu, wahyu yang diterima para Maharesi dalam berbagai rentang waktu.

Kenyataannya Bhagawad Gita digemari oleh berbagai lapisan, tak terbatas cuma umat Hindu. Kitab yang ditulis dalam bahasa Sansekerta ini diterjemahkan dan ditafsirkan dalam berbagai bahasa di dunia oleh pemeluk agama yang beragam. Tafsirnya melewati berbagai budaya meski pun slokanya tetap saja sama, tak ada yang berubah. Tokoh-tokoh dunia banyak yang menggemari kitab ini, bahkan konon Presiden Soekarno sangat suka membaca kitab ini. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia ada lebih dari 20 kitab dengan tafsir yang disesuaikan menurut pemahaman penerjemah dan juga untuk kepentingan interen. Tak semua penerjemah itu pemeluk Hindu. Saya punya terjemahan karya pujangga lama yang legendaris, Amir Hamzah. Terjemahan yang sangat puitis, namun tanpa niat membikin tafsir.

Itu sekadar pengantar tentang kitab Bhagawad Gita. Lalu sloka atau ayat yang mana membicarakan soal kepemimpinan? Tentu ada beberapa karena pada hakekatnya Sri Kresna sedang memberi wejangan kepada salah satu pemimpin Pandawa, yakni Arjuna. Kali ini saya kutipkan satu sloka yang menurut saya paling relevan untuk bangsa ini, yakni tentang keteladanan. Karena keteladanan ini paling minim diberikan oleh pemimpin kita di masa kini. Atau keteladcanan yang diberikan justru teladan buruk yang seharusnya tak layak dari seorang pemimpin.

Sloka itu adalah percakapan ke tiga poin 21. Sekadar dimaklumi, Bhagawad Gita terdiri dari 18 rangkuman percapakan dalam satu tema. Bhagawad Gita III.21 aslinya dalam Bahasa Sansekerta adalah: Yad yad acharati sreshthas, tad-tad eve ‘taro janah, sa yat pramanam kurute, lokas tad anuvartate. Arti bebasnya: “Apa saja yang dilakukan oleh para pemimpin dan orang-orang besar, orang lain atau masyarakat banyak akan mengikutinya. Teladan apa pun yang diberikannya seluruh dunia akan menurutinya.”

Bagaimana saya memahami sloka ini? Orang-orang besar dan para pemimpin seperti ditakdirkan punya kelebihan untuk mengayomi masyarakat, membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang sejahtra. Para pemimpin menjadi penerang untuk menunjukkan jalan yang benar kepada masyarakat. Para pemimpin menjadi teladan bagi masyarakat. Apa pun yang mereka kerjakan pastilah bermanfaat baik bagi masyarakat. Itulah pemimpin yang ideal.

Karena tugasnya seperti itu pemimpin biasa dijadikan simbol atau mendapat predikat sebagai “orang yang terhormat” atau dengan panggilan “yang mulia”. Contohnuya, presiden adalah simbol kepala negara yang membawa masyarakat ke arah sejahtra. Fotonya dipajang di kantor-kantor. Kalau fotonya dibakar, orang akan membelanya, karena itu berarti membakar simbol negara. Saya masih memajang foto Presiden Soekarno di rumah tua di kampung, warisan ayah saya. Di foto itu ada caption: PJM Presiden Soekarno. Apa PJM itu? Paduka Jang Mulia.

Para anggota DPR sebagai wakil rakyat mendapat panggilan “yang terhormat”. Karena mereka dipilih oleh banyak rakyat, mereka bertugas menentukan anggaran negara, mereka membuat hukum agar masyarakat menjadi tenang dan damai. Bayangkan kalau negeri tanpa hukum tak ada pedoman untuk kehidupan bersama. Anggota DPR itu adalah manusia sangat terhormat yang kemudian saling membahu dengan presiden untuk membawa masyarakat menuju sejahtra.

Para hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun pengadilan kasasi mendapat panggilan “yang mulia” pada saat memimpin sidang. Karena mereka menegakkan hukum tanpa pilih kasih, memberi keadilan yang betul-betul seimbang dan keputusannya pun mengatas-namakan Tuhan. Toga adalah simbol yang menandakan hakim itu lagi menjalankan tugasnya.

Jadi, para pemimpin itu sudah menjadi “manusia simbol” yang akan memberikan pengayoman dan teladan di masyarakat. Mereka harus menjaga dirinya, berlaku adil, menegakkan arti simbol pada dirinya, agar masyarakat tetap menaruh rasa hormat dan meneladani tingkah lakunya.

Nah, apa yang terjadi saat ini? Sudah jauh panggang dari api. Sudah mulai keteladan itu dirusak sehingga “manusia simbol” itu sudah jatuh harga dirinya. Anggota DPR bicara sambil membentak, menuding-nuding pimpinan rapat sambil menyeruduk ke depan. Pimpinan sidang membalas dengan mematikan mikropun anggota. Ada pula anggota dewan merobohkan meja saat sidang berlangsung. Itu sudah ulah yang tak enak dilihat secara nyata meski pun ulah yang “sedikit sopan” seperti bermain games saat sidang paripurna tetap buruk. Karena meremehkan rapat yang barangkali penting untuk nasib orang banyak. Apakah pemimpin seperti itu masih layak diberi kedudukan yang terhormat?

Hakim ada yang menjual-belikan hukum layaknya makelar atau menerima suap. Apakah hakim itu masih bisa disebut “yang mulia”? Mereka bukannya menegakkan keadilan, tetapi memperdagangkan keadilan. Ada mahasiswa yang saat aksi demo membuat kerusuhan,  bahkan terjadi tawuran antar mahasiswa. Mereka tidak memberikan teladan sebagai calon pemimpin sehingga anak-anak SD pun ikut tawuran.

Para pemimpin dan orang-orang yang berpendidikan seharusnya memberi teladan kepada masyarakat. Kalau kelakuan mereka yang brengsek itu ditonton lewat televisi, yang memang suka dan menanti adegan buruk itu untuk menaikkan peringkat, bagaimana kita mengharapkan masyarakat santun? Di media sosial akun-akun yang justru meancantumkan gelar akademis – entah itu akun palsu atau tidak – memakai kata yang merendahkan orang. Bodoh, tolol, kolot, berhamburan setiap hari. Negeri ini rusak karena keteladanan yang berbudaya luhur tidak dilakukan oleh petinggi negeri dan orang berpendidikan.

Keteladanan itu sangatlah penting. Karena orang-orang yang pendidikannya kurang, atau usia masih anak-anak, sangat suka meniru tingkah laku para pemimpin yang dilihatnya di televisi. Pemimpin yang gemar memberi bantuan kepada masyarakat dengan cara melempar-lemparkan bantuan itu, sangat tidak etis karena menghinakan orang yang dibantunya. Tontonan ini bisa melekat pada pikiran anak kecil, sehingga sang anak pun akan menirunya seolah semua itu baik-baik saja. Padahal orang tua kita di masa lalu selalu menekankan, “nak, janganlah melempar uang sedekah kepada pengemis, berikan baik-baik, karena mereka adalah manusia seperti kita juga, hak mereka atas kelebihan yang kita punya.”

Mari kita mulai memberi teladan yang baik dalam segala hal, apakah Anda yang sedang menjadi pemimpin, Anda yang akan bejuang menjadi pemimpin, atau pun Anda yang akan memilih orang menjadi pemimpin. Cobalah baca-baca lagi kitab lama untuk mencari masukan bagaimana masyarakat yang harmonis itu dimulai dari keteladanan kita, jangan kitab itu cuma dipajang di lemari dan hanya menjadi latar ketika kita membuat konten. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu