Aktifis Idealis Itu Bernama Soe Hok Gie
Senin, 6 Januari 2025 14:40 WIB
Gerakan mahasiswa memiliki banyak tokoh yang menjadi simbol perlawanan, perubahan sosial, dan perjuangan politik, salah satunya Soe Hok Gie
Gerakan mahasiswa dapat digolongkan sebagai salah satu dari gerakan sosial, memiliki peran sebagai aktor demokratik yang membawa perubahan. Gerakan sosial sendiri dapat didefinisikan perilaku kolektif berupa transformasi kesadaran, tentang eksistensi manusia melakukan perubahaan ditengah-tengah atmosfer sistem politik penuh aroma penindasan.
Hampir disetiap negara gerakan mahasiswa selalu menjadi lokomotif perubahan. Di negara Eropa Timur di awal tahun 1990-an, mahasiswa bersama kekuatan civil society lain berhasil menggulung sistem Marxisme-Komunisme, sukses memasukan ideologi kiri itu ke dalam museum peradaban. Sedangkan di negara Amerika Serikat kekuatan muda progresif melibatkan diri ke dalam berbagai gerakan hak-hak sipil antara tahun 1950-an dan 1960-an, mereka menuntut penghapusan diskriminasi rasial serta anti perang Vietnam.
Di kawasan Asia Tenggara, tepatnya di negara Filipina, kekuatan kelompok muda pergerakan di tahun 1986, berhasil melakukan aksi people power mengusir Ferdinand Marcos dari Istana Malacanang dengan aksi revolusi damainya, lebih dikenal dengan sebutan Revolusi Edsa. Sedangkan di Indonesia dipenghujung 1990-an, gerakan mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim otoriter-totaliter Orde Baru telah berkuasa 32 tahun lamanya, sebelumnya pada tahun 1966 kaum muda pergerakan ini berhasil menjatuhkan Orde Lama, artinya gerakan mahasiswa senantiasa hadir memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan arah demokrasi.
Peran Mahasiswa
Menurut Arbi Sanit dalam buku Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Moral dan Politik (1999), menjelaskan tugas utama mahasiswa membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasanya menyelenggarakan pemerintahan. Menurutnya mahasiswa memiliki beberapa peran sebagai aktor dari pergerakan sosial, yaitu (1) penggagas, (2) penerap, dan (3) pedukung ideologi.
Pertama, peran penggagas, mahasiswa merumuskan jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi bangsa. Peran ini diperankan mahasiswa pada masa pergerakan tahun 1920-an, ketika merumuskan nasionalisme, sosialisme, dan Islamisme sebagai spirit perlawanan menghadapi Belanda. Begitu juga dengan generasi mahasiswa 1966 dan 1998, mereka merumuskan pondasi demokrasi sebagai solusi dari ketidakstabilan dan ketidakpastian sistem politik ketika itu.
Kedua, peran penerap, mahasiswa menanamkan nilai-nilai sistem politik baru yang berbeda dari sistem politik mereka kritisi, bahkan ditumbangkan sebelumnya. Tentu menerapkan nilai baru dalam berpolitik tidak mudah, setelah budaya politik otoritarian tertanam kuat selama puluhan tahun, mahasiswa menjadi percontohan dalam hidup secara egaliter di sistem politik yang baru.
Ketiga, peran pendukung ideologi, mahasiswa senantiasa mendukung sebuah pemerintahan dinilai demokratis menjunjung keadilan dan kesejahteraan. Tentunya dukungan yang diberikan itu sebatas dukungan dalam koridor moral, bukan dukungan yang bersifat politis, karena mahasiswa sendiri bukan sebuah institusi politik yang memainkan peran politik praktis, tetapi gerakan moral tidak memiliki kepentingan untuk terlibat dan berebut jabatan politik di institusi pemerintahan.
Biografi Soe Hok Gie
Gerakan mahasiswa 1966 menjadi salah satu angkatan dalam gerakan mahasiswa Indonesia kerap dijadikan referensi gerakan, keberhasilan mereka mengganti penguasa serta sistem politik dari Orde Lama ke Orde Baru merupakan inspirasi tiada henti bagi generasi mahasiswa selanjutnya.
Salah satu tokoh aktifis mahasiswa angkatan 1966 adalah Soe Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), sosoknya dikenal memiliki reputasi sebagai aktifis idealis, humanis, dan progresif. Soe Hok Gie dikenal sebagai aktifis mahasiswa dari kelompok independen, kelompok mahasiswa memiliki pendirian politik kuat, bahwa gerakan mahasiswa itu harus terbebas dari kepentingan elit politik, Soe Hok Gie kerap mengkritisi organisasi kemahasiswaan yang memiliki hubungan patron-klien dengan partai politik di parlemen, membuat mahasiswa tidak mampu bersikap independen.
Pada masa demokrasi parlementer (1950-an) dan demokrasi terpimpin (1960-an) partai-partai politik menjadikan organisasi kemahasiswaan sebagai kepanjangan tangan di perguruan tinggi, sehingga lembaga intra kemahasiswaan menjadi ajang perebutan pengaruh berbagai organisasi mahasiswa yang memiliki afiliansi politik praktis.
Soe Hok Gie melawan, bersama rekan aktifis kelompok mahasiswa independen, merintis Mahasiswa Pencita Alam (MAPALA UI), wadah para mahasiswa anti intervensi politik praktis ke dunia kampus, untuk bersama-sama mengaktualisasikan diri hidup bersama alam. Tentu kegiatan MAPALA UI tidak hanya sekedar naik gunung, aktifitas diskusi politik tetap dilakukan dengan menjaga kemurnian dan independensi gerakan. Menurut Soe Hok Gie tugas kaum intelegensia adalah kekuatan moral, melibatkan diri dalam aksi perlawanan meruntuhkan kekuasaan otoriter, tetapi ketika kekuasaan otoriter itu berhasil dijatuhkan, kaum intelegensia menarik diri dari politik praktis, melakukan penjagaan politik di luar sistem.
Gerakan Politik VS Gerakan Moral
Pasca tumbangnya Orde Lama angkatan 1966 mendapatkan “bonus politik” dari penguasa baru, sebagian aktifis mahasiswa mendapat tawaran posisi sebagai anggota parlemen. Pada Januari 1966 terdapat empat belas aktifis mahasiswa dalam daftar anggota baru MPRS dan DPR-GR (Maxwell, 2001).
Mensikapi masuknya aktifis mahasiswa ke parlemen, gerakan mahasiswa terpolarisasi ke dalam dua kutub, antara gerakan politik dan gerakan moral.
Gerakan politik memiliki keyakinan pasca jatuhnya Orde Lama, mahasiswa tetap melakukan perjuangan politik, masuk di dalam sistem melakukan pengawasan dan berkontribusi menentukan arah kebijakan dari dalam pemerintahan. Mereka berdalih masuknya aktifis mahasiswa ke dalam sistem untuk menghindari reformasi politik dibajak kelompok-kelompok statusqo.
Sedangkan gerakan moral menyakini tugas politik mahasiswa selesai ketika berhasil menjatuhkan pemerintahan otoriter-totaliter, mereka kembali ke kampus menyelesaikan masa studinya, sambil mengawasi jalannya pemerintahan baru dari luar. Soe Hok Gie termasuk tokoh mahasiswa yang masuk ke dalam kubu gerakan moral, memiliki keyakinan gerakan mahasiswa sebagai kekuatan civil society harus menjaga jarak dengan entitas politik praktis, agar mahasiswa lebih jernih melihat berbagai persoalan yang terjadi.
Masa pemerintahan Orde Lama tepatnya ketika demokrasi terpimpin diterapkan, navigasi politik Indonesia di bawa ke arah sistem politik bercorak otoriter-totaliter, salah satu episode kelam dalam sejarah politik Indonesia. Soe Hok Gie menilai jalannya pemerintahan Orde Lama tidak sesuai dengan mekanisme demokrasi, terlebih kedekatan penguasa dengan kelompok kiri dinilai memperburuk situasi politik.
Melalui Gerakan Pembaharuan yang digagas eksponen Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Soe Hok Gie terlibat dalam gerakan bawah tanah menggulingkan pemerintahan Orde Lama. Kegiatan Gerakan Pembaharuan mengkampanyekan perlawanan politik terhadap pemerintah melalui kegiatan diskusi dan selebaran gelap, tujuannya pembentukan opini di tengah-tengah masyarakat mengenai kebobrokan pemerintah. Oposisi Gerakan Pembaharuan semakin menguat pasca tragedi 30 September 1965, kelompok ini mengabungkan diri dengan gerakan mahasiswa melakukan perlawanan menggulingkan pemerintahan Orde Lama. Soe Hok Gie menurut ilmuwan politik dari Australia, John Maxwell (2001), menjadi salah satu tokoh kunci dibalik layar menyusun skenario kerja sama antara mahasiswa dengan militer anti PKI dalam melakukan oposisi terhadap sistem demokrasi terpimpin.
Keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan Orde Lama tidak membuat Soe Hok Gie berhenti dari kritisme, dia memutuskan tetap berada diluar sistem politik pemerintahan, ketika sejawatnya memilih masuk ke pemerintahan Orde Baru. Soe Hok Gie memilih menjadi pemikir bebas banyak menuangkan pemikirannya dalam berbagai artikel yang dimuat di surat kabar nasional periode 1960-an.
Pemikiran HAM Soe Hok Gie
Pasca jatuhnya Orde Lama berganti ke Orde Baru, Soe Hok Gie tetap bersikap kritis mengawasi jalannya roda pemerintahan, melalui berbagai artikelnya di surat kabar nasional, Soe Hok Gie tetap konsisten menggaungkan perlawanan terhadap berbagai penyimpangan dilakukan penguasa.
Pada minggu ke dua dan ketiga Desember 1967, Soe Hok Gie menulis artikel berjudul “Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Bali” dimuat di Harian Mahasiswa Indonesia (Gie, 2005). Artikel Soe Hok Gie merupakan narasi pertama dari intelektual Indonesia berani mengupas aksi pembantaian terhadap anggota, simpatisan, dan orang dituduh PKI, dalam artikelnya Soe Hok Gie menjelaskan tulisannya bukan bentuk pembelaan atas aksi-aksi biadab PKI kepada lawan-lawan politiknya. Soe Hok Gie dikenal sebagai intelektual anti Orde Lama dan anti PKI.
Soe Hok Gie menggugat aksi pembantaian terhadap ribuan anggota, simpatisan, dan orang dituduh PKI di Provinsi Bali, aksi main hakim sendiri itu dinilainya telah melukai nurani kita sebagai manusia. Menurut Soe Hok Gie proses pengadilan di meja hijau merupakan cara paling humanis menentukan apa kesalahan setiap pelaku Gerakan 30 September 1965. (Prasetyo, 2009).
Minggu ke empat bulan Juli 1968, Soe Hok Gie menulis kembali artikel di koran Mahasiswa Indonesia berjudul “Sebuah Prinsip dan Kematian Seorang Profesor Tua” (Gie, 2005). Artikelnya menyoroti nasib salah satu guru besar yang meninggal di dalam jeruji besi berstatus tahanan politik, sampai ia meninggal letak kesalahannya tidak diketahui, karena selama tiga tahun dipenjara tanpa ada proses pengadilan, sang profesor merupakan anggota HIS salah satu organisasi sarjana yang berafiliansi dengan kelompok kiri (Prasetyo, 2009).
Selain menggugat praksis pelanggaran HAM di dalam negeri, Soe Hok Gie menulis pelanggaran HAM Amerika Serikat dalam perang Vietnam, artikel berjudul “Perang Vietnam Dan Sikap Intelektual Amerika” di Harian Kompas 20 Oktober 1969 (Gie, 2005), Soe Hok Gie menjelaskan perang Vietnam bentuk kejahatan perang satu negara atas negara lain, mengakibatkan jutaan rakyat Vietnam meregang nyawa. Keperdulian Soe Hok Gie pada Hak Asasi Manusia (HAM) di zamannya tentu menjadi inspirasi tiada henti, keberanian dirinya melawan arus harus kita apresiasi, tentu tidak mudah menjadi orang berbeda ditengah-tengah dominasi narasi otoriter-totaliter. Lebih baik diasingkan dari pada menyerah kepada kemunafikan, kata Soe Hok Gie.
Referensi Artikel
- Gie, Soe Hok. 2005. Zaman Peralihan. (Gagas Media : Jakarta).
- Maxwell, John. 2001. Soe Hok Gie : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti).
- Prasetyo, Stanley Adi. 2009. Membaca Pikiran HAM Soe Hok Gie. Di dalam Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan (editor). 2009. Soe Hok Gie Sekali Lagi : Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. (KPG : Jakarta).
- Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Moral dan Politik. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
0 Pengikut

Beragam Cara Melawan Oligarki Politik
Sabtu, 16 Agustus 2025 06:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler