Sikap Presiden Joko Widodo yang nekat menjinakkan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan kabar buruk bagi para aktivis antikorupsi. Hampir bisa dipastikan, perang terhadap korupsi akan mengalami kemunduran, bahkan terhenti.
Pertama, Jokowi mengabaikan tuntutan banyak pihak dengan membiarkan hasil panitia seleksi calon pemimpin KPK yang meloloskan Inspektur Jenderal Pol. Firli Bahuri. Padahal Firli dinilai bermasalah karena melanggar kode etik ketika bertugas di Komisi Antikorupsi.
Jokowi mengirim hasil seleksi itu ke Dewan Perwakilan Rakyat tanpa koreksi. Dan seperti yang dicemaskan oleh para anti korupsi, Komisi Hukum DPR akhirnya menetapkan Firli sebagai Ketua KPK periode 2019-2023.
Kedua, Presiden Jokowi juga mengesampingkan tuntutan publik agar pemerintah menolak pembahasan Revisi Undang-undang KPK. Padahal, revisi itu jelas mempreteli sejumlah kewewangan penting Komisi Antikorupsi. Dalam konferensi pers, 13 September 2019, Presiden menyatakan sejumlah poin yang ia tolak dan setujui dalam revisi itu.
Hanya, tak ada penolakan esensial dari pemerintah terhadap rancangan revisi. Sikap Jokowi itu justru semakin memuluskan pembahasan revisi UU KPK. Presiden, misalnya, setuju adanya mekanisme penghentikan perkara di Komisi Antikorupsi.
Krisis Kemimpinan KPK
Sikap Jokowi yang mengabaikan aspirasi para aktivis antikorupsi itu memicu krisis kepemimpinan Komisi Antikorupsi. Seolah menanggapi sikap Presiden, Ketua KPK Agus Rahardjo giliran menggelar konferensi pers pada malam harinya.
Pimpinan KPK menyerahkan tanggung jawab lembaga antikorupsi ini ke Presiden Joko Widodo. "KPK rasanya seperti dikepung dari berbagai sisi," kata Agus dalam jumpa pers. Menurut dia, revisi Undang-undang KPK merupakan salah satu upaya melemahkan lembaga ini. Apalagi, pihaknya tak pernah diajak berbicara terkait perubahan aturan tersebut.
"Kami menunggu perintah apakah masih dipercaya sampai Desember dan kemudian akan tetap operasional. Mudah-mudahan kami diajak bicara," ujar Agus.
Sebelumnya Saut Situmorang mundur dari kursi Wakil Ketua KPK sehari setelah DPR memilih lima orang pemimpin Komisi Antikorupsi. Saut Situmorang termasuk yang getol mengkritik hasil seleksi calon pimpinan Komisi Antikorupsi dan revisi UU KPK.
Kenekatan Jokowi
Kenapa Jokowi yang selama ini dianggap pro kepentingan publik, kali ini justru mengabaikannya? Mengapa pula ia mengabaikan janji dalam kampanye untuk menguatkan KPK?
Salah satu penyebab adalah tak adanya figur kuat di pemerintahan Jokowi yang benar-benar pro KPK. Kalau pun ada, mereka tidak berani menentang langkah Jokowi. Di tengah masa transisi pemerintahan saat ini para pejabat dan politikus di lingkaran Jokowi justru berusaha “main aman”.
Sementara itu di Dewan Perwakilan Rakyat, tak satu pun fraksi yang menolak skenario pelemahan KPK. Masa transisi di parlemen juga memungkin skenario pelemahan Komisi Pemberantasan Korupi berjalan mulus. Para politikus anti-KPK memanfaatkan sisa masa kerja 2014-2019, untuk bergerilya untuk menggegolkan revisi UU KPK.
Proyek pelemahan KPK pun mudah mendapat sokongan kalangan elite. Banyak politikus, pejabat, dan elite penguasa, berkepentingan agar KPK menjadi jinak. Sebagian di antara mereka bahkan sudah masuk penjara karena kasus korupsi atau menjadi diincar oleh lembaga ini.
Skenario pemerintah-DPR untuk menjinakan KPK semakin lancar karena masyarakat sipil kurang peduli. Sementera, banyak aktivis atau tokoh antikorupsi yang sudah masuk ke pemerintahan atau parlemen. Otomatis mereka menjadi bagian dari kekuasaan yang oligarkis. ***
Baca juga:
Pemimpin Baru KPK Terpilih, Pesta Kemenangan Oligarki di Era Jokowi?
Bapak Presiden Jokowi, Iinilah 10 Poin Penghancur KPK
Ikuti tulisan menarik Rohmat Eko Andrianto lainnya di sini.