x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Den Mas Said

Ini Robin Hoodnya Jawa. Tapi entah mana lebih dulu Den Mas Said mengilhami Inggris, atau Robin Hood mengilhami Majapahit.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tangannya melepuh penuh luka pada telapak dan punggung tapak, kanan dan kiri. Sepertinya pedih sangat, tapi Den Mas Said atau Raden Mas Said tak sedikitpun merintih. Ditiup-tiupnya saja luka-luka itu, dengan mata berkaca, sambil bersandar pada goni-goni gendut berisi penuh bahan makanan di gudang penyimpanan. Di sana, sang putra adipati menjalani hukum kurung, tanpa makanan, tanpa minuman. Adipati Tuban, Arya Wilatikta, sang ayahanda, murka mendapati Den Mas Said mencuri bahan makanan di lumbung kadipaten. Dengan tangannya sendiri, ia hukum Den Mas Said dengan sabetan-sabetan pada kedua tangan, biar tangan-tangan itu tak lagi cidra, biar tangan-tangan itu tak lagi berbuat salah, melanggar yang bukan haknya, mencuri yang bukan miliknya.

Rakyat seluruhnya hidup papa karena pajak-pajak yang dituntut Arya Wilatikta memberatkan, sebaliknya, Sang Adipati menjadi punggawa kesayangan Majapahit karena sanggup menyetor banyak upeti bagi pemerintah pusat. Ketidakadilan membuat Den Mas Said, putra Adipati Wilatikta, berontak. Den Mas Said menggarong lumbung kadipaten sebenarnya untuk dibagi lagi pada penduduk Tuban. Tidak banyak yang tahu siapa pemuda bercadar, yang di kesepian atau gelap malam, menebar bahan-bahan makanan atau keeping-keping emas sampai perhiasan di jalan-jalan. Tapi penduduk tahu, ada orang dalam lingkup tembok kadipaten membela mereka.

Pencurian berulang, sampai suatu ketika masa paceklik panjang, Den Mas Said nekat menggondol lebih banyak dengan menggunakan kereta kuda mengangkut hasil jarahan. Saking habis kesabaran, Arya Wilatikta mengusir Den Mas Said dengan batas tegas, “Jangan pernah kembali sebelum menggetarkan tiang-tiang kadipaten dengan ayat-ayat Al Quran !”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemuda Den Mas Said berjalan jauh, sampai menjadi begal di hutan Jatiwangi, Lasem, dekat Rembang, Jawa Tengah, tidak jauh dari Tuban, berjuluk Lokajaya. Masih sama saat dikenal sebagai Den Mas Said, begal Lokajaya menyasar orang tertentu jadi korbannya, yaitu mereka yang bisa kaya raya di tengah suasana kebanyakan yang serba sulit, serba susah, serba miskin. Lokajaya membagi lagi hasil curiannya pada penduduk.

Suatu kala, Lokajaya melihat seorang tua dengan tongkat emas. Seperti biasa, hasratnya muncul untuk merampas. Karena di hadapannya seorang renta, Lokajaya bergegas agar lekas tunai niatnya. Tapi aneh, sosok tua itu tidak segera teraih tangan, semakin mendekat Lokajaya malah semakin berjarak antara mereka. Sampai di suatu padang, setelah sangat lelah mengejar, Lokajaya mendapati lelaki tua yang menguras kesabaran, maka Lokajaya membentak meminta tongkat emas. Saking gusar, langsung direbut tongkat tadi membuat empunya tersungkur. Aneh, tongkat yang sedianya terlihat berbahan emas, berwujud sekedar kayu sekarang.

Laki-laki tua yang kehilangan penyangganya susah payah berdiri dan memungut tongkat kayu yang sudah dilemparkan Lokajaya kembali ke tanah. Dengan tongkat itu, sambil menunjuk sebuah pohon tidak jauh, kata laki-laki tua, “Tuhan tak menerima laku buruk dan salah, Nakmas. Kalau benar Nakmas ingin emas-emasan, lihat itu.” Lokajaya seperti kesurupan, serta merta memanjat pohon aren dan menjarah seluruh kolang-kaling yang dimatanya telah berwujud emas. Kolang-kaling berjatuhan menimpa Lokajaya sampai jatuh tak sadar.

Ketika terjaga dan mendapati lelaki tua masih menjaganya, Lokajaya bersimpuh memohon menjadi santri. Laki-laki tua bijaksana menyaratkan Lokajaya menunggui tongkat sampai suatu ketika ia mengambilnya. Sekian waktu, Lokajaya taat bersila di hadapan tongkat yang tertancap ke tanah, sampai aliran sungai yang tidak jauh, menggerus tanah dan merendam Lokajaya. Ketika lelaki tua kembali, Lokajaya masih setia menjaga tongkat.

“Assalamu’alaykum, Nakmas,” bisik lelaki tua di telinga Lokajaya yang langsung pingsan tak sadar. Syahdan bergurulah Lokajaya pada lelaki berilmu tadi yang kemudian banyak membimbingnya, menjadi guru, seperti orang tua, sekaligus sahabat Lokajaya atau Den Mas Said.

Saya ingat benar penggalan adegan itu dari lakon layar lebar. Yang diangkat di film adalah salah satu dari banyak versi sejarah Den Mas Said, murid Sunan Bonang, tokoh lelaki tua tadi. Setelah menyebarkan Islam, Den Mas Said sangat terkenal di Tuban dan berarti tuntas hukuman baginya. Den Mas Said atau begal Lokajaya dikenal kemudian sebagai Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga dikenal luas di Pulau Jawa, tidak hanya di Tuban. Sejarah memperkirakan umurnya mencapai 100 tahun yang lahir pada sekitar 1450 dan berarti Sunan Kalijaga melewati masa akhir Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kerajaan Pajang, juga awal berdirinya Kerajaan Mataram. Banyak Raja Jawa memeluk Islam atas ijin Tuhan setelah pendekatan Sunan Kalijaga.

Salah satu cara Sunan Kalijaga menyampaikan kebenaran adalah melalui budaya. Banyak akulturasi Jawa dengan Islam adalah karya Sunan Kalijaga, seperti tembang suluh Lir-Ilir, tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) dalam pewayangan, beberapa lakon wayang seperti Jamus Kalimasada yang bercerita tentang sebuah kitab yang menjadi kekuatan layaknya Al Quran sebagai pegangan muslim-muslimat, peringatan hari besar Islam di keraton mulai dari Grebeg Maulid hingga Sekatenan, sampai model baju lelaki muslim yang sekarang dikenal dengan baju takwa.

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler