Tiga Tantangan Berat Buruh di Tahun 2016
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBHal ini terbukti dari angka pengangguran saat ini yang mencapai 5,81 persen. Artinya, ada sekitar 7,45 juta jiwa yang menganggur di Indonesia.
Berselang dua pekan sebelum peringatan Hari Buruh, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data soal penurunan angka ketimpangan, dari 0,41 per Maret 2015 menjadi 0,40 per September 2015. Angka ketimpangan yang ditunjukkan oleh rasio Gini ini terendah dalam empat tahun terakhir. Penurunan ini seharusnya menjadi pertanda bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat kelas menengah dan bawah. Namun euforia penurunan ketimpangan tersebut ternyata ilusi belaka.
Distribusi pengeluaran 40 persen penduduk miskin memang meningkat, dari 17,10 persen per Maret 2015 menjadi 17,45 persen per September 2015. Adapun distribusi pengeluaran 40 persen penduduk kelas menengah juga meningkat, dari 34,65 persen menjadi 34,7 persen. Namun distribusi pengeluaran 20 persen penduduk dengan pengeluaran tertinggi justru turun dari 48,25 persen ke 47,84 persen. Jika dibandingkan secara logis, distribusi pengeluaran penduduk dengan pengeluaran terendah hanya mengalami peningkatan 0,35 persen dan penduduk menengah naik 0,05 persen serta penduduk kaya turun signifikan menjadi 0,41 persen. Dari data BPS saja terlihat bahwa ketimpangan riil tidak turun. Penurunan ketimpangan lebih disebabkan oleh penduduk kaya yang menahan konsumsi akibat pelemahan ekonomi.
Data rasio Gini juga menyebutkan bahwa faktor utama perbaikan data ketimpangan adalah kenaikan upah buruh pertanian sebesar 1,21 persen dan kenaikan upah buruh bangunan sebesar 1,05 persen dari Maret hingga September 2015. Padahal kedua jenis pekerjaan ini bukan termasuk dalam sektor formal. Sementara itu, untuk buruh di sektor formal, data ketenagakerjaan juga mengisyaratkan adanya kenaikan angka pengangguran. Hal ini terbukti dari angka pengangguran saat ini yang mencapai 5,81 persen. Artinya, ada sekitar 7,45 juta jiwa yang menganggur di Indonesia.
Ketimpangan riil juga tidak menurun karena yang terjadi, sepanjang 2015 hingga awal 2016, buruh mendapat tantangan besar. Tiga tantangan besar yang dihadapi kelas pekerja adalah adanya pelemahan ekonomi global, rencana pencabutan subsidi listrik, dan naiknya iuran BPJS Kesehatan.
Pelemahan ekonomi dimulai dari melemahnya permintaan dari mitra dagang terbesar Indonesia, yaitu Cina, yang mengalami penurunan impor hingga 13,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Pelemahan impor ini diprediksi akan terus berlangsung selama Cina mengalami penurunan pertumbuhan tajam atau hard landing. Kondisi ekonomi dunia juga masih dilanda kelesuan. Kondisi tersebut secara otomatis menjalar ke Indonesia, mempengaruhi ekspor dan daya beli masyarakat. Lihat, misalnya, data ekspor Januari hingga Maret 2016 menurun 14 persen dibanding periode yang sama tahun 2015. Ekspor non-migas juga anjlok 9,29 persen pada Maret 2016.
Namun hampir semua sektor sebenarnya mengalami penurunan yang cukup tajam. Penurunan tajam pada 2015 terjadi pada sektor pertambangan sebesar -5,64 persen, sementara industri manufaktur hanya tumbuh 4,33 persen. Di beberapa daerah, buruh masih waswas terhadap rencana PHK beberapa perusahaan besar, seperti Kalimantan Timur dengan tingkat PHK sebesar 10.721 orang dan Jawa Barat dengan 10.291 orang. PHK massal ini merupakan imbas dari berakhirnya ledakan komoditas, seperti batu bara dan minyak mentah, yang berdampak pada daerah penghasil sumber daya alam.
Proyeksi ekonomi yang rendah juga terjadi di tataran global. Dana Moneter Internasional, misalnya, melakukan revisi pertumbuhan ekonomi pada 2016 dari 3,4 persen menjadi 3,2 persen. Pesimisme tampaknya masih menghantui perekonomian sepanjang tahun ini.
Tantangan buruh lainnya adalah rencana pencabutan subsidi listrik pengguna daya 900 VA. Menurut klaim pemerintah, sebanyak 18 juta rumah tangga tidak termasuk penerima subsidi. Buruh yang tidak memiliki rumah tapi menyewa kos atau tinggal di rumah kontrak harus menanggung nasib membayar listrik lebih mahal. Efeknya ke daya beli buruh yang akan menurun. Daya beli yang ditunjukkan oleh konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2015 menurun di level 4,9 persen. Sementara itu, indeks kepercayaan konsumen pun menunjukkan tren pelemahan sebesar 110 pada Februari 2016, sedangkan pada bulan yang sama pada 2015 masih stabil di angka 120.
Dengan pelemahan daya beli, pencabutan subsidi listrik juga memperburuk inflasi. Bahkan, menurut BPS, inflasi yang diakibatkan dari kenaikan tarif listrik mencapai 0,3 persen sampai 0,4 persen. Kelompok listrik, air, perumahan, dan bahan bakar per Januari menyumbang 0,13 persen dengan inflasi tarif listrik paling dominan sebesar 0,09 persen. Kontribusi terhadap inflasi cukup riskan. Dampak yang dirasakan pada kenaikan harga pun bisa bertahan 3 hingga 6 bulan pasca-kenaikan tarif listrik. Pada 2013, kenaikan tarif listrik menyumbang 0,24 persen inflasi. Saat ini naiknya inflasi akan berpengaruh ke harga pangan sebelum menghadapi bulan puasa nanti.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu menjadi pukulan berikutnya bagi buruh, terutama buruh yang memiliki banyak anggota keluarga. Untuk kelas I, yang semula Rp 59.500 naik menjadi Rp 80 ribu per bulan. Kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51 ribu. Dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu per bulan. Kenaikan iuran sebesar 19-34 persen dirasa tidak rasional di tengah impitan beban ekonomi saat ini.
Dari ketiga tantangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa data penurunan ketimpangan yang disodorkan pemerintah berkesan semu. Pemerintah sudah sepatutnya berpihak kepada kesejahteraan buruh dengan menjaga agar arus industrialisasi dan kesejahteraan buruh tidak saling menegasikan.
Bhima Yudhistira, Peneliti INDEF
*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 2 Mei 2016.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Polemik Pemindahan Ibu Kota ~ Bhima Yudhistira Adhinegara
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBDi Balik Perceraian Pemerintah dan JP Morgan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler