x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 29 Oktober 2023 09:04 WIB

95 Tahun Sumpah Pemuda: Jangan Putus Asa Meski Anak Orang Biasa

Sumpah Pemuda yang dibacakan dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 kini tak ubahnya monumen yang kehilangan jiwa. Bukan karena sumpah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa telah beku, melainkan karena pemuda masa sekarang yang semestinya menghidupkan sumpah itu telah kehilangan spirit merdekanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumpah Pemuda yang dibacakan dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 kini tak ubahnya monumen yang kehilangan jiwa. Bukan karena sumpah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa telah beku, melainkan karena pemuda masa sekarang yang semestinya menghidupkan sumpah itu telah kehilangan spirit merdekanya. Ketika 95 tahun lalu para pemuda mengikrarkan sumpah, mereka adalah anak-anak muda yang tangguh, mandiri, pemberani, dan tidak mengandalkan orangtua.

Dengan keberanian berpikir dan bertindak mandiri, anak-anak muda itu maju dan berjuang untuk bangsanya. Mereka percaya pada kekuatan sendiri, mereka mengarungi masa depan dengan kaki dan tangan sendiri. Anak-anak muda yang menghadiri kongres itu bukanlah anak-anak bupati atau pejabat pribumi lain yang berada dalam perlindungan pemerintah kolonial. Anak-anak muda itu adalah anak petani, pedagang kecil, dan wong cilik lainnya.

Kemandirian anak-anak muda zaman itu patut diacungi jempol. Berani berpikir dan berani bertindak atas dasar kemampuan sendiri, tanpa meminta dukungan orangtua. Lagi pula, siapa orang tua yang mampu memberi dukungan, finansial misalnya, dan berani mendukung sepak terjang anak-anaknya pada zaman kolonial itu? Tidak ada, kecuali jika orang tua itu mau masuk penjara kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anak-anak muda zaman itu menanggungkan sendiri konsekuensi dan risiko dari pilihan mereka: terlibat dalam organisasi pemuda, memberi penyuluhan politik untuk menyadarkan rakyat, menerbitkan pamflet, dan sebagainya. Artinya, mereka siap ditangkap polisi kolonial, walaupun tidak ingin. Bila kemudian dimasukkan hotel prodeo tanpa diadili lebih dulu, mereka tahu risiko ini. Politik, bagi anak-anak muda tahun 1920-an, adalah alat perjuangan untuk memerdekakan rakyat dari kolonialisme.

Zaman memang berubah. Waktu 95 tahun merupakan masa yang relatif panjang, nyaris satu abad penuh. Teknologi disebut-sebut makin maju, namun makin mengikat manusia dan memperbudaknya. Di sisi lain, kemandirian anak muda untuk membangun jati dirinya sendiri justru berkurang. Pemeo ‘jika ortu bisa diandalkan jadi sandaran, ngapain repot merintis sendiri dari bawah’ telah dijadikan kredo untuk melesatkan karir secara cepat.

 Sektor politik memperlihatkan contoh yang paling gamblang tentang bagaimana anak-anak muda era sekarang lebih mengandalkan orangtuanya. Tentu saja, bukan sebarang orangtua, melainkan orangtua yang tajir mlintir sehingga memiliki pengaruh ekonomi, elite politik di partai yang mampu memengaruhi pengambilan keputusan partai, atau pejabat penting di pemerintahan yang memiliki akses ke pusat-pusat pengambilan keputusan.

Anak seorang elite partai akan lebih mudah memperoleh akses untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ataupun kepala daerah dibandingkan anak-anak kebanyakan. Anak seorang menteri atau pejabat tinggi lain juga akan memperoleh kemudahan serupa. Praktis, dengan membawa nama orangtua, sejumlah tahapan yang biasa dapat diringkas menjadi jauh lebih sedikit. Bahkan, karena orangtua, seorang anak muda bisa langsung duduk di posisi ketua umum partai, padahal belum pernah jadi kader apa lagi jadi pengurus partai ybs.

Kalau orangtua petani biasa, guru biasa, atau orang biasa lainnya, anak muda cenderung lebih mandiri dalam melangkah maupun menempuh karier politik. Tak ada cerita seorang anak dari keluarga biasa ujug-ujug menjadi calon walikota. Ia mesti merintis karir dulu dari bawah, dan bila prestasinya moncer ia dapat naik tangga lebih cepat dibanding kawan-kawannya. Tapi, jelas, ini usaha sendiri, bukan mengandalkan tebengan orang tua karena memang tidak bisa ditebengi.

Tapi, anak muda dari orangtua biasa-biasa tetap bisa jadi luar biasa, dan tak perlu minder kepada anak muda lain yang tiba-tiba saja karir politiknya melejit tinggi hingga tak tergapai oleh kawan-kawannya. Dengan meniti karir dari bawah dan bertumpuh di atas kaki sendiri, fondasi bagi karirnya akan jauh lebih kokoh dibandingkan dengan anak muda yang nebeng beken ortu. Anak muda yang nebeng dan ujug-ujug melejit biasanya rapuh fondasinya; apa lagi jika orang tuanya tak sanggup lagi ditebengi.

Maka, anak muda dengan ortu biasa tapi prestasinya luar biasa sangatlah patut diacungi jempol dan diteladani. Ia maju berkat kemandiriannya, keuletannya, keberaniannya, dan segenap hal baik lain yang diperlukan tanpa terus-menerus dibayang-bayangi nama beken ortunya. Anak muda macam inilah yang menghidupkan kembali api semangat Sumpah Pemuda dan Kongres Pemuda 1928. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

9 jam lalu

Terpopuler