x

Iklan

j sumardianta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 4 Mei 2021 12:45 WIB

Tumbuh Berkarakter Berkat Resilensi

Kemampuan beradaptasi merupakan kecakapan dasar manusia. Tidak hanya pada masa pandemi. Adaptasi membuat saya tumbuh berkarakter jauh sebelum pandemi Covid 19. Adaptasi yang saya lakukan berkaitan dengan stress pasca trauma yang saya alami pada masa muda. Membaca dan menulis menjadi semacam Cognitive Behavior Therapy. Terapi keterampilan kognitif. Hidup saya menjadi memuaskan dan berkualkitas. Tidak mudah panik, tidak dirundung kecemasan, dan depresi lagi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Tumbuh Berkarakter Berkat Resiliensi*
Oleh: J. Sumardianta*

“Today a reader, tomorrow a leader.”
Margaret Fuller

Saya seorang guru sekolah swasta favorit. Suami dan bapak berhasil. Resensor buku dan kolomnis media cetak maupun online. Penulis buku motivasional. Editor dan publisis. Gost writer. Pula konsultan penerbitan. Itulah personal branding saya. Tidak banyak yang tahu. Saya memiliki sisi kelam masa lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masa kecil saya penuh onak dan duri. Masa remaja saya terjal dan mendaki. Masa dewasa harus berdamai dengan paradok dan kontradiksi. Semua persoalan bersumber pada kecemasan sosial dan depresi akibat kemiskinan. Sedari muda dipaksa, terpaksa, dan terbiasa menjalani hidup soliter.

Saya memiliki segala potensi untuk menjadi kerdil. Miskin, emosi tak stabil, dan prestasi akademik buruk. Meminjam ungkapan Amsal dalam Kitab Perjanjian Lama. Saya “bagai dipukuli para peronda kota. Juga dianiaya para penjaga tembok yang mestinya melindungi warga.” Didera “kebangkrutan bank cinta kasih” tenu menyakitkan.

Saya mengatasi kesepian dan keterasingan dengan membaca. Sedari dulu saya mojok sendirian di kamar membaca buku. Seperti kebiasaan Thomas A Kempis (1380-1471) penulis buku De Imitatio Christi yang terus cetak ulang hingga kini. “Hoexken met Boexken – in angelo cum libelo. Dalam seluruh pencarian hidup tenteram, tidak pernah kedamaian saya temukan selain saat mojok sendirian membaca buku.” Maxim Thomas A Kempis itu mewakili pergulatan saya. Membaca merupakan piranti lunak yang menyelamatkan saya. Buku-buku menyelamatkan saya penyintas gangguan stres pasca trauma.

Menulis buku juga merupakan terapi terbaik bagi saya. Saya telah menulis beberapa kitab. Simply Amasing (2009). Guru Gokil Murid Unyu (2013). Habis Galau Terbitlah Move-On (2014). Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016). Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali (2018). Seasoning Madvanture (2018). Pada akhirnya, saya bukan lagi “rubah kecil yang suka merusak kebun anggur”. Malaikat pelindung sudah memberi saya roti. Saya tak akan lagi mengeluh kekurangan mentimun, semangka, dan aneka jenis bawang.

"Terapi Perilaku Kognitif"

Reading and writing habbit. Tradisi membaca dan menulis. Bagi saya telah menjadi semacam Cognitive Behavior Thyerapy (CBT). Terapi perilaku kognitif bagi penderita ganguan kecemasan sosial. Hasilnya? Saya tidak lagi gampang terjangkit serangan panik. Lebih percaya diri. Mampu mencerna sifat impulsifyang membuat emosi meletup-letup. Perjalanan menuju kesehatan mental sungguh panjang. Tak semudah menyeberangi perbatasan. Saya masih berproses dalam resiliensi. Mengasah kemampuan beradaptasi dengan situasi sesulit apapun. Melatih ketabahan menghadapi kondisi seburuk apapun.

"Buku itu teman paling pendiam yang selalu siap di tempat. Panasehat paling bijaksana yang mudah ditemui. Guru yang luar biasa." Ungkapan ini berasal dari Charles W. Eliot. Sangat cocok buat saya. Terutama saat SMP hingga kuliah. Tahun 1981–1992. Saya, waktu itu, seorang lelaki introvert. Suka menarik diri dari pergaulan sosial. Saya remaja minder berat. Emosi naik turun. Tidak stabil. Suasana hati mudah berubah. Gampang panik. Sering cemas dan depresi.

Saya sungguh berantakan. Penyebabnya kemiskinan. Saya sulung dari enam saudara. Bapak PNS rendahan. Ibu pedagang sayur keliling. Keluarga saya bermukim di SMA tempat bapak bekerja sebagai pesuruh. Saya sekolah di tempat bapak bekerja. Saya terjatuh dalam komplek rendah diri. Ada beberapa guru yang meremehkan. Para guru bukanlah pakar bicara dari hati ke hati. Bukan pendengar yang baik. Saya sering merasakan perundungan dari teman-teman. Sekolah tidak mengajari saya cara mengendalikan emosi.

Bermukim dan bersekolah di tempat sama itulah sebenarnya pemicu utama saya tumbuh sebagai tukang minder. Ceritanya mungkin lain bila keluarga saya tidak bermukim di lingkungan kerja bapak sekaligus sekolah saya. Adik nomor tiga saya korbannya. Dia seperti saya. Mengidap depresi berat. Hingga berkeluarga hidupnya kacau-balau. Saya lebih beruntung.

Saya lebih banyak menghabiskan masa muda dengan menyendiri. Kalau bosan pergi ke tempat-tempat melarikan diri. Sejenak menjauh dari lingkungan yang tak banyak memberi saya pilihan. Keriangan masa remaja saya makin rusak. Diam-diam saya mengikuti anjuran Dionysus. Filsuf hedonis. Panutan kaum suka hibur yang gemar berkenes-kenes di dunia kemabukan. Dionysus pendukung pesta miras tetapi tidak pernah muncul untuk bertanggung jawab atas akibatnya.

"Prigel Beradaptasi"

Kabar baiknya. Saya punya kebiasaan membaca. Walau awalnya ini bentuk pelarian juga. Buat mengisi waktu. Trilogi Novel Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986) dan Antologi Cerpen Senyum Karyamin (1989) merupakan buku terbitan Gramedia yang sangat berpengaruh terhadap perubahan hidup saya.

Saya rupanya menganut prinsip beracun. Punya kebiasaan berpikir fatalis dan nihilis. Prinsip dan cara berpikir yang berbahaya. Emosi saya mengikuti prinsip saya. Sebagian nilai-nilai yang saya anut secara tak sadar dipengaruhi lingkungan. Keempat buku Ahmad Tohari membantu saya berubah dari seorang penderita kompleks rendah diri menjadi orang yang pada saat bersamaan bisa percaya diri sekaligus rendah hati.

Saya mengubah paradigma berpikir. Kesehatan mental kemudian membaik. Emosi saya perlahan beranjak mengikuti prinsip dan cara berpikir baru yang lebih optimis dan berpengharapan. Secara bertahap saya tidak terlalu cemas saat berinteraksi dengan orang lain. Tidak mudah depresi. Lebih riang dan tenang. Saya akhirnya tidak lagi menyalahkan keadaan, keluarga, dan sekolah. Juga tidak menyalahkan diri sendiri.

Ahmad Tohari, pengarang mahsyur dan penutur cerita kelas wahid, senantiasa membangun kisah dengan latar belakang, sasaran, dan perhatian penuh empati pada peri kehidupan masyarakat miskin bersahaja di pedesaan. Dunia pedesaan yang naif, lugas, kumuh, jorok, rombeng, dekil, kumuh, telanjang, bodoh, dan penuh seloroh cabul. Rakyat jelata itulah kekhasan dunia rekaaan Ahmad Tohari yang sangat saya sukai. Ahmad Tohari, melalui tokoh-tokoh rekaannya, menunjukkan bahwa saya lebih kaya dan berharga. Tohari mengingatkan kekuatan hebat dalam diri saya. Tak perlu saya mengasihani diri sendiri. Apalagi mengiba, mengemis, dan mencari perhatian ke sana ke mari.

Buku-buku Tohari membenarkan bukti neurosains yang menyatakan saat saya mengubah perspektif tentang kondisi yang saya alami, emosi saya berubah menjadi stabil. Saya bisa mengendalikan cara menafsirkan keadaan sehingga saya mampu berubah dari reaktif menjadi proaktif. Singkatnya membaca buku membekali saya dengan keterampilan menilai ulang kognitif. Saya mempelajari ulang respon emosional. Saya bisa mengatasi gangguan emosi dan stress pasca trauma dengan mengubah kebiasaan berpikir buruk yang sudah mengakar kuat. Saya mengubah kesengsaraan menjadi hidup yang memuaskan.

Karya-karya Tohari berlumuran tragedi, ironi, dan transendensi. Di tangan Tohari tragedi tidak berhenti sebagai peristiwa tragik. Tohari, melalui Srintil, tokoh sentral trilogi novel, mengajari saya kemampuan berpikir resilien. Kecakapan beradaptasi. Kemampuan untuk tetap teguh dalam situasi buruk dan sulit.

Keperawanan Srintil, dilelang Kyai dan Nyai Kartareja, pasangan suami istri dukun ronggeng, seharga sekeping uang ringgit emas dalam adat bukak klambu. Tiga lelaki hidung belang memenangi sayembara malem bukak klambu. Srintil harus meladeni ketiganya. Inilah tragedi perawan kencur yang hendak diinisiasi sebagai ronggeng. Tapi Tohari mengironikan dan mentransendensi tragedi itu dalam wujud cinta dan pemberian diri kepada Rasus, lelaki kekasih pujaan hati Srintil. Ketiga lelaki pemenang sayembara minum arak terlalu banyak. Mereka bertiga sudah tak bisa apa pa sesampai di kamar Srintil. Si Ronggeng buka jendela. Memberikan keperwanannya pada Rasus yang sudah menanti di rerimbunan semak bambu halaman belakang rumah Kartareja.

Ketabahan. Kendali atas ekspresi emosi. Tidak panik atas aspek-aspek di luar kendali diri. Itulah keutamaan yang saya petik dari Srintil. Hal-hal yang sungguh di luar kendali saya. Tubuh. Harta. Reputasi. Pekerjaan. Orang Tua. Teman-teman. Atasan. Cuaca. Ekonomi. Masa lalu. Masa depan. Hanya pola piker dan persepsi yang bisa dikendalikan. Hanya itulah kekuatan dan kedaulatan saya.

"Mile Stone Titik Balik"

Pada masa muda saya menderita karena dua kesalahan. Pertama, saya berusaha berdaulat penuh atas zona yang ada di luar kendali saya. Saya lalu merasa lemah, cemas, dan depresi. Kedua, saya kurang bertanggung jawab atas prinsip beracun dan pikiran fatalis dan nihilis. Saya tidak mampu mengendalikannya. Saya malah menyalahkan diri sendiri atas dunia luar. Orang tua, tempat tinggal, sekolah, guru, dan kawan-kawan. Akibatnya saya kembali merasa getir, tak berkutik, menjadi korban, dan bergantung pada keadaan luar. Depresi dan kecemasan sosial saya terjadi karena dua hal itu. Pengalaman buruk yang menimpa di masa muda memang bukan kesalahan saya. Akan tetapi cara mengatasinya merupakan tanggung jawab saya.

Ahmad Tohari bukan pengarang romantik melainkan realis. Dia memilih diksi bukan buat mempermanis dan mengeksploitasi kehidupan kaum kesrakat. Dia memainkan bahasa semata agar karyanya mewakili jeritan terdalam kaum non persons. Kaum marginal, dalam dunia rekaan Ahmad Tohari, bisa bertahan hidup berkat kemampuan mereka breaking through limitation. Melampaui keterbatasan manusiawi.

Saya memiliki kesan spesial terhadap kumpulan cerpen Senyum Karyamin. Membaca buku ini hati akan terbuka, sensibilitas meningkat, perasaan mengasihi bangkit, dan keinginan membahagiakan sesama membesar. Inilah buku yang pertama kali saya resensi pada tahun 1989 di harian Kedaulatan Rakyat. Waktu itu saya masih kuliah. Resensi ini mile stone. Awal titik balik saya. Tak hanya mengatasi defisit afeksi dengan memulihkan kebanggan diri. Membaca dan menulis ternyata juga memberi solusi atas kesulitan ekonomi. Dari resensi inilah karir saya sebagai penulis dimulai.

Gagrak (genre) Ahmad Tohari dalam menggubah novel setali tiga uang dengan langgam menulis cerpen. Kumpulan cerpen Senyum Karyamin ditulis sepanjang tahun 1976–1986. Antologi kisah tentang kebajikan kaum rudin. Kultur yang diangkat Tohari adoh ratu cedak watu. Jauh dari gemerlap kehidupan masyarakat metropolis. Dekat dengan tantangan alam keras. Tohari dijuluki “Ramane Wong Kapiran, bapak orang miskin dan keserakat.” Saya, wong kapiran, mengalami personifikasi pada tokoh-tokoh rekaan Tohari. Para tokoh itu sangat mewakili pergulatan saya. Saya bisa menerima kerapuhan dan mengubahnya menjadi kekuatan berkat mengidentifikasi dengan keteladanan para tokoh Tohari. Saya mampu berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama, dan berdamai dengan Tuhan berkat inspirasi Tohari.

Antologi cerpen Senyum Karyamin, meminjam istilah Robert Holden, dalam Timeless Wisdom for Manic Society (2002), bertutur perihal kebajikan langgeng (eternal virtue) kaum marginal. Kumpulan cerpen ini mengisahkan ketangguhan spiritual Karyamin, kuli pengumpul batu, Sanwirya, tukang deres nira, Kasdu dan Minem pasangan suami istri yang terperangkap tradisi kawin muda, Suing dan Kimin pencuri kayu jati, Musgepuk pawang kerbau, Blokeng, perempuan gila, Sutobawor, pemilik pohon jengkol, Madrakum, botoh adu jago, Sulam, pemuda hilang ingatan, dan pengemis bus antarkota.

Karyamin, pengumpul batu kali, yang selalu makan teratur sehari sekali, dikisahkan Tohari terguling ke lembah bukan saat memikul batu dari sungai ke atas bukit. Karyamin yang tak putus didera kelaparan itu limbung dan terjatuh ke jurang justru saat ditagih Pamong Desa membayar dana iuran solodaritas Afrika buat membantu bencana kelaparan di Afrika. Ironis memang. Orang yang sehari-hari susah makan disuruh membantu orang kelaparan.

Karyamin selalu menghadapi persoalan serumit apa pun dengan senyum dan tawa. Karyamin terbiasa menertawakan diri sendiri. Senyum dan tawa merupakan benteng perlindungan terakhir dari tragedi: tangan lecet mengais batu kali, tengkulak yang sudah sebulan menghilang bersama satu truk penuh muatan, pedagang pecel yang nagih utang, tanjakan dan kelokan bukit yang acap membuatnya tergelincir. Senyum dan tawa adalah simbol kemenangan Karyamin atas tekanan hidup. Senyum dan tawa menjadi semacam biduk tempat kuli pengumpul batu berpegangan tatkala hidupnya diguncang disorientasi. Tawa para kuli pengumpul batu menyaksikan perempuan mengangkat kain tinggi-tinggi saat pulang dari pasar menyeberang kali adalah kegembiraan dalam kesedihan.


Sanwirya, penderes nira, jatuh dari pohon kelapa. Tubuhnya remuk dan meregang nyawa. Sampir, Waras, dan Ranti tetanggnya ribut-ribut, panik, dan berdebat merencanakan banyak jasa buat meringankan keluarga Sanwirya. Mereka mau cari pinjaman gabah ke lumbung desa mengantisipasi Sanwirya bila tidak bisa bekerja. Ada yang berpikir soal polis asuransi jiwa. Sanwirya mati di puncak perdebatan tetangganya itu. Keluarga hanya butuh kain kafan dan modin buat mendoakan Sanwirya. Sanwirya tidak butuh asuransi dan beras.

Role Model Resiliensi

Ahmad Tohari, melalui Karyamin dan Sanwirya, mengajak saya mampu mengelola kesenangan dan kepedihan. Kemiskinan bisa menyengsarakan saya. Trauma dapat membuat saya depresi. Penghinaan, ketidakpedulian, dan perundungan dapat memicu kecemasan sosial. Tohari menghimbau pembaca bukan berfokus pada kerapuhan moralitas tokoh-tokohnya. Dia fokus pada kemampuan adaptasinya, kekuatan bantinnya, dan kecakapan menghadapi kemungkinan terburuk dengan penuh harga diri dan berani.

“Tinggal Matanya berkedip-Kedip” cerpen tentang Musgepuk, pawang cucuk kerbau. Cerpen ini mengungkapkan perasaan lelaki kukuh yang kebanggaannya sedang terancam longsor. Kelebihan Musgepuk adalah keterampilannya melipatgandakan rasa tega sambil menghapus bersih rasa iba penonton ketika mendapat order menjerat dan memasang tali kekang dengan cara melubangi hidung kerbau menggunakan jarum yang terbuat dari bambu. Hari pengapesan Musgepuk tiba. Cepon, kerbau jantan yang meronta dan nyaris merubuhkan kandang saat hidungnya dikeluhi (dicucuk), tumbang bersimbah darah.

Musgepuk tidak berdaya justru sesudah Cepon rubuh dan tidak melawannya. Selera Musgepuk padam. Seorang pawang baru bermakna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar sehabis dikeluhi. Musgepuk, di hadapan kerbau yang berkedip-kedip, kehilangan eksistensinya. Seperti mantra kehilangan daya magis. Kesturi mati karena baunya. Musgepuk dihabisi keperkasaannya sendiri.

Inilah pesan yang bisa saya pelajari dari Tohari lewat tokoh Musgepuk. Ada saatnya saya bersikap emosional dan berduka. Ada saatnya harus mati rasa untuk sementara. Sanggup menghadapi penderitaan bukan sebagai kesulitan melainkan sebentuk pelayanan. Saya harus lebih banyak berlatih jurus bertahan sebelum kesulitan datang. Supaya saya lebih prigel menghadapi kondisi darurat. Tidak berkubang terus dalam melankolia. Rasa iba pada diri sendiri yang tak perlu. Agar, setiap hari, di segala segi, saya semakin lama semakin membaik.

Membaca mengubah hidup saya. Bacaan memberi saya kompas moral. Hasrat untuk menjalani hidup yang lebih baik. Membaca kisah gemilang orang gila macam Blokeng. Dia mampu bertahan hidup di lingkungan buruk, melawan terpaan nasib, mengatasi segala rintangan. Saya menggunakan karya Tohari sebagai “Exemplum”. Role model adalah bagian paling penting terapi bagi jiwa saya yang merana. Saya adalah makhluk sosial. Perilaku moral saya hasil mengamati dan meniru. Saya melakukan apa yang disebut modelling. Dari mengobeservasi orang lain, saya mendapatkan ide sekaligus cara memunculkan perilaku baru. Informasi yang saya peroleh kelak menjadi cara saya bertindak (way of life).

Blokeng, perempuan kurang waras, bersarang di dekat tempat pembuangan sampah pasar, bunting. Seluruh penghuni desa gempar. Warga blingsatan mencari lelaki yang tega merangkak di sarang Blokeng. Blokeng bersarang di tanah becek dan tidak berlampu. Bajul buntung yang telah menyerbu Blokeng hingga bunting sungguh primitif dan tidak bermartabat. Blokeng tiada duanya. Setiap perempuan desa malu bila dibandingkan dengan dia.

Blokeng selamat melahirkan bayinya dibidani nyamuk dan kecoa. Bayinya tangguh seperti anak kerbau yang lahir di kubangan kotoran. Dikisahkan Tohari, dalam cerpen “Blokeng”, Pak Lurah datang sebagai dewa penyelamat. Demi melenyapkan saling curiga, dia menyatakan bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng. Dia sudah mendatangkan dukun bayi. Lincak bambu dan tikar pandan disiapkan buat mengangkat Blokeng dan oroknya dari lembah ketiadaan. Bu Lurah menyiapkan catu makanan sebelum Blokeng mampu berjalan kembali ke sampah pasar. Nasib manusia paling tersisih di desa itu pun mendapat perhatian.

Psikologi Situasi

Manusia bakal bekerja lebih keras dalam proyek dengan upah sedikit, atau bahkan tanpa bayaran, jika menurut mereka proyek-proyek itu bernilai, bermakna, dan mengbdi tujuan-tukuan mulia. Proyek yang menantang, semangat filantropis kuat, dan mengasyikkan. Menggunakan “agree contra”, pola pikir sebaliknya, Tohari melalui cerpen Syukuran Sutobawor menunjukkan pada saya bukan kekuasaan, kedudukan, dan harta yang membuat orang hidup bahagia, Melainkan kontribusi bagusnya dalam berperilaku adil.

Cerpen itu bertutur tentang pohon jengkol yang paranoid terhadap priayi jaman kolonial. Priayi jaman akhir adalah priayi zaman pujangga yang mengabdi penjajah Belanda. Bukan bekerja untuk kawula. Mereka bersikap ningrat. Selalu minta dilayani. Menjilat atasan. Tidak peduli jeritan wong cilik. Mereka membangun tata nilai sendiri. Malas menyambangi rakyat jelata. Mereka angkuh. Tak kunjung sadar. Gaji yang memakmurkan mereka berasal dari pajak yang dibayar rakyat. Bergelimang fasilitas dan perlindungan tapi tak berperikemanusiaan.Sampai-sampai, priayi jaman dulu itu, bagi pohon jengkol, demikian tidak berharga.

“He, pohon jengkol, kamu boleh pilih. Berbuah selebat-lebatnya dan kubiarkan tegak. Atau tidak berbuah. Dan kamu kutebang untuk kujadikan tutup makam priayi jaman akhir”. Mantra ini diucapkan Sutobawor dan bapak mertuanya di dekat pohon jengkol yang tidak mau berbuah. Ajaib. Pohon jengkol pada musim berikutnya berbuah lebat.

Sutobawor mengadakan tasyakuran. Tetangganya dijamu gulai tiga ekor ayam. Tetangganya heran. Mengapa tidak ada mantra: berbuahlah selebat-lebatnya dan kubiarkan tegak atau tidak berbuah dan kamu kutebang untuk kujadikan tutup kubur tani pemakan jengkol.

Tidak ada “karakter baik” atau “karakter buruk”. Keduanya tergantung dari situasi dan kondisi yang saya alami. Kisah Madrakum, sebagaimana dituturkan Tohari, dalam cerpen “Orang-Orang Seberang Kali”, mengingatkan saya akan pentingnya menguasai psikologi situasi. Jati diri saya dulu dan kini ditentukan situasi. Tidak ada kawan atau lawan sejati. Yang ada kepentingan abadi. Belasan tahun setelah saya lulus SMA. Saya bertemu dengan seorang kawan yang pernah menyerang saya secara fisik. Juga ketemu dengan kawan yang dulu terang-terangan mengabaikan saya. Pertemuan itu terjadi dalam suatu reuni. Kedua teman saya sudah berubah perangainya. Saya juga pernah ketemu seorang guru SMA yang sering meremehkan saya. Dia mengantar cucu mendaftar di sekolah tempat saya mengajar. Dari jauh saya menunjukkan gesture ketidaksukaan. Dia berusaha mengajak saya bicara. Saya malah menjauh. Saya rupanya masih memiliki sisa-sisa dendam. Tohari mengajari saya tentang sikap lepas bebas. Karena saya punya kelekatan masa lalu yang menggema terus tiada henti. Guru dan nteman saya sudah berubah. Saya terkadang masih terpenjara trauma masa lalu.

“Kami tidak bisa melupakan jasa orang-orang seberang kali terutama karena ayam-ayam jago mereka. Setiap fajar seakan menjadi milik orang seberang kali. Jago mereka selalu berkokok lebih awal mendahului suara muadzin surau kami. Ayam jago yang membangunkan muadzin. Di sana kokok ayam jantan. Di sini seruan takbir. Di sini orang-orang pulang dari surau. Di sana orang-orang jongkok mengelus-elus jago.”

Dikisahkan Tohari dalam cerpen Orang-Orang Seberang Kali, Madrakum, si botoh adu jago, sudah memperlihatkan semua tanda-tanda datangnya sakaratul maut: daun telinga terkulai, aroma mayat khas, dan roman muka yang lain sama sekali. Tokoh “Aku” dalam cerpen ini dipercaya bisa membuat orang sekarat cepat sowan Gusti. Orang-orang seberang kali ternyata bisa hening saat si “Aku” membacakan Surah Yassin. Tapi ayam-ayam jago mereka tidak.

Tak lama setelah “Aku” mengundurkan diri, Madrakum bangkit. Turun dari balai-balai berdiri gagah. Madrakum lalu membuat gerakan-gerakan persis ayam jago menggombali betinanya. Madrakum kemudian keluar halaman. Matanya liar. Kedua tangan mengembang untuk membuat gerakan-gerakan mengepak. Madrakum berkokok berkali-kali. Suaranya demikian mirip dengan binatang peliharaan sehingga semua ayam jago di seberang kali menyahut silih berganti. Madrakum kemudian jatuh melingkar di tanah. Mati.

Kesepian dan keterasingan merupakan merupakan penyakit mental dahsyat yang pernah saya alami. Karena saya malu dan tidak jujur untuk mengakui bahwa saya punya kelemahan, tidak sempurna, dan terluka. Saya takut dianggap manusia rendahan. Orang gila dalam cerpen “Wangon Jatilawang” mengingatkan betapa saya juga rapuh dan cacat. Tapi itu tidak masalah karena bagian dari proses menjadi manusia. Saya diajari berdamai dengan keterbatasan diri, sesuatu yang sulit pada zaman ini, yang sungguh mendewakan kompetensi, kesigapan, kekuatan, kepuasan, dan keunggulan diri.

Tokoh “Aku” dalam cerpen itu sedih berlarat karena tidak memberi baju dan celana yang diminta Sulam di bulan Ramadhan. Sulam orang tidak waras yang hidup menggelandang. ”Aku” berjanji hendak memenuhi permintaan Sulam saat Lebaran tiba. Sulam mati didorong truk di perbatasan Jatilawang.

“Dan aku menyesal, mengapa tidak memenuhi permintaan Sulam akan baju dan celana yang layak. Mengapa aku khawatir tentang kebiasaan Sulam yang suka mengotori baju yang kuberikan atau menukarnya begitu saja dengan sebungkus nasi rames di pasar Wangon. Aku tidak cukup paham tentang lelaki kurang waras kerdil yang tiap hari menyusuri jalan raya Wangon–Jatilawang. Aku sungguh tidak layak mengaku sebagai sahabat Sulam”.

“Sulam telah menyindirku dengan cara yang paling kasar sehingga aku mengerti bahwa diriku tidak lebih baik daripadanya. Setiap hari Tuhan tidak pernah jauh dari diri Sulam. Aku yang telah mencoba bersuci jiwa hampir sebulan lamanya malah menampik permintaan Sulam terakhir. Padahal sunguh aku mampu memberinya”.

Buku-buku Tohari mengingatkan saya akan konsep dua lingkaran Stepehen R Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People. Pertama, lingkaran luar yang disebut kepedulian. Berisi perkara-perkara memicu kecemasan tapi tidak dapat saya ubah. Kedua, linkran dalam yang disebut pengaruh. Berisi hal-hal yang dapat saya kendalikan. Pada lingkaran kedua inilah terletak tanggung jawab saya. Semakin saya besar energi berfokus pada lingkaran pengaruh, saya akan semakin bahagia dan efektif.

Novel dan kumpulan cerpen Tohari yang kaya kebajikan filosofis sejalan dengan gaggasan-gagasan Jules Evan, penulis buku Philosophy for Life and Other Dangerous Situation (2012). Filsafat justru bisa menjadi terapi jiwa. Pun pilihan laku hidup. Meneladani kaum Stoa membuat pembaca jadi tangguh menghadapi kesulitan hidup. Kaum Epicurian mengajari penemuan kenikmatan hidup sejati. Phytagoras teladan tentang mendisiplinkan mental. Kaum skeptis mengajari tak mudah dibohongi.

Inilah perjalanan adaptasi saya bersama buku-buku yang saya baca dan tulis. Beradaptasi artinya bisa hidup di era VUCA; penuh gejolak (Volatility), tidak pasti (Uncertainty), rumit (Complexity), serba membingungkan (Ambiguity). Mampu menyelesaikan masalah rumit. Berpikir kritis. Kreatif. Kecerdasan emosi. Fleksibilitas. Kelimanya merupakan puncak dari kemampuan beradaptasi.

Saya bisa berdamai dengan diri sendiri berkat karya Tohari. Sabar, syukur, dan sederhana. Saya mampu berdamai dengan sesama berkat menulis buku yang dibaca khalayak luas. Mengasihi, memberi, dan memaafkan. Saya juga mampu berdamai dengan Tuhan dengan berserah dan merelatifkan hidup.

Kendati demikian, apapun pujian bagi para tokoh miskin rekaan Tohari. Tetap saja tidak mungkin menjalani hidup secara utuh jika saya tidak berkecukupan. Kejutannya. Kebiasaan membaca dan menulis mendukung profesi utama. Saya tak berkekurangan secara material. Satu-satunya kekurangan saya hanyalah perasaan syukur. Grow to great. Saya tumbuh berkarakter berkat resiliensi. *****

*J. Sumardianta, guru dan penulis, bermukim di Lembah Kali Opak Yogyakarta.

 

 

Ikuti tulisan menarik j sumardianta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler