Barangkali, semua ini tak kebayang oleh sebagian pendukung Joko Widodo, tujuh tahun silam. Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, amat dieluk-elukan. Berbaju kotak-kotak merah tua yang khas, mereka tampak sederhana, saat memenangi pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Sejak itu karir politik Jokowi bak meteor. Dan hanya berselang dua tahun, ia pun pindah dari Balai Kota DKI Jakarta ke Istana Presiden. Tapi setelah lima tahun bertahta sebagai Presiden dan terpilih lagi, inilah yang terjadi.
Komisi Pemberantaran Korupsi diperlemah. Lalu, kabar mengenai rencana majunya putra sulungnya, Gibran Rakabuming, sebagai calon Wali Kota Surakarta, menambah gundah sebagian pendukung Jokowi yang berpikiran jernih..
Apalagi, menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga berancang-ancang maju sebagai calon wali kota Medan. Ketua Partai NasDem Sumatera Utara, Iskandar, mengatakan nama Bobby Bobby masuk radar partainya sebagai calon wali kota.
Manuver Gibran
Sinyal pencalonan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, sebagai walikota Solo itu semakin kentara. Gibran telah menemui Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Rabu 18 September 2019. Ia menyatakan pertemuan itu untuk membicarakan perkembangan Kota Solo.
Hanya Rudyatmo memperjelas isi pembicaraan mereka. Menurut dia, ada pembicaraan mengenai bursa wali kota. "Tadi (Gibran) juga bertanya soal pendaftaran," kata Rudyatmo. Gibran yang berdiri di samping Rudyatmo saat wawancara tersebut hanya tersenyum.
Presiden Joko Widodo pun sudah mengungkapkan sikap beberapa bulan sebelumnya. Ia mempersilakan Gibran masuk bursa calon Wali Kota Surakarta. "Silakan, saya demokratis, yang penting di setiap jabatan atau karir apa pun harus tanggung jawab," kata Jokowi saat makan di sebuah warung bersama wartawan di Sukoharjo, Jawa Tengah, 28 Juli 2019.
Terjebak dalam dinasti politik
Fenomena dinasti politik bukan hal baru di Indonesia. Pada pemilihan kepala daerah tahun lalu, banyak calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan inkumben. Di level nasional, dinasti politik juga muncul dalam tubuh politik seperti PDIP, Demokrat, dan Nasdem.
Susilo Bambang Yudhoyono pun berusaha mengorbitkan Agus Yudhoyono menjadi pemimpin nasional . Begitu pula Megawati yang mengkader putrinya, Puan Maharani. Lalu, apa salah Jokowi?
Ini bukan soal salah atau benar. Tak ada pula aturan yang melarang. Ini masalah etika politik, soal kepantasan. Megawati mengorbitkan putrinya ke jabatan menteri ketika ia sudah tak menjadi presiden. Begitu pula SBY. Perbedaan ini tipis, tapi penting.
Dulu Presiden Suharto pun dikritik lantaran anak-anaknya dapat konsesi bisnis. Masyarakat pun ribut ketika Siti Hardijanti (Tutut) jadi menteri. Bahkan, Tutut yang dilantik menjadi Menteri Sosial pada Maret 1998 hanya sebentar menduduki kursi menteri. Dua bulan kemudian Suharto jatuh.
Boleh jadi publik Solo, tak peduli soal bahaya dinasti politik bagi demokrasi. Mungkin saja Gibran menang. Tapi, citra Jokowi sebagai pemimpin nasional yang sederhana, demokratis, mementingkan rakyat banyak… barangkali akan terciderai.
Baca juga:
Skandal Korupsi Menteri Nahrawi: Karena Butuh atau Serakah?
Siluet Pinoko di Tempo: 3 Alasan Kubu Jokowi Tak Perlu Tersinggung
Pinokio di Tempo: Cover Akbar Agak Vulgar, Jokowi Lebih Keren
Ikuti tulisan menarik Rohmat Eko Andrianto lainnya di sini.