x

Ilustrasi Pelecehan

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 13 Agustus 2023 16:18 WIB

Catatan dari Pelecehan Seksual Finalis Miss Universe

Heboh jelang final Miss Universe Indonesia berujung ke laporan polisi. Peserta merasa dilecehkan dengan pemeriksaan tubuh. Ini ajang kontes kecantikan, bagaimana seharusnya memeriksa kecantikan itu agar tidak merasa dilecehkan? Hal lain yang perlu dievaluasi, apakah kontes begini memang bermanfaat untuk kemajuan pariwisata? Sesuaikah dengan budaya kita, karena sering terjadi pro dan kontra.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya.

Bosan dengan berita politik? Mungkin ini menarik sebagai selingan, kehebohan yang tak ada kaitannya dengan tahun politik. Tentu saja tidak bicara soal koalisi partai yang mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Tidak pula soal buronan Harun Masiku yang sudah tiga tahun lebih tak berhasil ditangkap. Apalagi heboh soal “bajingan tolol” yang membuat nama Rocky Gerung semakin populer. Berita viral ini soal para finalis Miss Universe versi Indonesia yang berduyun-duyun mendatangi kantor polisi. Mereka melaporkan adanya dugaan pelecehan seksual ketika mengikuti tahap menjelang grand final kontes itu.

Di mana menariknya? Hajatan yang sudah sejak lama ada di negeri ini dan selalu menimbulkan pro kontra mempertontonkan “keterbukaan”, tiba-tiba berujung laporan ke polisi. “Keterbukaan” itu adalah memamerkan aurat bagian tubuh perempuan di atas panggung yang ditonton ribuan orang dan (mungkin) jutaan pemirsa di layar televisi. Namanya juga kontes kecantikan. Pesertanya sudah pasti adalah para wanita yang merasa dirinya cantik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk menilai apakah peserta itu benar cantik dan kemudian siapa yang tercantik sehingga layak dijadikan pemenang, ada tahapan yang harus diuji oleh dewan juri. Cara mengujinya tentu dengan menerapkan “keterbukaan” itu tadi. Rambut yang dibiarkan terurai, busana yang sangat minim seperti bikini, pakaian renang yang hanya menutup aurat tertentu, dan berbagai model busana gemerlap di atas panggung. Busana yang entah bagian atasnya terbuka dan bagian bawahnya tiba-tiba longgar sehingga betis (dan… ah, paha juga) bisa kelihatan.

Tak cukup di situ, di ruangan tertutup ada “pemeriksaaan tubuh”. Nah, tak usah ditulis lebih rinci, pada tahapan inilah peserta merasa dilecehkan, karena cara memeriksanya bisa beragam, ada yang berbusana sangat minim lalu disuruh melenggang-lenggok, ada yang buka busana lalu difoto. Apa yang terjadi pada saat Miss Universe diperiksa di ruang tertutup, meski konon CCTV dimatikan? Ini yang sedang diusut oleh kepolisian.

Apakah sebelumnya peserta benar tidak tahu resiko dari adu lomba kecantikan itu? Apakah pengaduan ke polisi ramai-ramai itu karena mereka tidak memenangkan kontes kecantikan? Apakah mereka baru sadar bahwa ketika diminta membuka (dan memamerkan) aurat itu adalah perbuatan yang melecehkan sebagaimana kodrat seorang wanita? Pertanyaan terakhir ini menjadi penting karena saat mereka lapor ke polisi sudah menutup auratnya rapat-rapat, bahkan dengan memakai hijab, pertanda memang mereka tidak jelas tahu ajang apa mis-mis-an ini. Atau mungkin tidak membaca agendanya secara lengkap. Mungkin juga panitia tidak membagikan agenda lengkap itu karena dianggap peserta sudah tahu.

Semua pertanyaan dan misteri itu patut dibuka. Namun yang lebih baik dipersoalkan kembali adalah apakah kontes begini sesuai dengan budaya kita? Tentu pertanyaan tidak ditujukan kepada para finalis itu. Pro kontra soal ini sudah lama, sejak Orde Baru. Ketika itu ada seorang menteri perempuan yang menolak “kontes wanita cantik” ini dengan mengatakan, “kok seperti kontes sapi”. Maksudnya, dipelototi, diukur tubuhnya, bahkan dielus.

Bahwa ada pro dan kontra itu soal biasa. Bahkan ada yang lebih serius, pernah ada ancaman menjelang berlangsungnya pergelaran Miss World di Indonesia. Ini hajatan kelas dunia untuk pertamakalinya di negeri ini dan sampai sekarang pun tak pernah ada lagi. Acara itu sedianya dilangsungkan di Sentul, Bogor, pada September 2013. Protes bermunculan dari ormas-ormas Islam termasuk dari Majelis Ulama Indonesia. Akhirnya Wakil Gubernur Jawa Barat saat itu Deddy Mizwar, yang dulunya bintang film yang sangat menyenangi acara-acara glamour semacam ini, menolak diselenggarakannya Miss World di wilayah Jawa Barat. Karena acara sudah dirancang di Indonesia, maka akhirnya panitia memindahkan ke Nusa Dua, Bali.

Ancaman pun muncul. Ada ormas Islam yang bertekad mengirim “para pendekar” untuk menyerbu Bali dan membubarkan hajatan Miss World itu. Warga Bali bersatu dan siap menyambut “para pendekar” di Pelabuhan Gilimanuk untuk membela agar hajatan itu tetap berlangsung. Tapi alasannya, acara itu hanya berlangsung di kawasan wisata Nusa Dua dan orang Bali tak peduli akan acaranya. Orang Bali hanya peduli pada keamanan Bali. Akhinya Miss World tetap berlangsung, “para pendekar” yang mau membubarkan acara tak muncul, orang Bali tak ada yang hirau sama sekali. Ketika peserta final Miss World ada acara mengunjungi pura, mereka diharuskan memakai busana lengkap dengan mengenakan kain dan kebaya, itu pun tak boleh ke areal yang disucikan. Tak ada keramaian yang menyambut orang-orang cantik sedunia ini.

Hajatan yang praktis hanya berkutat di Nusa Dua itu pemenangnya adalah Megan Young dari Filipina. Dia juga satu-satunya dari kawasan Asia Tenggara yang memenangkan Miss World. Adapun wakil Indonesia, Vania Larissa, pemenang Miss Indonesia 2013 masuk 10 besar dunia. Mungkin ini sebagai penghargaan karena acara berlangsung di Indonesia. Sebelumnya,  wakil Miss Indondesia tak pernah mencapai peringkat 10 besar.

Oya, ada dua kontes kecantikan tingkat dunia yang populer. Ada Miss World dan ada Miss Universe. Beda keduanya tidaklah mencolok, hanya penambahan dalam bidang keahlian tertentu yang diuji pada setiap peserta. Selebihnya ya tetap soal kecantikan dengan menyoroti bentuk tubuh yang saling mendukung. Lalu di setiap negara ada yang memegang lisensinya.

Di Indonesia ada kontes yang bernama Putri Indonnesia, didirikan oleh Mooryati Soedibyo pengusaha yang banyak bergerak di bidang kecantikan, pada 1992. Lewat Yayasan Putri Indonesia ini dia memegang lisensi untuk Miss World dan Miss Universe. Setiap tahun pemenang Putri Indonesia harusnya dikirim ke kedua kontes dunia ini. Namun ada hambatan dari Ibu Negara Tien Suharto, yang kurang sreg dengan ajang ini. Putri Indonesia yang pertama 1992 adalah Indira Paramarini Sudiro. Dia hanya dikirim ke Miss ASEAN. Pada tahun 1993 pernah Putri Indonesia dikirim ke Meksiko untuk mengikuti Miss Universe. Entah apa yang terjadi, pada saat peserta sudah dikarantina, Putri Indonesia 1993 itu ditarik dari perlombaan atas permintaan ibu Tien Suharto.

Meski penuh hambatan, pemilihan Putri Indonesia tetap berlangsung setiap tahun. Bahkan dengan predikat ada gelar sampingan sebagai tambahan. Ada yang disebut Putri Indonesia Lingkungan, Putri Indonesia Pariwisata dan lainnya tergantung sponsor. Baru pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri pemenang Putri Indonesia dikirim ke kontes tingkat dunia.

Kini, lisensi untuk Miss Universe sudah tak lagi dipegang Mooryati Soedibyo. Namun pemilihan Putri Indonesia tetap berlangsung setiap tahun. Putri Indonesia 2023 yang digelar 19 Mei yang lalu di Balai Sidang Jakarta menghasilkan Farhana Nariswari Wisandana dari Provinsi Jawa Barat sebagai pemenang. Konon Nariswari akan dikirim ke ajang Miss Internasional, adu kecantikan tingkat dunia yang tidak sepopuler Moss World dan Miss Universe.

Pemegang lisensi Miss Universe di Indonesia saat ini adalah mantan penyanyi dangdut Poppy Capella lewat PT Capella Swastika Karya. Poppy juga pemegang lisensi Miss Universe Malaysia. Poppy dan suaminya memang tinggal di Malaysia mengelola berbagai perusahaan. Nah, pada ajang pertama mencari wakil perempuan tercantik untuk dikirim ke Miss Universe inilah, heboh pelecehan seksual terjadi. Lewat penasehat hukum Mellisa Anggraini, para finalis Miss Universe itu mengadukan kasusnya ke polisi.

Pertanyaan yang tersisa saat ini, sesungguhnya apakah begitu penting hajatan ini untuk kemajuan pariwisata – suatu hal yang selalu dikaitkan sebagai alasan? Apakah kecantikan itu otomatis membuat orang bisa menjadi duta pariwisata yang andal? Memang pada saat penjurian – yang finalnya dipertontonkan ke umum baik langsung mau pun siaran televisi – ada pertanyaan juri di sekitar pengetahuan mereka tentang dunia wisata. Namun itu pengetahuan biasa saja yang bisa digantikan oleh brosur atau video promosi. Sementara cara-cara melahirkan “duta wisata lewat kecantikan” seringkali menimbulkan heboh. Kalau kita ikuti hajatan Miss Universe  tingkat dunia, banyak protes yang muncul karena perbedaan memandang kecantikan itu. Orang berkulit hitam, putih, sawo matang dan bentuk-bentuk tubuh yang mencerminkan cantik tidaknya orang itu, sangat dipengaruhi oleh selera dan budaya dari mana juri itu berasal.

Khusus di Indonesia, pemerintah harusnya mulai mengevaluasi apakah hajatan model ini masih tetap diizinkan atau dibatasi. Dibandingkan lomba kecantikan dengan memeriksa tubuh seorang perempuan begitu teliti, lebih pas kalau yang dilombakan adalah busananya. Misalnya, lomba “Perempuan Berbusana Pakai Kebaya”. Jadi yang dipelototi dan diukur-ukur adalah kebayanya, bukan bentuk tubuh pemakai kebaya itu. Toh sama-sama menampilkan kecantikan wanita juga.  Setuju? ***

 

 

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB