x

Sejumlah siswa belajar mengenai jenis nyamuk Aedes Aegypti dalam rangka gerakan 1 rumah 1 jumantik untuk memperingati Asean Dengue Day (Demam Berdarah), di Sekolah Dasar Negeri Baru 07 Pagi Cijantung, Jakarta, 2 Agustus 2017. Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta masyarakat untuk mulai menjalani pola hidup bersih dan sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan dalam mencegah DBD dan berpesan kepada akademisi dan pakar untuk menyelesaikan vaksin demam berdarah dengue (DBD) yang cocok untuk wilayah Indonesia. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 20 November 2023 20:07 WIB

Nyamuk Wolbachia, Bukan Sembarang Nyamuk

Kementrian Kesehatan mengembangkan nyamuk jenis baru yang disebut nyamuk Wolbachia. Sukses uji coba di Yogyakarta, kini dikembangkan di lima kota. Kenapa ada penolakan di Bali?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Mpu Jaya Prema

Barangkali kita harus hati-hati membunuh nyamuk, kelak kemudian hari. Meski serangga itu suka mengganggu kita karena dengungnya membuat berisik, janganlah dibunuh dengan menepuk pakai tangan. Juga tak boleh disemprot pakai pestisida. Diusir saja pakai obat nyamuk berasap, biar nyamuk menjauh. Masalahnya, nyamuk itu nantinya justru menolong kita dari ancaman penyakit deman berdarah dengue atau biasa disingkat DBD. Kini Kementrian Kesehatan sedang menyebar jutaan telur nyamuk itu untuk ditetaskan menjadi “nyamuk penolong”.

Nyamuk apa itu? Namanya nyamuk wolbachia. Nyamuk ini dulu adalah nyamuk aedes aegypti yang menyebarkan bakteri demam berdarah kepada manusia. Cuma nyamuk ini sudah dipermak dan direkayasa dari nyamuk sang pembunuh menjadi sang penolong. Kok bisa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau dijelaskan secara singkat nyamuk ini yang awalnya adalah nyamuk aedes aegypti  disuntikkan bakteri wolbachia. Bakteri itu ditemukan di alam terbuka dari berbagai jenis serangga. Jadi bukan bakteri buatan manusia. Bakteri wolbachia inilah yang bisa menghambat replikasi virus dengue sehingga nyamuk versi baru ini tak bisa menularkan virus dengue ke manusia. Nah, nyamuk ini yang kemudian diternakkan sampai bertelur. Demikian seterusnya, telur-telur nyamuk itu kemudian dikembangkan dan lahirlah generasi nyamuk yang serupa dengan aslinya tetapi beda kandungan bakterinya.

Nyamuk wolbachia yang jantan jika kawin dengan nyamuk aedes aegypgti virus dengue-nya langsung tak berfungsi. Manusia pun selamat dari demam berdarah karena nyamuk jantan memang tak suka menggigit manusia.

Mudah-mudahan sampai di sini penjelasan sederhana ini sudah cukup dipahami. Dan untuk diketahui, penelitian dan pengembangan nyamuk wolbachia ini sudah lama diadakan di berbagai negara. Hasilnya konon memuaskan. Penelitian di Australia menunjukkan bahwa nyamuk wolbachia dapat menurunkan kasus DBD sebesar 80 persen. Negara yang berhasil selain Australia adalah Brasil, Vietnam, Fiji, Vanuatu, Mexico, Kiribati, New Caledonia, dan Sri Lanka. Lalu di dalam negeri, penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Yayasan Tahija dengan menggandeng peneliti dari Universitas Gajah Mada juga sukses. Uji coba diadakan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya kasus demam berdarah turun sampai 77 persen setelah nyamuk wolbachia dilepaskan. Luar biasa.

Sukses ini yang kemudian membuat Kementrian Kesehatan lalu menetapkan “teknologi wolbachia” sebagai program strategi nasional. Dan saat ini akan dikembangkan di lima kota yakni Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang. Telur-telur wolbachia ini sudah siap untuk ditetaskan ke beberapa rumah tangga yang bersedia sebagai relawan.

Tiba-tiba muncul berita, Kementrian Kesehatan akan menetaskan telur wolbachia itu di Bali. Dua kota dipilih, Denpasar dan Singaraja. Rencananya setiap minggu akan disebarkan sepuluh juta telur. Penyebaran berlangsung hingga 20 minggu.

Lalu terjadilah heboh. Ada dua kota yang dijadikan proyek penetasan telur wolbachia. Kota Siungaraja yang nantinya jadi sentral untuk Bali utara dan Kota Denpasar untuk Bali Selatan. Masyarakat menolak penetasan telur wolbachia itu. Berbagai organisasi sosial dan lingkungan, belakangan juga dari organisasi keagamaan, juga menolak. Padahal jutaan telur nyamuk sudah siap dibagikan dan sudah berada di dalam ember. Petisi penolakan muncul di media online dengan ribuan pendukung.

Kenapa ditolak? Alasan utama adalah tak ada sosialisasi, kok ujug-ujug menetaskan telur nyamuk yang jumlahnya berkali-kali jumlah penduduk Bali. Ada yang mengkhawatirkan kelak akan ada mutasi yang bisa mengarah kepada sifat ganas yang justru sulit ditanggulangi. Ada pun para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Hindu Indonesia membahas dari sisi “penciptaan alam semesta” di mana keseimbangan sudah diatur dengan sempurna oleh Yang Maha Kuasa. Mereka menyebut pengadaan bakteri wolbachia adalah rekayasa para ahli – suatu hal yang sudah dibantah oleh peneliti dari UGM yang kukuh menyebutkan bakteri itu diambil dari serangga yang sudah ada. Program ini bukan modifikasi gen nyamuk.

Ada pun mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah juga menolak nyamuk wolbachia  ini. Ia mengatakan, “Karena setiap penelitian dengan nyenggol-nyenggol genetik itu errornya tidak bisa kita ketahui sekarang juga, baru bisa kita ketahui antara 2 dan 10 tahun yang akan datang.” Para ahli ekologi juga memiliki kekhawatiran besar terkait dampak dari program nyamuk wolbachia ini.

Akhirnya, penyebaran telur nyamuk wolbachia yang sudah direncanakan 12 November lalu dibatalkan di Bali. Telur-telur nyamuk itu dimusnahkan karena memang masa aktifnya terbatas. Menurut Erwin Simangunsong, Chief of Partnership, Strategi Program and Operation Save the Children Indonesia, lembaga yang mengurusi penyebaran nyamuk ini di Bali, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. "Kami justru yakin penerapan wolbachia di Bali ini akan lebih menguntungkan pariwisata karena dapat meningkatkan keselamatan turis dan DBD di Bali juga bisa turun," kata Erwin Simangunsong. (Catatan: dalam kolom Cari Angin terbitan Koran Tempo 19 November 2023, saya salah mengutip seolah-olah ini ucapan Ibu Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementrian Kesehatan. Mohon maaf Ibu Siti Nadia).

Dari heboh penolakan di Bali itu muncul hal baru yang kini justru menjadi tanda tanya. Wali Kota Denpasar, I Gusti Jaya Negara, menyebutkan penyebaran telur nyamuk wolbachia itu ternyata bukanlah proyek strategi nasional Kementrian Kesehatan. Telur nyamuk itu bukan hasil dari proyek Yayasan Tahija dan UGM yang berpusat di Yogyakarta. Lalu dari mana? Sebuah sumber yang dikutip jurnalis senior Dahlan Iskan dalam catatan hariannya di Disway menyebutkan, telur namuk yang disebarkan di Bali itu berasal dari Australia yang penelitiannya dilaksanakan oleh Monash University. Cuma tak dijelaskan siapa yang memesannya.

Jaya Negara memang menyebutkan, "Apabila Kementerian Kesehatan yang nanti melaksanakan dan tidak pihak ketiga, baru kami akan berani melakukan penyebaran itu," kata Jaya Negara. Jadi, apakah Kementrian Kesehatan tidak tahu ada penyebaran telur nyamuk di Bali itu? Atau ada permainan di interen kementrian?  Kenapa yang dipilih telur wolbachia impor dan bukan telur wolbachia lokal? Apakah ini ada permainan bisnis seperti gossip adanya bisnis vaksin di saat Covid-19? Barangkali kita perlu bertanya kepada nyamuk-nyamuk itu sebelum mereka menjadi serangga penolong. ***

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu