Sejarah Perdagangan di Kesultanan Aceh pada Abad XVI

Senin, 17 Februari 2025 20:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Banda Aceh, 1665
Iklan

Selat Malaka merupakan jalur pelayaran sekaligus jalur perdagangan penting yang menghubungkan para pedagang dari Barat dengan Timur.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan sejarah panjang yang terlihat dari keberadaan kerajaan-kerajaan dan kesultanan yang pernah berjaya di sana. Kerajaan-kerajaan ini bertahan selama ratusan tahun dan mampu bersaing dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya, serta menghadapi bangsa-bangsa Barat yang datang mencari rempah-rempah dan berusaha memonopoli perdagangan di Asia Tenggara, khususnya di Selat Malaka.

Selat Malaka: Jalur Perdagangan Strategis

Selat Malaka merupakan jalur pelayaran sekaligus jalur perdagangan penting yang menghubungkan para pedagang dari Barat (Arab, Afrika, Persia, dan Bengal) dengan Timur (Cina dan Jepang). Pada awalnya, para pedagang menggunakan kapal layar, namun berkembang menjadi kapal uap setelah bangsa Barat mulai menguasai dan mendirikan koloni di Asia.

Pelayaran melalui Selat Malaka memunculkan pelabuhan-pelabuhan transito dan kota-kota pesisir di Sumatera, yang mendorong interaksi antara penduduk pribumi dengan para pendatang. Interaksi ini memicu pertumbuhan perdagangan yang kemudian memunculkan kerajaan dan kesultanan di sekitar Selat Malaka, terutama di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Kesultanan seperti Malaka, Pasai, Kampar, Siak, dan Riau-Lingga memperoleh banyak keuntungan dari perdagangan di Selat Malaka.

Pergeseran Pusat Perdagangan

Pada awalnya, Kesultanan Malaka memegang peran dan kekuatan dominan di wilayah Selat Malaka. Namun, kedatangan Portugis yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque pada tahun 1511 mengubah keadaan. Setelah Malaka ditaklukkan, para pedagang, khususnya pedagang Muslim, mulai beralih ke Aceh sebagai pelabuhan ekspor-impor utama pengganti Malaka di kawasan Selat Malaka. Pergeseran ini juga mengalihkan pusat perkembangan budaya Melayu dari Malaka ke Johor dan Aceh.

Perubahan jalur perdagangan ini memberikan peluang besar bagi Kerajaan Aceh untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi dan militer. Aceh memanfaatkan situasi ini dengan menjadikan Pasai sebagai pelabuhan penting dan tetap menggunakan mata uang Pasai yang mapan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan.

Perdagangan di Kesultanan Aceh pada Abad XVI

Wilayah Aceh hingga Pedir dikenal sebagai penghasil daging, beras, anggur, dan lada dengan karakteristik tersendiri. Meski tidak memiliki komoditas yang sangat diminati oleh pedagang asing, lokasi Aceh yang strategis di Selat Malaka menjadikannya tempat transit yang diminati oleh banyak pedagang.

Keberhasilan Aceh dalam menanam benih lada dari Malabar memberikan keuntungan besar, terutama saat permintaan lada, cengkih, dan pala meningkat di pasar internasional. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1537–1568) dan Sultan Iskandar Muda (1607–1636) aktif menarik pedagang asing dengan menjamin pasokan lada, timah, dan gajah. Mereka juga menaklukkan daerah-daerah penghasil lada di pesisir Sumatera dan penghasil timah di Perak dan Kedah di Semenanjung Malaya.

Pada tahun 1560, diperkirakan sekitar 1.250 hingga 2.000 ton lada dari Sumatera diangkut melalui rute pantai barat Sumatera ke Mesir. Hal ini merugikan Portugis karena rute perdagangan melalui Selat Malaka semakin dihindari, terutama oleh pedagang Muslim yang memilih rute baru yang lebih murah.

Dinamika Pasar dan Komunitas Pedagang Asing di Aceh

Di pasar-pasar Kesultanan Aceh, perempuan memegang peran utama dalam mengelola perdagangan, sementara laki-laki hanya terlibat dalam perdagangan barang-barang tertentu seperti senjata dan perkakas. Banyak pedagang laki-laki asing yang juga berdagang di Aceh, berpakaian seperti orang Turki, Gujarat, Keling, Kalikut, Sri Lanka, dan berbagai wilayah lainnya. Mereka memperdagangkan sutra, benang, kapas, porselen, obat-obatan, dan batu mulia.

Komunitas pedagang asing di Aceh, seperti pedagang dari pesisir Koromandel, memberikan pengaruh penting dalam perkembangan perdagangan di Aceh. Pada abad ke-16 dan ke-17, para pedagang Koromandel menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan mereka di Asia Tenggara. Mereka membawa beras, besi, baja, nila, budak, dan tekstil berkualitas tinggi, yang ditukar dengan lada, timah, gading, gajah, cengkih, buah pala, dan bunga pala.

Pedagang Muslim Gujarat juga mengalihkan perdagangan mereka ke Aceh setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Pada akhir abad ke-16, penguasa dan bangsawan Golkanda turut berinvestasi dalam pelayaran dan perdagangan. Mereka menjalin hubungan erat dengan Aceh, termasuk menempatkan agen perdagangan permanen di kedua wilayah.

Sumber Rujukan:

Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cortesao, A. (2018). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. (A. Perkasa, & A. Pramesti, Trans.) Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Muhzinat, Z. (2021). Perekonomian Kerajaan Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam, 5(2), 73--82.

Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450--1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

--- --- --- --- , (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450--1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana

80 Pengikut

img-content

Strategi Pertumbuhan Konglomerat

Senin, 25 Agustus 2025 08:46 WIB
img-content

Riwayat Pinjaman Anda dalam BI Checking

Kamis, 21 Agustus 2025 22:45 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler