x

4 Hal Menarik Ketika Berwisata ke Gunung Bromo

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 9 Agustus 2023 13:08 WIB

Redupnya Program Sepuluh Bali Baru dan Dilema Pariwisata Budaya

Program Sepuluh Bali Baru kian meredup. Destinasi wisata kita yang bersandar pada pariwisata budaya memang menjadi dilematis. Alam harus dijaga agar kawasan wisata tetap bertahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepuluh Bali Baru dan Dilema Pariwisata Budaya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Pernah mendengar program unggulan Presiden Joko Widodo yang disebut “Sepuluh Bali Baru”? Ini adalah program pengembangan pariwisata yang tujuan utamanya membuat 10 daerah wisata baru yang tak kalah dengan Bali. Bahkan destinasi wisata itu diharapkan jauh lebih hebat dari Bali. Program yang dicetuskan beberapa bulan setelah Presiden Jokowi memegang tapuk jabatannya pada periode pertama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekarang program ini sudah redup. Orang sudah mulai lupa di mana saja kawasan itu dibangun. Perhatian pemerintah juga sudah berkurang. Kalah dengan program yang lebih dasyat seperti membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menyedot banyak anggaran belanja negara. Juga kalah dengan proyek mercu suar yang berkali-kali dananya direvisi, semacam pembangunan kereta cepat Jakarta – Bandung.

“Sepuluh Bali Baru” boleh disebut gagasan dasyat nyaris bagaikan mimpi. Sesungguhnya dalam rencana jangka panjang di bidang pariwisata, sudah dikenal apa yang disebut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ini program yang merata di seluruh daerah, bahkan satu provinsi ada beberapa KSPN. Ada pun “Sepuluh Bali Baru” adalah destinasi wisata yang menjadi pioritas utama. Karena itu disebut dengan nama KSPN Prioritas yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya. Juga pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan.

Di mana saja itu?  Kita urutkan dari ujung barat Nusantara. Yang pertama, Danau Toba di Sumatera Utara. Danau Toba merupakan danau alami dan vulkanik terbesar di Indonesia. Untuk mencapai Danau Toba, pemerintah memprioritaskan membuka rute penerbangan dari Bandara Kualanamu di Medan ke Bandara Silangit. Yang kedua, Tanjung Kelayang, pantai indah yang terletak di Tanjung Pandan, Bangka Belitung. Pantai ini memiliki ciri khas batu granit raksasa yang mirip dengan kepala burung garuda. Prioritas pembangunan di pantai ini adalah membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di bidang pariwisata.

Yang ketiga, Pantai Tanjung Lesung yang terletak di Pandeglang, Banten. Pantai dengan jarak 160 kilometer dari ibu kota Jakarta ini, memiliki pasir putih yang indah. Prioritasnya nanti adalah pengembangkan Taman Nasional Ujung Kulon. Juga kawasan wisata Gunung Krakatau dan Pulau Umang.

Yang ke empat, Kepulauan Seribu, gugusan pulau yang terletak di utara Jakarta. Beberapa pulau memiliki penghuni, sedangkan yang tidak berpenghuni diperuntukkan demi kepentingan wisata dan riset. Yang kelima, Candi Borobudur. Prioritasnya adalah bagaimana menambah kunjungan wisata di sana tetapi tetap menjaga kelestarian candi Buddha terbesar di Indonesia ini. Candi ini secara resmi sudah dibuka untuk tempat ritual sehingga arahnya nanti adalah wisata relijius, namun ada pembatas pengunjung yang naik sampai puncak candi.

Yang keenam, kawasan Gunung Bromo dengan kawah yang mempesona dan ada Taman Nasional Bromo Tengger. Gunung Bromo merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia. Gunung ini dikelilingi lembah, ngarai, dan kaldera atau lautan pasir. Ada empat kabupaten yang menyangga kawasan wisata ini, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang.

Yang ketujuh, kawasan Mandalika di Nusa Tenggara Barat. Dengan berfungsinya bandara di Lombok Tengah, jarak dari bandara ke Mandalika  hanya membutuhkan waktu 30 menit. Di kawasan ini sudah dibangun sirkuit balap motor untuk mendampingi pantai berpasir putih yang indah itu. Hotel-hotel pun sudah dibangun dan balapan motor sudah berlangsung.

Yang ke delapan, Labuan Bajo yang berada di Kabupaten Manggarai Barat, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kawasan ini menawarkan balutan panorama laut biru dengan bukit-bukit hijau. Yang membuat daerah ini sangat terkenal tentu adalah binatang purba komodo. Kawasan ini sudah gencar dibangun sarana wisata. Sudah pernah dipromosikan sebagai tempat KTT ASEAN.

Yang ke sembilan, Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Ini adalah taman nasional kehidupan bawah air yang kaya dengan panorama terumbu karang. Ada pun yang ke sepuluh adalah Pulau Morotai, pulau paling utara Indonesia yang merupakan bagian dari Kepulauan Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Morotai menawarkan keindahan pantai pasir putih dengan paduan hutan lebat.

Itulah “Sepuluh Bali Baru” yang diharapkan bisa menyaingi Bali dan memeratakan pembangunan di Nusantara ini. Sama dengan konsep pembangunan IKN yang diharapkan kegiatan ekonomi tak hanya bergerak di Jawa (dan Bali) saja. Bali tak mungkin menampung seluruh kegiatan wisata. Selain pulau Bali kecil, modal yang dimiliki Bali sesungguhnya sangat terbatas, yaitu masalah budaya. Keindahan alam pun masih banyak yang lebih indah di luar Bali. Seperti  Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, misalnya, meski Raja Ampat tidak masuk prioritas.

Sanggupkah ke sepuluh destinasi wisata ini akan bersaing dengan Bali? Kenapa tidak? Di Mandalika sudah dibangun bandara internasional, berpuluh-puluh hotel bertaraf internasional, dan yang terbaru saat ini adalah sirkuit yang tergolong sirkuit terindah di dunia. Sirkuit dengan pemandangan ke pantai yang memiliki 17 tikungan.

Pulau Komodo punya daya tarik unik karena adanya binatang komodo di sana. Masuknya Pulau Komodo dalam kandidat keajaiban dunia pada tahun 2012 menjadi bukti bahwa pulau ini telah diakui keindahannya. Habitat komodo sebagai reptil terbesar di dunia dan sebagai satu-satunya keturunan dinosaurus yang masih hidup menjadi daya tarik tersendiri.

Setiap daerah wisata yang diprioritaskan itu, tenyata punya masalah tersendiri. Pulau Komodo memang punya alam tergolong indah, meski belum digarap benar. Namun, jika alam itu digarap dengan serampangan,  binatang komodo akan bermasalah. Sudah ada penelitian dari pakar komodo, jika habitat mereka dirusak, populasi mereka tak akan berkembang. Bahkan, semakin banyak komodo berinteraksi dengan manusia, semakin cepat dia “bunuh diri” karena stres.

Komodo yang ada di Kebun Binatang Surabaya saja mati, padahal sudah dipelihara dengan bagus dan dimanja betul. Jadi, komodo tak bisa diajak kompromi untuk menguras kantong wisatawan. Semakin moderen fasilitas wisatawan dibangun, semakin banyak komodo yang mati. Ini dilema, di satu pihak wisatawan perlu fasilitas yang memadai, di pihak lain komodo tak bisa dengan suasana itu.  Pelancong membutuhkan hotel, restoran, jalan aspal, mobil, motor, air bersih, listrik dan banyak lagi. Komodo membutuhkan hutan, rawa, air kotor, bangkai hewan untuk makanannya.

Bali pun tak lepas dari masalah di kemudian hari, entah berapa tahun lagi. Modal Bali adalah alam dan budaya. Alam ciptaan Tuhan, budaya ciptaan manusia. Pantai yang indah, sawah yang unik, danau yang memukau, gunung yang menakjubkan adalah ciptaan Tuhan. Sedangkan aktifitas budaya masyarakat Bali adalah ciptaan leluhur manusia Bali yang telah diwarisi ratusan tahun lalu.

Manusia Bali tentu saja bukan sejenis komodo yang tak bisa diajak kompromi. Tapi manusia Bali sejak dulu kala menjadi manusia yang polos. Dulu orang Bali dipuji karena bertani di sawah yang teraseringnya indah, melakukan ritual yang penuh kesenian dan hura-hura, menyabung ayam sebagai kegemarannya. Banyak karya lukis tentang itu, wisatawan terpukau, dan pengelola wisata kaya raya.

Tetapi karena manusia Bali bukan komodo, kini di era TikTok dan YouTube itu mereka bertanya: “Kenapa sawah saya yang indah itu harus saya pertahankan, memangnya ada yang mengurusi irigasinya, pajak buminya saja naik terus?” Maka karena kebutuhan modern, sawah pun dijual dan dibeli pengembang. Lalu dibangun rumah-rumah baru.  Padahal sawah inilah yang menjadi daya tarik wisatawan.

Orang Bali bertanya lewat TikTok: “Kenapa saya harus melaksanakan ritual yang besar dan jelimet, uang habis untuk upacara, apalagi pendeta Hindu sudah memperkenalkan ritual sederhana yang murah, memangnya ritual itu cuma tontonan?” Maka mereka pun bikin ritual yang sederhana. Wisatawan tak lagi melihat ritual yang megah.

Manusia Bali menggugat: “Kenapa pura saya harus dikunjungi wisatawan, memangnya saya tak terganggu kalau bersembahyang? Memangnya perbaikan dan ritual di pura itu ada yang kasih biaya?” Maka turis pun dibatasi menonton ritual ini. Sembahyang memang bukan tontonan. Pengunjung di Pura Besakih pun dibatasi, turis kesal.

Nah, dengan kecenderungan perubahan manusia Bali dalam menyikapi ritual dan adatnya sekarang ini, maka yang masih dinikmati oleh wisatawan nantinya hanya budaya dalam bentuk kesenian. Lagi pula budaya orang Bali terkait dengan dunia agraris, sudah pasti semakin langka.

Dulu ada sawah yang indah, ada sapi atau kerbau yang membajak sawah, ada orang-orang menanam dan memetik padi. Semua itu hilang termasuk lumbung dan rumah adat. Yang tinggal hanya berkesenian dan bukan berbudaya. Padahal kesenian khas Bali tak harus dilakukan oleh orang Bali dan terjadi di Bali, bisa berkembang di mana saja di Nusantara ini. Tari Bali yang dinikmati wisatawan itu bisa saja ditarikan orang non-Bali, bahkan orang asing. Kesenian Bali sudah menjadi milik nasional, bahkan milik dunia. Lihat saja berapa banyak mahasiswi Jepang yang belajar di Institut Seni Indonesia Denpasar.

Hal serupa akan terjadi di berbagai daerah. Kepariwisataan di NTT khususnya di kawasan Pulau Komodo tak akan bernapas panjang jika ikonnya adalah komodo – yang tak bisa diajak modern. Pengunjung di Borobudur akan menghadapi masalah jika naik di atas candi dibatasi dan membayar mahal karcis naik.

Orang Bali pun tak mau disuruh melaksanakan tradisi mewahnya seperti di masa lalu karena yang memanfaatkan adalah yang punya hotel dan biro pariwisata. Jika komodo saja emoh diperalat dan memilih mati, orang Bali tentu juga tak mau diperalat karena tetap memilih hidup. Apalagi, Bali tak akan lagi mendapat predikat sebagai pulau paling indah bagi wisatawan, karena keindahan itu sudah kumuh oleh rumah-rumah petak yang semerawut, pantainya sudah abrasi dan danaunya sudah dangkal. Alam Bali harusnya dijaga kelestariannya, karena dari sana muncul budaya yang dikagumi wisatawan. Penduduk di Labuan Bajo harus menjaga alamnya agar komodo tetap betah di sana. Warga Gunung Bomo harus tetap menjaga lautan pasirnya dan membatasi mobil yang menginjak lautan pasir itu.

Intinya adalah jika dunia wisata masih mengandalkan alam dan budaya, maka jagalah alam itu dan jangan rusak sarana yang membuat penduduk menyalurkan budayanya. Menjaga alam ini lebih penting dari membangun “Sepuluh Bali Baru”. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler