x

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kanan) bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berjabat tangan usai melakukan pertemuan di kediaman Surya Paloh di Kawasan Permata Hijau, Jakarta, Ahad, 13 Oktober 2019. Pertemuan dua ketua umum partai itu berlangsung sekitar dua jam di kediaman Surya Paloh. TEMPO/Muhammad Hidayat

Iklan

Anas M

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 Oktober 2019

Senin, 14 Oktober 2019 02:08 WIB

Revisi UUD’45 Menyeluruh: Kita Mau Menuju Reformasi II atau Orde Baru II, Sih?

Yang menarik, dalam pertemuan itu Prabowo-Paloh juga bersepakat untuk mengusulkan amandemen UUD 1945 secara menyeluruh. Jadi tak hanya menghidupkan kembali GBHN.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari-hari ini  Ketua Umum  Partai  Gerinda Prabowo Subianto  amat gesit.  Setelah bertemu dengan Presiden Jokowi beberapa hari lalu, ia kemudian menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di rumahnya, kawasan Permata Hijau, Jakarta, 13 Oktober 2019. 

Gerindra terlihat  serius menjadi  penyokong pemerintah. Pertemuan dengan Ketua Umum PDIP Megawati beberapa waktu silam, dan dengan bos Nasdem kali ini tampak semacam “sopan-santun politk”  sekaligus lobi.

Yang menarik, dalam pertemuan itu Prabowo-Paloh  juga bersepakat mengusulkan amandemen  UUD 1945 secara menyeluruh.  Jadi tak hanya menghidupkan kembali GBHN. "Misalnya pemilu serentak, harus kita pikirkan bersama apakah akan dilanjutkan  atau kembali terpisah. Banyak hal lain lah," ujar Paloh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyambar Umpan PDIP
Prabowo dan Surya Paloh seolah  menyambar  umpan PDIP. Sebelumnya partai ini telah melempar gagasan amandemen konstitusi  di Kongres Bali pada 10 Agustus 2019. Saat itu PDIP mengusulkan “amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN."

Usulan itu banyak dikritik karena mengabaikan aspirasi rakyat dalam perencanaan pembangunan. Selain itu,  keberadaan GBHN tidak klop dengan sistem pemilihan presiden secara langsung.  Buat apa presiden dipilih langsung  jika ia harus melaksanakan GBHN?  Bukankah presiden  semestinya  merealisasikan janjinya saat kampanye?

Spekulasi pun berkembang: jangan-jangan “amandemen terbatas” itu hanya pintu masuk untuk agenda lain: menerapkan pemilihan presiden oleh MPR.  Apalagi,  PDIP kemudian menyokong Bambang Soesatyo menjadi Ketua MPR.  Sebelumnya, mantan Ketua DPR ini  pernah melempar wacana pemilihan presiden oleh MPR.

Reformasi II atau Orde Baru II? 
Walaupun menyambut umpan PDIP, manuver Prabowo-Paloh  tampak sedikit berbeda. Pertanyaannya,  ke arah mana sebetulnya amandemen UUD 1945 akan digulirkan? 

Dari sejumlah pernyataan politik yang muncul hingga kini,  setidaknya  ada   tiga skenario yang bisa diraba.  Skenario pertama, kembali ke sistem mirip Orde Baru atau Orba jilid II.  Hal ini bisa terjadi kalau  GBHN benar-benar dihidupkan dan diikuti dengan pemilihan presiden oleh MPR.  Tanpa adanya pemilihan presiden secara langsung otomatis roh reformasi sudah tercerabut.

Skenario  kedua,  terjadi reformasi jilid II. Munculnya dinamika dalam proses amandemen sehingga terjadi penolakan terhadap  GBHN. Pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung, tapi mekanismenya saja yang disempurnakan.  Kalau hal ini  yang terjadi, tentu bagus sekali.  Tapi, melihat  tren politik, harus diakui,  skenario  reformasi jilid II ini amat kecil kemungkinannya.

Skenario ketiga,  perubahan tambal sulam dan  penuh dengan kompromi.  Artinya,  GBHN tetap dihidupkan, tapi pemilihan presiden dilakukan secara langsung.  Dari segi tatanan  presidensial memang agak janggal.

Khalayak rasanya perlu mengikuti terus manuver para elite politik karena amandemen UUD 1945 akan menentukan arah negara ini.   ***

Baca juga:
Penusukan Wiranto Settingan? Fakta-fakta Ini Tunjukkan Sebaliknya

        

Ikuti tulisan menarik Anas M lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler