Setelah Pesta Petasan

Rabu, 3 Januari 2024 06:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sukacita pesta petasan pada malam pergantian tahun sebaiknya tidak membuat orang melupakan ancaman krisis planet pada tahun-tahun mendatang.

Namanya juga pesta, suasana yang dihadirkannya pastilah sukacita. Begitupun pesta petasan, bahkan yang penyelenggaraannya kecil-kecilan perorangan di kompleks permukiman sekalipun. Yang menghadirinya, entah untuk ikut menyalakan sendiri merconnya atau menyekondani dan menyaksikan saja, bisa bermotif macam-macam: mau sesaat melupakan pahitnya hidup, mensyukuri pencapaiannya sepanjang tahun, dan seterusnya. Dan untuk semua hal itu mereka bisa tak peduli betapa sebenarnya ada orang jadi terganggu kenyamanannya, juga waktu istirahatnya.

Pesta petasan pada malam tahun baru memang sudah menjadi kelaziman, entah sejak kapan. Bagi sebagian orang yang selalu antusias menyambut malam pergantian tahun, momen menyalakan peledak atau kembang api yang biasa digunakan untuk memeriahkan beraneka peristiwa--termasuk pesta perkawinan--itulah yang paling mereka tunggu. Orang dewasa bisa bertingkah seperti anak-anak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konon, petasan (sebutan lainnya: mercon) dan kembang api, yang asal mulanya dari Tiongkok, dipercaya mampu mengusir roh jahat atau peruntungan buruk. Maka, bagi yang percaya (tapi bisa dipastikan tak semua orang tahu hal ini), petasan (juga kembang api) yang dibakar pada malam tahun baru adalah simbol dari harapan akan keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan.

Mungkin pada tahun-tahun yang telah lewat harapan itu, pada sebagian orang, memang terwujud. Bisa juga sebaliknya, hanya saja orang-orang tampaknya tak pernah putus asa. Mana yang sebetulnya terjadi, kita tak pernah tahu persisnya. Yang jelas, agar keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan dapat terealisasi, kondisi yang memungkinkannya haruslah mendukung. Kondisi ini termasuk pula lingkungan hidup--ekosistem, planet.

Di situlah terletak masalahnya. Kita, kini, sedang menghadapi masa manakala lingkungan yang menjadi tempat kita hidup sedang tidak baik-baik saja. Kalau mengutip perkataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, kita “menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis)”: kedaruratan iklim, degradasi ekosistem, dan polusi. Keberadaan miliaran penghuni bumi, sebagian besar warga kurang beruntung di negara-negara miskin, terancam. Dan kita sudah hampir melewati waktu yang masih memungkinkan kita memperbaiki dampak dari tindakan kita selama bertahun-tahun terhadap lingkungan--penyebab tiga krisis itu.

Indonesia sebenarnya telah menjadi bagian dari negara-negara yang menyepakati perjanjian internasional sebagai upaya global untuk menanggulangi krisis tersebut. Tapi bahkan setelah menjanjikan target pengurangan emisi gas rumah kaca (biang kerok kedaruratan iklim), penghentian deforestasi serta penjagaan satwa liar (supaya merosotnya keanekaragaman hayati bisa dicegah), dan pengendalian polusi (yang beraneka ragam jenisnya), dalam praktiknya tindakan yang dijalankan belum memenuhi harapan. Kepentingan-kepentingan bisnis dan pemilik modal, atau, dengan kata lain, “pembangunanisme”, masih jadi penentu kebijakan.

Katakanlah dalih “pembangunan…tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi” yang dikemukakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bisa diterima, lalu buat apa hasilnya bila kesengsaraan jutaan warga Indonesia kian menjadi-jadi? Buat apa pertumbuhan ekonomi kalau banyak orang jadi korban bencana alam yang kian merusak karena krisis iklim, atau jatuh sakit karena polusi udara yang terus memburuk? Untuk apa “kemajuan” kalau orang-orang kehilangan nyawa?

Waktu yang tersedia untuk memitigasi ketiga krisis itu sesungguhnya tak lagi lama. Dalam konteks Perjanjian Paris, umpamanya, untuk mengurangi emisi, praktis tinggal lebih kurang 25 tahun lagi. Ini waktu yang pendek (masih ingat pada rentang waktu yang sama, pada masa lalu yang seperti baru kemarin, kita bebas dari rezim otoriter Soeharto?). Dan akan semakin terasa singkat jika dilihat dengan saksama betapa minimnya upaya yang telah dilakukan.

Selagi momennya pas, menjelang pemilihan pemimpin nasional, menjadi penting prinsip untuk tidak memilih kucing dalam karung. Untuk tantangan ke depan yang tak bisa lagi dihadapi dengan cara-cara yang sama, untuk tujuan bersama yang mestinya juga melampaui aspek ekonomi belaka, pemimpin yang dibutuhkan jelas bukan yang berpola pikiran sama dengan yang sudah-sudah. Seperti apa tujuan bersama yang dibayangkannya dan bagaimana dia akan merealisasikannya dengan menimbang kegentingan menyangkut tiga krisis planet haruslah jadi pertimbangan. Jejak rekam, bukan sekadar pidato, juga tak bisa diabaikan.

Ketika bangun dari pesta petasan pada malam pergantian tahun, walaupun mungkin masih pengar, orang-orang sudah mesti sungguh-sungguh mulai memikirkan hal itu. Dengan potensi kerusakan lingkungan, bencana planet, yang gigantis, sedangkan harapan mereka akan kelangsungan hidup masih besar, pertaruhannya kelewat krusial untuk dihadapi hanya dengan sikap sebagaimana yang telah lewat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

3 Pengikut

img-content

Menyoal Fasilitas Parkir Sepeda di Stasiun

Sabtu, 21 September 2024 06:58 WIB
img-content

Menularnya Motonormativity

Jumat, 13 September 2024 12:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Catatan Dari Palmerah

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Catatan Dari Palmerah

Lihat semua