x

Ilustrasi Toleransi. Gambar oleh Diego Salonas dari Pixabay.cim

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 8 September 2023 15:09 WIB

Polusi yang Melukai Budi Pekerti

Presiden Jokowi menyebutkan, ada polusi di wilayah budaya yang sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia. Maruf Amin pernah menyebutkan ada darurat budi pekerti. Apakah perlu pelajaran budi pekerti dimasukkan lagi ke sekolah formal?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya

Polusi yang viral di hari-hari belakangan ini tak cuma polusi udara. Ternyata ada polusi yang lain. Inilah polusi di bidang budaya. Polusi budi pekerti.

Adalah Presiden Joko Widodo yang melemparkan soal polusi ini. Sudah lama, hampir sebulan lalu. Hal itu diungkapkan presiden pada saat menyampaikan pidato kenegaraan di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat menyambut hari ulang tahun kemerdekaan. Sidang majelis yang mulia dan hanya berlangsung sekali dalam setahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di awal pidatonya, Presiden Jokowi menyebut banyaknya kemarahan, ejekan, bahkan makian dan fitnahan yang disampaikan orang di media sosial. Lalu ia menambahkan: “Yang membuat saya sedih. budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini, kok kelihatannya mulai hilang? Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.”

Banyak orang terkesima. Pro dan kontra muncul. Apakah Jokowi tidak siap menerima kritik sampai curhat di mimbar terhormat dalam format pidato kenegaraan? Saya tak membahas soal itu. Apalagi kasusnya sudah reda. Maksudnya yang reda adalah kenapa pidato kenegaraan diawali seperti itu. Saya lebih tertarik untuk berbagi masalah apakah betul kita dalam polusi budaya yang demikian dasyat.

Keprihatinan ini sebenarnya sudah lama dikeluhkan tokoh-tokoh agama. Di bulan November 2015, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin, kini wakil presiden, usai membuka rapat kerja nasional MUI di Ancol menyebutkan: “Saat ini Indonesia sudah dalam kondisi darurat akhlak”. Pernyataan Ma’ruf ini segera menyebar di media masa dan muncullah istilah yang membuat banyak orang prihatin:  “Indonesia Darurat Budi Pekerti”.

Kegelisahan Ma’ruf mewakili keresahan banyak orang saat itu. Akhlak manusia Indonesia, dari kalangan muda sampai kepada tokoh-tokohnya, dinilai sudah merosot. Tetapi siapa yang mencoba bergerak “menyiram darurat” ini? Tak semudah menyiram darurat asap. Asap bisa dipadamkan dengan menyiramkan berton-ton air dari pesawat terbang. Tetapi jika budi pekerti yang darurat membutuhkan gerakan bersama untuk menanggulangi.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang tugasnya adalah membentuk moral bangsa dengan memberikan pendidikan budi pekerti, mengaku sudah sejak lama merasakan ada kedodoran dalam hal akhlak dan moral anak-anak usia sekolah. Karena itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada awal tahun ajaran 2015 memperkenalkan program yang disebut Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Program ini merupakan pembiasaan sikap dan perilaku positif yang diterapkan terhadap siswa sekolah sejak masa orientasi peserta didik baru hingga masa kelulusan.

Waktu itu, Menteri Anies menyatakan tujuan dari implementasi gerakan PBP adalah menjadikan sekolah sebagai taman untuk menumbuhkan karakter-karakter positif peserta didik di semua tingkatan sekolah, baik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan (SMA/SMK).

Kegiatan PBP yang diterapkan di sekolah terbagi menjadi tujuh lingkup. Di antaranya adalah menumbuh-kembangkan nilai moral dan spiritual, nilai kebangsaan dan kebhinekaan, serta interaksi positif antara peserta didik dengan guru dan orang tua.

Apakah program itu berhasil? Bisa disebut berhasil jika itu dalam lingkungan khusus, misalnya, di lingkungan sekolah. Juga barangkali di lingkungan keluarga yang memang termasuk “keluarga normal”. Tetapi tidak berhasil di lingkungan luar sekolah dan luar keluarga. Seorang anak didik bisa patuh dan hormat kepada gurunya di kelas, memberi salam dan merunduk jika lewat di depan pak guru.

Tetapi di luar sekolah anak itu sudah berprilaku beda. Dia bisa saja menyerempet seorang guru yang berjalan kaki karena tak mau minggir, bukannya menawari pak guru untuk dibonceng. Di lingkungan rumah, anak itu “salim” dan mencium tangan orang tuanya tatkala mau pergi. Anak yang berakhlak harus hormat pada orang tuanya. Tetapi di jalanan, anak itu menghardik pemulung renta dan bisa berucap macam ini: “Lu kalau bawa gerobak jalan di pinggir dong. Dasar gembel.” Tak ada lagi kata yang lebih berbudi kepada orang yang lebih tua, meski ini hanya contoh ektrim saja. Apa yang terjadi? Darurat budi pekerti, darurat akhlak, darurat moral, atau apa pun namanya memang terjadi di dalam masyarakat kita.

Yang menarik, majelis agama Konghucu (agama yang tak punya direktorat jenderal di Kementrian Agama) sudah lama menyelenggarakan pendidikan informal untuk mengatasi darurat budi pekerti. Lewat lembaga yang disebut Perguruan Tzu Chi Indonesia mereka mengadakan kegiatan pendidikan informal yang menitik beratkan pada pendidikan karakter dan budi pekerti. Kegiatan ini disebut Kelas Budi Pekerti. Kelas ini terbagi menjadi beberapa jenjang kelas: Qin Zi Ban (usia 5-8 tahun), Er Tong Ban (anak-anak usia 8-12 tahun) dan Tzu Shao Ban (remaja dari usia 13-16 tahun). Selain anak-anak, dalam beberapa kesempatan para orang tua juga diminta hadir dalam kelas untuk ikut mempelajari cara menerapkan pendidikan budi pekerti dalam keluarga.

Barangkali perlu dipikirkan lagi memasukkan pelajaran budi pekerti di sekolah formal. Saya mengalami adanya pelajaran budi pekerti di Sekolah Dasar (waktu itu disebut Sekolah Rakyat) di tahun 1960an. Justru saat itu pelajaran agama tidak ada secara khusus dan itu diselipkan dalam pelajaran budi pekerti. Ajaran agama lebih banyak didapatkan dari orang tua dan masyarakat. Namun saya lupa kapan pelajaran agama kembali menggantikan pelajaran budi pekerti.

Apa sebenarnya pendidikan budi pekerti itu? Budi pekerti berasal dari Bahasa Sanskerta. Budi dari kata budh yang berarti sadar, bangun, atau bangkit (kejiwaan). Pekerti berarti bekerja, berkarya, berlaku, bertindak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana, serta manusiawi. Di dalam kata itu tercermin sifat dan watak seseorang dalam perbuatan sehari-hari.

Dalam budaya Nusantara yang berkembang di Jawa dan kemudian menyebar ke Bali, budi pekerti sudah diajarkan secara tradisional sejak masa kanak-kanak dan terus mengikuti pertumbuhan seorang anak. Sejak anak-anak ditanamkan pengertian yang baik dan benar lewat tradisi mendongeng, bermain, dan berbagai aktifitas di dalam rumah tangga. Sedari kecil sudah diajari bagaimana menghormati orang tua atau berbicara kepada orang yang lebih tua. Sudah diajari sopan santun dengan simbol-simbol kesehariannya. Budi pekerti juga diajarkan lewat kesenian, misalnya, pergelaran wayang kulit.

Para leluhur kita sudah mewarisi berbagai dongeng yang menyangkut budi pekerti. Juga cerita pewayangan sangatlah efektif untuk mengajarkan budi pekerti. Sambil bercerita itu disebutkan contoh-contoh perbuatan yang tidak baik dan perbuatan yang patut dijadikan teladan. Sasaran yang mau dicapai lewat pendidikan ini adalah menjadikan anak itu berkelakuan baik, menghindari perbuatan yang salah, bersikap sabar, tidak egois, tanggap dan peka terhadap lingkungan sosial. Dari sinilah moral dibina. Kalau sejak dini moral sudah dibina dengan baik maka diharapkan terbawa sampai dewasa.

Pelajaran budi pekerti juga banyak menggunakan simbol atau perumpamaan. Tentu simbol itu bisa berubah sesuai kemajuan. Misalnya, di masa lalu anak-anak diberikan peringatan: jangan menduduki bantal nanti bisulan. Sekarang di era moderen ini anak-anak tentu tak percaya hal itu, apa hubungan bantal dengan bisul? Maka cara menyajikan ilmu kesopanan itu bisa dengan teknik lain, misalnya, terus-terang diberi tahu bahwa bantal untuk tidur tidak boleh diduduki. Peralatan untuk menopang kepala tidaklah etis untuk diduduki oleh pantat. Begitu pula dongeng-dongeng budi pekerti, tak lagi berkiblat pada cerita-cerita rakyat. Budi pekerti lewat kesenian tak harus lewat wayang kulit lagi, tetapi bisa lewat film, misalnya. Unyil, sinetron TVRI di masa lalu, awalnya penuh dengan pelajaran budi pekerti.

Kemerosotan moral yang dewasa ini sudah dianggap mengkhawatirkan, entah itu disebut darurat budi pekerti (versi Ma’ruf Amin) atau polusi budaya (versi Jokowi)  bisa ditangkal jika pendidikan budi pekerti diberikan sejak dini. Dan itu diberikan di sekolah formal karena para orangtua masa kini sudah sibuk dengan berbagai urusan. Sekali lagi tentu dengan teknik yang sesuai dengan zaman.

Mari kita kembali ke jati diri dengan tetap berbudi pekerti yang baik, bicara dan menulis dengan sopan, menghormati orang tua, mengkritik pejabat tanpa memaki, sehingga darurat budi pekerti atau polusi budaya tak semakin parah.

Memang tidak semua orang suka memaki dengan kata-kata kotor. Saya bahkan percaya masih banyak yang tetap mempertahankan adab bangsa yang luhur. Presiden Jokowi sendiri juga melihat hal itu. Beliau berucap dalam pidato kenegaraannya. “Memang tidak semua seperti itu. Saya melihat mayoritas masyarakat juga sangat kecewa dengan polusi budaya tersebut. Cacian dan makian yang ada justru membangunkan nurani kita semua, nurani bangsa untuk bersatu menjaga moralitas ruang publik. Bersatu menjaga mentalitas masyarakat sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa, menuju Indonesia maju, menuju Indonesia emas 2045.”

Ajakan Presiden Jokowi ini membuat saya percaya, jika itu benar-benar diamalkan dan tak sekadar hilang setelah dijadikan pidato kenegaraan, akan berdampak baik untuk bangsa. Apalagi jika Mar’uf Amin yang kini dalam kapasitas wakil presiden tetap menjaga keprihatinannya akan adanya darurat budi pekerti dan mengajak masyarakat untuk melawannya. Santun itu hebat. ***

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu