x

Raden Ajeng Kartini (kanan) bersama saudarinya, Kardinah (tengah), dan Roekmini. wikipedia.org

Iklan

Paulus Mujiran

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belenggu Emansipasi Kartini

Pandangan-pandangan RA Kartini secara kritis mengungkapkan kritik terhadap agamanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu Kita Kartini putri sejati, putri Indonesia harum namanya. Ibu kita Kartini pendekar bangsa. Pendekar kaumnya untuk merdeka. Wahai Ibu Kita Kartini putri yang mulia sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia. Penggalan lagu Ibu Kita Kartini itu yang diucapkan jutaan perempuan Indonesia pada peringatan Hari Kartini.

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya.” (Surat R.A. Kartini kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901).

Sisi kehidupan Kartini bisa digali dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang kumpulan surat-surat Kartini kepada beberapa sahabatnya di Belanda ini terekam pemikiran Kartini. Pandangan-pandangannya secara kritis mengungkapkan kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini berpendapat dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."  Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki berpoligami. Meski ia menjadi korban poligami yang memang sangat berkembang subur semasa hidupnya. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.

Begitu juga dalam surat-suratnya Kartini mengungkap tantangan yang dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah. Namun ternyata, cinta kasih terhadap sang ayah pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita.

Dalam surat itu Kartini menyebutkan ayahnya akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi. Kartini memang punya keinginan melanjutkan sekolah ke Eropa. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Namun Kartini akhirnya membatalkan keinginan yang hampir terwujud. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut beralih ke Betawi setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niatan untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi kandas juga. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin...". Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Yang ironis pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Kartini akhirnya menikah dengan bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Dalam suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Pada surat tanggal 7 September 1904 surat terakhir kepada suami istri Abendanon, Kartini sudah mengetahui perihal ajal yang hampir tiba. Wafatnya Kartini memang ironis dan wafat pada usia muda. Ia bercita-cita menjadi dokter tetapi menjadi korban karena ketiadaan teknologi kedokteran pada masanya.  Kartini seorang pejuang yang menjadi pahlawan karena belenggu kaumnya sendiri.

(Paulus Mujiran, pemerhati gender, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang).

Ikuti tulisan menarik Paulus Mujiran lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler