x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Poeze dan Tempat Tan Malaka dalam Sejarah

Kita berdebat tentang tempat Tan Malaka dalam sejarah Republik ini, Harry Poeze telah merekonstruksinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Barangsiapa tidak mengingat masa lampau, ia dikutuk untuk mengulanginya kembali.”
--George Santayana (Filosof, 1863-1952)
 

Sejak lama Indonesia menarik perhatian para sarjana Barat dan pejabat seperti Thomas Stamford Raffles (berkuasa di Jawa, 1811-1815) yang punya minat lebih luas melampaui kekuasaan dan menulis buku The History of Java, terbit di London pada 1817. Enam tahun lebih awal John Joseph Stockdale menulis The Island of Java yang berbicara perihal ekologi, sejarah, dan kebudayaan Jawa. Alfred Wallace menjelajahi Borneo dan Ternate dan sekitarnya untuk melahirkan teori evolusi bersamaan waktu dengan Charles Darwin.

Di era modern, minat Barat itu diwakili oleh sarjana yang mempelajari Revolusi 1945, pergolakan politik dan komunisme, peran militer, maupun ekonomi Indonesia. Kita mengenal nama-nama seperti George McTurnan Kahin, Daniel Lev, Benedict Anderson, Ruth McVey, Harold Crouch, Richard Robison, Herbert Feith, dan banyak lagi. Mereka umumnya berasal dari belahan Timur (AS) dan Selatan (Australia)—walaupun menurut Majalah Tempo, peminat kajian Indonesia semakin berkurang dan pendanaan untuk studi Indonesia juga kian berkurang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di antara para peminat itu terdapat sarjana Barat dari belahan Utara yang perhatiannya agak berbeda, atau boleh dibilang lebih khusus. Selain Peter Carey dari Inggris yang intens mengkaji kehidupan dan perjuangan Pangeran Diponegoro, ada Harry Poeze sarjana Belanda yang memelajari Tan Malaka. Poeze melakukan kajian selama lebih dari 40 tahun sejak ia menyusun skripsinya di Universitas Amsterdam.

Poeze ‘berjumpa’ dengan Tan Malaka sejak ia menjadi mahasiswa jurusan ilmu politik. Seperti ditulis oleh Bonnie Triyana di historia.id, 10 September 2014, Poeze mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wertheim. Ia sering menemukan nama Tan Malaka ketika membaca karya terkenal Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Poeze tertarik kepada sosok Tan Malaka karena namanya sering disebut, tapi riwayat hidupnya penuh teka-teki.

Minatnya pada sosok ini mendorong Poeze untuk menulis skripsi tentang hidup Tan Malaka selama di Belanda (1913-1919) dan ketika Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Ketika berangkat ke Belanda untuk bersekolah, 1913, usia Tan Malaka 16 tahun, sedangkan Soekarno dan Hatta baru berusia sekitar 11 tahun. Di Indonesia, skripsi ini diterbitkan oleh Grafiti Pers pada 1988 dengan judul Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925.

Sebagai sarjana berusia muda, Poeze tidak mau bekerja serba tanggung. Ia terus mencari jejak-jejak Tan Malaka sebagai ikhtiar memahami figur misterius ini. Selama empat tahun, Poeze menyusuri kehidupan Tan Malaka hingga periode kemerdekaan. Disertasi yang ia selesaikan pada 1976 ini kemudian diterbitkan lagi oleh Grafiti Pers dengan judul Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945.

Bahkan, setelah menyandang gelar doktor, pencarian jejak Tan Malaka masih berlanjut. Ia menapaktilasi jejak-jejak Tan Malaka hingga Filipina dan Rusia. Tak lain karena Tan Malaka banyak bergerak di bawah tanah, menyamar, serta berpindah-pindah tempat hingga ke Filipina dan Soviet. Poeze menghabiskan sekitar 40 tahun untuk mempelajari Tan Malaka—sosok yang kerap berganti nama dan rupa. Sarjana berdarah Belanda ini menyusun lima jilid buku tebal mengenai perjalanan hidup Tan Malaka dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Dibanding sarjana lain yang pernah mengkaji Tan Malaka, seperti Rudolf Mrazek, Andy McInerney, maupun Helen Jarvis, Poezelah yang paling intensif dan eksploratif.

Di usianya yang semakin sepuh, Poeze tetap bersemangat bila berbicara perihal Tan Malaka—sosok yang berani menyuarakan kemandirian di hadapan Komintern yang didominasi Soviet dan mengritik keras PKI (Kelak, setelah kemerdekaan, Muso mengatakan bila ada kesempatan, ia akan menggantung Tan Malaka). Tan Malaka menempuh jalannya sendiri, karena itu almarhum sejarawan Dr. Alfian menyebutnya Revolusioner Kesepian. Tiga tahun setelah kemerdekaan, Tan sempat mendirikan partai sendiri, Murba, bersama beberapa tokoh muda, di antaranya Chaerul Saleh, Sukarni, dan Adam Malik.

Poeze pula yang menyusuri jejak akhir kehidupan Tan Malaka dan menemukan lokasi yang diduga kuat menjadi peristirahatan terakhir sosok ini: Kediri, Jawa Timur. Akhir-akhir ini sejumlah pihak berbeda pendapat mengenai nasib ‘jasad’ Tan Malaka, ada yang ingin memindahkannya ke Sumatra Barat dan ada yang ingin mempertahankannya di Kediri. Poeze, seperti dikutip historia.id, berharap pemerintah Indonesia bersedia memakamkan kembali jasad Tan Malaka secara layak di makam pahlawan. “Saya masih menunggu (keputusan) pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” ujar Poeze seperti dikutip Bonnie Triyana di historia.id. Di masa pergolakan menuju pembentukan Republik, Tan Malaka turut memperjuangkannya, meskipun ia akhirnya tewas di tengah perselisihan bangsanya sendiri, tiga bulan setelah mendirikan Partai Murba.

Poeze telah memberikan contoh ihwal bagaimana memperlakukan sejarah sebuah bangsa sebagai bagian yang tidak putus dari masa kini. Negeri yang kaya sejarah dan pengalaman pergolakan ini sungguh sayang bila harus terus bersandar kepada sarjana asing untuk merekonstruksi pengalamannya sendiri. Kita masih saja bersilang pendapat mengenai tempat Tan Malaka dalam sejarah Republik ini, sedangkan Poeze telah merekonstruksinya dengan penuh perhatian. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu