Penulis lepas, seringnya berpuisi tapi juga suka bercerita. Memiliki koleksi delapan buku ber-ISBN, salah-satunya mendapatkan penghargaan dari Kemendikbudristekdikti. Sekarang masih menulis dan akan selalu begitu.

Kemiskinan dalam Bayangan Sistem

Minggu, 15 Juni 2025 21:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Kemiskinan
Iklan

Aku dahulu mengira bahwa miskin adalah nasib seorang manusia, ketika Tuhan menakdirkan dia hidup dengan apa-adanya. Namun ternyata salah.

Kemiskinan yang Tersistem—dalam bayangan dan suara perut kosong.

Aku masih ingat aroma pagi itu, di sebuah lorong sempit tempat kota Jakarta menyembunyikan perutnya. Bau cucian basah, asap rokok murahan, dan sisa mie instan semalam. Di ujung lorong, seorang ibu menyuapi anaknya dengan nasi dan garam. Ia melakukannya seperti seorang pendeta memimpin upacara kudus—penuh khidmat, meski tak ada yang sakral dari kelaparan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka menyebutnya kemiskinan, seolah itu merupakan bentuk nasib malang yang jatuh dari langit. Tapi aku tahu, dan mereka juga tahu—ini bukan soal nasib. Ini soal sistem.

Sistem yang membiarkan segelintir orang duduk di balik kaca gedung tinggi, memutuskan harga beras sambil menyeruput anggur impor, sementara jutaan lainnya berdesakan di angkutan umum, digaji cukup untuk bertahan hidup tapi tidak cukup untuk hidup. Ini bukan kegagalan. Ini keberhasilan—dari sebuah tatanan yang memang dirancang agar tak semua orang sampai ke garis akhir.

Mereka yang miskin tidak malas. Mereka bangun sebelum fajar, bekerja lebih lama dari menteri, dan pulang lebih lelah dari jenderal. Tapi sistem hanya memberi mereka ruang cukup untuk bernapas, bukan untuk berkembang.

Di sekolah, anak-anak miskin diajarkan mimpi yang sama dengan anak-anak kaya: jadilah presiden, dokter atau pengusaha. Tapi buku mereka sobek, listrik sering padam, dan gurunya digaji seperti buruh kasar. Harapan dibesarkan hanya untuk dibunuh perlahan oleh realitas.

Hal paling kejam bukan kelaparan, tapi ketika kemiskinan dijadikan tontonan dan dipelihara baik oleh negara. Lihatlah bagaimana mereka digunakan menjadi alat dalam pidato, poster kampanye, atau acara amal di televisi—seakan penderitaan mereka adalah alat cuci muka bagi para pemilik kekuasaan.

Aku tidak menulis ini untuk membuatmu iba. Iba tidak membayar sewa. Karena yang perlu kita lakukan adalah melihat wajah sistem ini tanpa make-up moral: kemiskinan bukan cacat pribadi, tapi produk industri sosial yang rapi, canggih, dan tak kenal malu.

Lantas selama kita terus menyebutnya "nasib", sistem itu akan tetap utuh. Batu bata demi batu bata disusun bukan oleh kemalasan si miskin, melainkan oleh keserakahan si penguasa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rama Kurnia Santosa

Rama Kurnia Santosa

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler