x

Terompet dan foto musisi jazz legendaris, Louis Amstrong, yang tersimpan di Museum Jazz di New Orleans.

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 19 September 2023 18:37 WIB

Mengamankan Museum yang Sepi Pengunjung

Terbakarnya Museum Nasional di Jakarta mengingatkan kita akan minimnya pengamanan tempat peninggalan budaya itu disimpan. Museum itu sangat penting untuk melihat peradaban bangsa. Tapi kenapa pengunjung museum sepi di negeri ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Mpu Jaya Prema, pemerhati budaya

Berita yang mengagetkan di luar urusan politik dan cawe-cawe copras-capres adalah terbakarnya gedung Museum Nasional di Jakarta. Memang yang terbakar hanya satu blok, yakni Gedung A. Tetapi ada enam ruangan yang terbakar. Dan tentu benda budaya yang dilalap api itu tak juga sedikit. Cuma masalahnya seberapa banyak koleksi yang terbakar, belum ada keterangan resmi. Bahwa disebutkan yang terbakar itu banyak benda replika, artinya benda tiruan, bisa jadi pula hanya memberi kesan bahwa musibah itu tidaklah genting amat.

Kebakaran ini lagi-lagi memunculkan betapa pengamanan museum menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Dari 442 museum yang dikelola pemerintah hanya 10,9 persen museum yang type A, yakni yang punya alat pemadam kebakaran seperti hidran, detector asap, penyembur air, dan generator set. Type B sebanyak 8,2 persen hanya punya pemadam kebakaran yang sederhana dan detector asap. Selebihnya pengamanan jika ada musibah kebakaran mengandalkan pihak lain, yakni pasukan pemadam kebakaran. Dan kita tahu semua, kedatangan pasukan pemadam kebakaran ini tergantung banyak hal, seberapa cepatnya dikontak dan bagaimana lalu lintas di saat adanya musibah itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyusutnya benda budaya di museum pun bukan hanya faktor kebakaran. Jika pengamanan museum tidak prima, bahaya kecurian oleh sindikat juga sering terjadi. Museum Nasional atau sering disebut Museum Gajah ini terakhir kecurian pada tahun 2013. Malingnya begitu mudah dan leluasa mencongkel lemari untuk mengambil koleksi yang sangat berharga itu. Benda yang dicuri itu adalah peninggalan Kerajaan Majapahit dan Mataram Kuno di abad 10. Pencurinya pasti orang yang tahu nilai sejarah dari benda purbakala itu. Jelas ini sindikat, ada tukang tadahnya, ada orang-orang kaya yang ingin memiliki koleksi itu. Jadi bukan maling seperti Kusni Kasdut, yang merampok Museum Nasional untuk mencuri koleksi yang terbuat dari emas.

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari minimnya pengamanan di museum ini, jika dibandingkan dengan museum di negara lain yang begitu ketat dijaga? Kita terlalu meremehkan benda-benda budaya, apalagi yang berstatus purbakala. Memang, museum adalah tempat yang baik untuk menyimpan benda budaya itu, karena museum bisa dikunjungi setiap saat untuk mempelajari sejarah peradaban. Namun, setelah benda budaya itu disimpan di museum, bagaimana kita bisa merawat benda itu dan yang lebih penting lagi bagaimana mengamankan benda-benda itu. Ini yang nampaknya kurang dipedulikan baik oleh pemerintah yang mengelola museum milik negara, maupun pengelola museum swasta.

Museum itu penting, karena dari sana kita bisa belajar perjalanan sejarah bangsa, maupun sejarah budaya. Hampir di setiap daerah ada museum karena kita mewarisi budaya yang berbeda-beda dan untuk itu kita perlu menghimpun warisan budaya itu. Bahkan berbagai jenis museum sudah dibuat yang tak ada kaitannya dengan budaya daerah setempat. Cobalah berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Ada berbagai jenis museum yang tak berkaitan dengan budaya masa lalu. Bahkan setiap kementrian berlomba-lomba membuat museum itu. Ada Museum Perangko, Museum Listrik, Museum Iptek, Museum Pers dan masih banyak lagi. Di luar itu masih ada museum yang dibuat oleh instansi, misalnya, Museum Kereta Api di Ambarawa, Museum Tebu di Klaten.

Di Bali museum juga bertebaran dan semuanya bisa dipertanyakan apakah perawatan dan pengamanannya sudah optimal.  Bagaimana dengan Museum Gedong Kirtya di Singaraja, tempat menyimpan lontar-lontar kuno itu? Apakah sudah dirawat atau jangan-jangan lontarnya sudah keropos dimakan rayap. Apakah ada dana untuk merawatnya? Apakah pengamanannya cukup? Jangan-jangan banyak lontar yang raib tak tahu siapa yang mencuri. Syukur belum pernah mendengar museum ini terbakar.

Museum Subak di Kediri, Tabanan, apa kabarnya? Masihkah tersimpan alat-alat pertanian tradisional di sana, seperti tengala, lampit, ani-ani dan sejenisnya? Apakah itu dirawat?

Ide Museum Subak ini menarik. Di sana dipajang alat pertanian masa lalu yang sekarang tidak dipakai lagi. Tentu juga sejarah tentang subak, sistem pengairan tradisional yang dikagumi dunia itu. Ada pula yang sifatnya ritual, katakanlah misalnya peragaan ngelinggihan Hyang Nini (mengusung Dewi Nini, demi kemakmuran) yang kasat mata membawa padi ke lumbung. Saat ini sisa-sisa ritual itu hanya ada di museum karena lumbung padi saja sudah langka di Bali. Apalagi padi rontok di tengah sawah dan langsung masuk karung, diangkut mobil ke tempat penyosohan. Di mana tempatnya Hyang Nini sekarang ini, kalau bukan di museum?

Artinya, Museum Subak itu dibangun memang sudah mengantisipasi kemajuan zaman bahwa suatu saat subak dengan segala pernik-pernik perlengkapannya akan hilang. Sedih juga kita mendengarnya, sebuah organisasi tradisional Bali yang begitu dikagumi dunia dan menghasilkan berbagai buku, tiba-tiba rontok oleh perubahan. Kehebatan subak tak ada lagi karena sawah sudah berubah menjadi hotel atau villa. Nah di situ pentingnya ada Museum Subak. Namun yang jadi soal, siapa pengunjungnya? Hanya segelintir orang bahkan nyaris sepi, generasi masa kini tak merasa perlu tahu apa itu sistem subak dan bagaimana tetua masa lalu menanam padi.

Ini adalah deretan museum yang dikelola pemerintah. Masih ada banyak lantaran pemerintah mendapat “warisan” seperti halnya Museum Nasional adalah warisan dari Bataviaasch Genootshap van Kunster en Wetenschappen. Sebut misalnya Museum Puri Lukisan di Ubud dan Museum Ni Polok di Sanur. Kedua museum ini khusus menampung karya lukis di masa lalu. Deretan museum ini sungguh merana, jangan lagi bicara soal keamanan. Tentu berbeda dengan museum yang dibuat dan resmi dikelola oleh perorangan. Sebutlah misal Museum Neka di Ubud, Museum Rudana di Peliatan, Museum Klasik Gunarsa di Klungkung. Deretan museum terakhir ini bisa dibandingkan dengan Museum Ani Yudhoyono yang dibuat oleh mantan Presiden Susislo Bambang Yudhoyono di Pacitan, Jawa Timur.

Secara ideal, museum adalah tempat untuk belajar. Kecuali museum yang dibuat murni swasta, selain sarana untuk belajar juga untuk berjualan. Tapi siapa yang sekarang ini suka mendatangi museum? Apakah koleksi museum itu masih utuh dan nyaman sehingga bisa jadi bahan belajar yang lengkap? Dan yang penting, sejauh mana orang tahu di suatu tempat ada museum? Informasi ini juga kurang.

Cobalah ditanya orang Bali, apakah tahu di Gilimanuk, Bali Barat, ada Museum Manusia Purba. Setiap hari hilir mudik orang datang dari Jawa ke Bali dan sebaliknya orang Bali ke Jawa, lewat di jalan raya yang ada tulisan Museum Manusia Purba, tapi tak ada yang mampir di sana. Padahal isi museum itu adalah benda purbakala mencerminkan peradaban dunia jauh sebelum masehi.

Pemerintah membangun museum baru di Kintamani, Kabupaten Bangli, dekat Danau Batur. Diberi nama Museum Geopark Batur. Seberapa banyak pengunjungnya? Orang lebih suka melihat Gunung Batur dengan danaunya dibandingkan masuk ke museum itu. Padahal di situlah, konon, tempat menimba ilmu soal gunung api. Keberadaan 127 gunung api aktif yang ada di Indonesia bisa dipelajari di sini. Ratusan gunung tersebut terbentang luas dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Halmahera, hingga Sulawesi bagian utara dan membentuk busur gunung api Indonesia. Museum ini ditetapkan menjadi jendela informasi gunung api yang ada di Indonesia oleh Global Geopark Network UNESCO pada 20 September 2012 di Portugal.

Di museum ini ada informasi menarik tentang bagaimana terbentuknya Pulau Bali. Pulau ini terbentuk dari adanya kegiatan gunung api di bawah laut lebih dari 23 juta tahun lalu di sebelah timur pulau Jawa. Di bawah kulit bumi terdapat magma yang sangat panas sehingga melelehkan kerak bumi di atasnya atau yang dikenal dengan hotspot. Lalu terjadi pengendapan di bawah laut yang diduga berasal dari erosi batuan yang terdapat di Pulau Jawa bagian timur. Sementara di bagian selatan mulai tumbuh subur terumbu karang. Pertumbuhannya terhenti dan menjadi batu gamping terumbu. Sebagian berlapis dan berada di bagian selatan Pulau Bali dan di Pulau Nusa Penida. Ada 19 penjelasan tentang terbentuknya Pulau Bali. Tapi seberapa banyak yang tertarik dengan kisah ini?

Ironis, museum begitu penting dan hampir selalu dibangun tiap tahun, namun pengunjungnya tidak banyak. Beda dengan di Eropa, museum menjadi destinasi wisata yang menarik. Orang bersedia antre untuk mengunjungi museum. Bukan hanya museum di Bali yang kesepian, juga hampir di semua daerah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta setidaknya ada 40 museum. Satu museum penting, Museum Pleret, di Kabupaten Bantul, baru saja selesai renovasi. Ruangan museum apik, pencahayaan bagus, koleksinya pun lumayan. Ada keramik kuno dari dinasti Tang, beragam artefak dari batu zaman prasejarah. Ada arca Ganesha dalam posisi yang unik, entah di zaman apa. Apakah Anda pernah ke sana?

Museum begitu penting. Dan tiba-tiba museum yang penting tapi sepi ini baru kita perhatikan lagi keberadaannya ketika gedungnya terbakar. Barangkali ada yang salah dengan kita dalam merawat budaya bangsa. ***

 

 

\

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu