x

Galungan. Dua umat Hindu meletakkan sesajen saat mengikuti persembahyangan Hari Raya Kuningan di Pura Pitamaha, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu 14 Januari 2023. Hari Raya Kuningan merupakan rangkaian dari Hari Raya Galungan yaitu perayaan kemenangan \x22Dharma\x22 (Kebenaran) melawan \x22Adharma\x22 (kejahatan) yang dirayakan umat Hindu dengan melakukan persembahyangan bersama di setiap pura di kota itu. ANTARA FOTO/Makna Zaeza

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Agustus 2023 15:44 WIB

Refleksi Hari Raya Galungan, Pengamalan Ajaran Agama yang Kian Berubah

Saat umat Hindu Bali merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan, penjor seharga jutaan rupiah menghias tepi jalanan. Namun pengamalan agama mulai berubah, jarang terlihat lagi ritual membantu sesama manusia. Sarana ritual pun tergantung kiriman dari luar pulau.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Galungan, Hari Kemenangan, dan Perubahan Mengamalkannya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Apakah hari-hari ini Anda sedang berada di Pulau Bali? Sudah pasti akan menemukan keindahan dengan penjor yang berjajar di tepi jalanan. Bali sedang merayakan Hari Raya Galungan yang diakhiri dengan Hari Raya Kuningan. Galungan itu sendiri pada Rabu Kliwon 2 Agustus lalu, sementara Hari Raya Kuningan pada hari Sabtu Kliwon 12 Agustus 2023. Semua sekolah di Bali sudah libur selama dua minggu dan dibuka kembali 14 Agustus 2023. Itu sudah tradisi sebagai hari libur lokal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Galungan itu adalah hari kemenangan. Apa yang menang? Dharma, artinya kebenaran, yang berhasil mengalahkan adharma, ketidak-benaran. Namun istilah Galungan tidak ada tercantum dalam kitab suci Weda. Kitab suci hanya menyebutkan, kemenangan dharma disesuaikan dengan budaya lokal setempat di mana umat berada. Dalam bahasa kekinian, boleh bebas merayakannya kapan saja dan harinya dipilih sesuai budaya lokal. Jadi Galungan itu hanya dirayakan oleh umat Hindu etnis Bali.

Di India hari kemenangan itu disebui Deepavali, yang juga dirayakan oleh umat Hindu etnis India yang ada di Indonesia. Deepavali dirayakan sebagai pesta cahaya. Hari kemenangan ini diambil dari kemenangan Sri Rama dalam mengalahkan Rahvana. Jadi, Deepavali sebuah perayaan untuk kemenangan seorang tokoh yang dijadikan panutan dan menjadi inspirasi umat. Inspirasi itulah yang senantiasa mau dihadirkan umat Hindu India untuk teladan dalam meniti kehidupan.

Sedangkan perayaan Galungan bukan sekadar hari kemenangan seorang tokoh, tetapi kemenangan diri kita sendiri melawan nafsu-nafsu buruk yang dilambangkan oleh munculnya adharma. Jadi sebelum merayakan Galungan kita sendiri yang berperang melawan adharma itu, kita harus aktif menaklukkannya baru kita merayakan Galungan. Di situ letak perbedaannya.

Apa yang dilakukan orang Bali di hari kemenangan ini? Potret yang muncul sekarang ini lebih banyak pada bersembahyang ke berbagai pura, terutama pura di desa yang paling dekat dengan lingkungan kita. Di pintu keluar halaman rumah didirikan penjor. Di perkotaan penjor itu bisa sangat meriah karena bahannya banyak dijual di warung-warung. Bahkan bisa membeli penjor yang sudah jadi. Mahal pula sampai ada penjor di atas harga Rp 10 juta. Luar biasa.

Bukan cuma bahan untuk penjor. Sebagian besar sarana persembahyangan di Bali didatangkan dari luar pulau Bali. Cobalah datang ke Pasar Batu Kandik, terminal terakhir truk sembako yang datang dari Jawa. Setiap pagi datang truk penuh muatan pisang yang didatangkan dari Jawa Timur, khususnya dari Kabupaten Bondowoso, Sidoarjo dan Banyuwangi. Juga bunga, janur, ayam, itik. Tanah di Bali sudah tak mampu lagi memproduksi sarana ritual orang Bali. Pertanian di Bali bukan lagi masalah prioritas, tanah sawah dan kebun sudah berubah menjadi perumahan dan sarana wisata.

Bali bukan lagi pulau agraris. Masyarakat Bali sudah memasuki era industri di mana segala kebutuhannya sudah bisa didapat dengan cara membeli. Tidak perlu lagi mencari sarana upacara di kebun sendiri, cukup dengan membeli. Dan bahkan sarana yang dibeli itu pun sudah berwujud, bukan lagi berupa bahan yang harus dirangkai. Perlengkapan upacara, mulai dari membuat penjor Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli secara bebas. Buah pun tersedia di berbagai supermarket dan “toko-toko modern” yang sudah bertebaran di desa-desa. Kekurangan janur sudah diatasi dengan “janur yang awet” yaitu ibung yang didatangkan dari Sulawesi.

Padahal menurut tetua di masa lalu, Galungan mesti dirayakan dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri. Yang dimaksudkan lingkungan sendiri adalah lingkungan terdekat, kalau pun bukan kita yang menanamnya, bisa diperoleh dari tetangga. Ini adalah wujud rasa terimakasih kepada ibu pertiwi yang telah memberi karunia kehidupan kepada manusia. Dua puluh lima hari sebelum Galungan ada hari yang disebut Tumpek Pengarah. Ini adalah ritual untuk memuliakan pohon-pohon yang berbuah. Orang Bali, terutama di pedesaan, mendatangi pohon itu dengan memberikan sesajen dan berbicara seolah-olah pohon itu bisa diajak bicara. “Kaki-kaki cepatlah bebuah, sebentar lagi Galungan,” demikian kurang lebih kalau diterjemahkan. Kebiasaan itu masih ada sampai sekarang. Namun apa yang terjadi ketika Galungan tiba? Bukannya buah itu yang dipersembahkan sebagai sesajen Galungan, tetapi membeli ke pasar-pasar.

Ibung dari Sulawesi yang kini sangat populer di Bali sudah lama digunakan sebagai pengganti janur karena awet. Padahal ibung itu disiram cairan pengawet yang bisa bikin tangan lecet dan napas tersengal karena zat kimianya. Tapi banyak orang Bali yang tak peduli dan tetap memakai ibung sebagai pengganti janur.

Perubahan cara mengamalkan ajaran agama memang terus terjadi. Dulu, di masa saya bocah sampai menginjak remaja, Galungan betul-betul terasa sebagai hari kemenangan dan hari bersuka-ria. Anak-anak di kampung mengenakan baju baru yang berwarna-warni. Sembahyang hanya sebentar di pagi hari, selanjutnya tinggal berebut naik ke atas truck untuk piknik ke pantai yang jaraknya 27 km dari kampung. Semua bersuka ria dengan baju baru itu, baju warna warni yang juga dipakai bersembahyang. Tidak seperti sekarang seperti harus memakai baju putih.

Perubahan yang mencolok adalah hilangnya “yadnya kemanusiaan” yaitu saling membantu di antara warga desa. Dulu mereka yang mampu memberi bantuan kepada mereka yang tidak mampu dengan cara mengirim makanan dan jajan. Bahkan saya ingat di pagi hari ibu mengajak saya ke warga muslim di kampung. Ada tiga keluarga muslim asal Madura yang kesehariannya menjual sate. Ibu membawakan ketupat dan makanan yang non-daging ke rumah warga muslim itu. Tradisi ini disebut “ngejot”. Itulah cara ibu merayakan hari kemenangan, berbagi ceria kepada banyak orang, tak peduli dari mana asalnya dan agamanya.

Ritual keagamaan sekarang ini sudah menjauh dari sisi kemanusiaan. Hubungan kita sepertinya lebih vertikal atau “tegak lurus” dengan persembahyangan kepada Tuhan, bukan lagi horizontal saling membantu antarmanusia. Semakin banyak kitab dibaca, semakin banyak ajaran agama dikuasai, justru semakin renggang hubungan kita sesama manusia. Dulu, orang Bali yang beragama Hindu tidak marah disebut memuja patung atau memuja pohon, karena mereka yakin cara yang mereka lakukan saat bersembahyang itu bukan memuja benda di hadapannya. Patung dan pohon itu hanya sarana dan yang menuduh itu mungkin tidak tahu. Sekarang, jika ada tuduhan begitu, orang Bali pun bisa marah dan bahkan bisa diprotes lebih serius.

Pertanyaan lain muncul, sejak kapan Galungan itu dijadikan hari kemenangan di Nusantara? Tak ada bahan otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Dalam berbagai catatan pustaka kita hanya tahu kalau di abad ke 11 hari Galungan sudah dirayakan di zaman Kerajaan Jenggala. Ini misalnya dimuat dalam naskah kuno Kidung Panji Amalat Rasmi. Begitu pula kalau kita menyimak Pararaton, disebutkan pada akhir Kerajaan Majapahit, Galungan sudah dirayakan dengan besar-besaran. Apakah perayaan itu sama dengan di Bali tak ada bahan pembanding, karena di Bali sendiri perayaan Galungan pernah ada dan pernah ditiadakan.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan di Bali pada tahun 804 Saka, persis saat itu adalah Purnama Kapat. Tapi perayaan ini berhenti pada tahun 1103 Saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan. Tidak diketahui kenapa setelah tiga abad Galungan dirayakan tiba-tiba berhenti begitu saja. Lama tidak dirayakan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi. Lalu pada tahun 1126 Saka perayaan Galungan diadakan kembali, yakni pada pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu.

Apa yang terjadi selama 23 tahun sehingga Galungan tidak dirayakan? Apakah ada perubahan tafsir dalam menentukan perayaan kemenangan dharma itu atau hanya masalah “politik kerajaan” terkait dengan perselihan di antara raja-raja? Tak ada catatan yang bisa menjelaskannya. Hanya ada catatan kecil yang sumbernya perlu dikaji lagi. Konon Raja Sri Jaya Kesunu merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik (bisikan) dari Dewi Durgha. Disebutkan dalam bisikan itu, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan. Dewi Durgha meminta agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Demikian sekilas catatan di sekitar perayaan Galungan. Memang selalu ada perubahan kecil, apalagi kalau menyangkut ritual dan sesajennya. Namun intinya tetap sama, Galungan dirayakan setelah kita berhasil mengalahkan nafsu buruk yang ada dalam diri kita. Nafsu itu yang disebutkan sebagai adharma. Jadi, kalau Anda belum bisa mengalahkan nafsu-nafsu buruk, maka Anda sesungguhnya belum bisa merayakan Galungan dengan benar. ***

 

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu