Hutan Merana, Penyakit Meraja
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKerusakan hutan yang banal akan mengakibatkan banyak penyakit baru muncul
Semua pasti masih mengingat dengan julukan Indonesia sebagai Zamrud Khatulistiwa, julukan termasyhur itu disandang karena Indonesia memiliki hutan yang hijau luas menghampar dari gugusan pulau satu ke lainnya namun seiring dengan kemajuan ‘pembangunan’ sepertinya kebanggaan itu mulai luntur. data dari FAO menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan setengah juta hektar lahan per tahun dalam sepuluh tahun terakhir, Padahal dengan kekayaan lebih dari 3305 spesies fauna di Indonesia, lebih dari 31% nya merupakan satwa endemik yang artinya spesies tersebut tidak ditemukan di Negara lain. Bayangkan saja betapa kaya raya nya biodiversitas yang kita miliki, dan kita sudah semestinya harus bangga dengan hal itu.
Sayangnya sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam malah membuat kita terlalu rakus untuk mengeruk semuanya.alih-alih menjaga hutan untuk investasi anak cucu di masa depan, malah menghabisinya demi kesenangan perut generasi sekarang. Penebangan hutan semakin menggila baik legal maupun illegal, tapi pernahkah kita renungkan bahwa bahwa penebangan legal terkadang malah membuat kerusakan yang lebih parah.
Selama ini banyak dari kita berpikir bahwa deforestasi hanya mengakibatkan bencana-bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, kurangnya pasokan oksigen dunia dan punahnya flora fauna beserta habitatnya, namun ternyata tidak hanya hal-hal mengerikan itu saja yang menjadi ancaman. Masih ada lagi ancaman lain yaitu munculnya Emerging Infectious Diseases (EID) yang biasa disebut dengan penyakit menular baru muncul. Sialnya lebih dari 60% EID adalah zoonotik alias ditularkan dari hewan ke manusia dan tiga per empat diantaranya bersumber dari satwa liar, tersebutlah diantaranya seperti Ebola, Anthrax, Nipah, Rabies, Hendra maupun HIV AIDS. Dengan lebih dari setengah juta hektar lahan hutan yang rusak setiap tahunnya, artinya ada lebih dari ribuan spesies yang bermukim di dalamnya menjadi terancam
Pemanfaatan lahan hutan secara besar-besaran oleh manusia, makin membuat intensitas pertemuan manusia dan satwa liar sering terjadi dan pastinya akan meningkatkan jumlah pathogen yang beredar karena penyebaran hospes dan vector yang meluas, kemudian tingkat infeksi semakin tinggi sehingga pathogen pun bertahan dalam waktu yang sangat lama hingga menyebabkan penyakit tersebut akhirnya menjadi endemic, kalau sudah begini pengendalian akan semakin sulit. Bukannya mencegah selalu lebih baik daripada mengobati?
Sebagai contoh adalah kasus penyakit nipah. Sampai sekarang penyakit nipah masih menjadi penyakit eksotik di Negara kita. Namun tidak lantas bisa membuat kita bersantai saja, karena sudah diketahui, pada tahun 1999 lalu Malaysia pernah terkena wabah nipah yang menyerang ternak babi, dan memaksa 1,1 juta babi harus dimusnahkan serta 105 orang meninggal dunia dalam periode kurang dari satu tahun (Chua et al, 1999,2000). bisa ditebak kan apa asal kejadian mengerikan ini? Ya ini semua akibat alih fungsi hutan yang banal dan tak tahu aturan.
Nipah adalah virus yang tumbuh dan berkembang secara alami dalam tubuh kelelawar pemakan buah (flying foxes) namun tidak menimbulkan penyakit pada binatang tersebut. Karena habitat alamnya yaitu hutan semakin sempit, dan keadaan perut yang lapar memaksa mereka untuk mencari makan hingga ke perkebunan milik warga yang kebetulan juga beternak babi, kelelawar yang habitatnya dirusak mengalami perubahan perilaku dan menjadi stress hingga mengakibatkan system kekebalan menurun sehingga virus inaktif didalamnya berubah menjadi aktif dan bisa menginfeksi ternak-ternak babi yang ada.
Waktu berselang virus inipun segera meluas baik ke sesama babi maupun manusia, karena sifat virusnya yang bisa menular melalui kontak langsung dengan sekresi babi terinfeksi dan kemudian ditransmisikan melalui udara. Dari beberapa literature yang pernah say abaca memang belum ada kejadian kasus virus ditularkan langsung dari kalong ke manusia, tapi manusia dapat terkena virus Nipah jika mengkonsumsi buah-buahan atau air nira yang tercemar virus yang berasal dari urine atau air liur kelelawar.
WHO menyebutkan gejala klinis dari infeksi virus Nipah pada manusia ditandai dengan batuk menyerupai influenza dan radang saluran pernafasan, demam tinggi mendadak, nyeri pada otot dan dapat berlanjut menjadi peradangan pada otak disertai pusing, sakit kepala, mual, muntah, disorientasi dan konvulsi yang dapat berkembang menjadi koma.
Sampai sekarang belum pernah dilaporkan kasus nipah di Indonesia, namun menilik posisi geografis Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, mau tidak mau kewaspadaan dini tetap harus ditingkatkan.Jika hutan sudah tiada dan kelaparan melanda , maka mamalia yang bisa terbang ini secara otomatis akan tetap mencari makan, tak perduli jika mereka harus berjibaku dengan manusia di kebun-kebun mereka, dan kenyataannya banyak dari warga di sekitar perbatasan sana yang beternak babi dengan letak kandang yang dikelilingi rerimbunan pohon pelindung sehingga tidak menutup kemungkinan bisa terkena virus ini.
Satu penyakit nipah saja ternyata sudah membuat bergidik, lalu bagaimana dengan penyakit-penyakit lain yang sudah siap mengancam dengan tingkat kerusakan hutan kita yang sangat mengkhawatirkan, tentu saja tidak perlu waktu lama untuk menunggu munculnya Emerging Infectious Diseases (EID), akankah kita membiarkannya terjadi atau memperbaiki keadaan sekarang ini. Semua adalah pilihan, tapi mesti diingat hidup kita memang akan berhenti karena kematian adalah keniscayaan, tapi tidakkah kita merasa kasihan dengan penerus kita, sudah demikian banyak ditinggali warisan hutang masihkah harus kita warisi juga penyakit-penyakit karena kesalahan kita yang seenaknya saja menghabisi hutan.
Bagi yang belum pernah menonton, cobalah sejenak mengintip film Contangion (2011) garapan sutradara Steven Soderbergh, di film yang dibintangi banyak bintang Hollywood seperti Gwyneth Paltrow, Matt Damon, Kate Winslet dan Jude Law anda mungkin akan sedikit mengalami intimidasi dan terror penyakit “tidak diketahui” yang menurut saya sangat mirip dengan nipah. Selamat menonton
Sumber : www.oie.int www.who.int id.wikipedia.org
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
"Green Book", Kisah Humanis Nan Manis
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGalaumu itu Lebay Dék
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler