x

Warga saat bersepeda di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 29 November 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis.

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 22 Juni 2023 08:43 WIB

Mengapa Polusi Udara itu ‘Haram’

Perbincangan tentang polusi udara di Jakarta dan sekitarnya berfokus lebih banyak pada kritik terhadap pemerintah. Padahal di antara para pengkritik itu juga banyak yang ikut jadi sumber masalah. Jadi bagamana? Mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor adalah hal yang bisa kita lakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perbincangan tentang polusi udara di Jakarta dan sekitarnya berfokus lebih banyak pada kritik terhadap pemerintah. Kesan yang timbul adalah hanya pemerintah yang memikul tugas mengatasi problem yang, tanpa tindakan serius, bakal kian teruk itu. Padahal di antara para pengkritik sangat boleh jadi banyak yang ikut jadi sumber masalah.

Pemerintah Jakarta, juga kota-kota di sekitarnya, tentu saja tak bisa lepas tangan. Dan terbukti mereka bisa digugat. Sebab pemerintah punya kewajiban memastikan setiap warga negara mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konstitusi menjamin adanya lingkungan hidup yang demikian ini sebagai hak asasi (Pasal 28h ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945).

Tetapi memastikan keberadaan lingkungan yang baik dan sehat itu, mau tak mau, memerlukan upaya aktif bersama dari semua pihak. Ini bukan berarti mengabaikan tanggung jawab pemerintah. Masalahnya adalah, bahkan kalaupun pemerintah telah menjalankan tugasnya, sementara orang seorang merasa bisa semau-maunya mengotori (atau bahkan merusak) lingkungan, yang bisa dicapai dari pelaksanaan tugas itu bakal tak berarti kalau bukan percuma.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesadaran mengenai upaya bersama itu yang harus terus ditanamkan. Individu, sesuai Pasal 67 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk di antara yang punya tanggung jawab untuk bertindak.

Salah satu argumen yang bisa dikemukakan untuk menguatkan bobot kewajiban tersebut adalah pendapat Eric Beinhocker. Dalam artikel berjudul “Climate Change is Morally Wrong. It’s Time for a Carbon Abolition Movement” di The Guardian empat tahun lalu guru besar kebijakan publik di University of Oxford ini mendalilkan tanggung jawab bertindak itu merupakan kewajiban moral.

Beinhocker memang berfokus pada perubahan iklim dan emisi karbon, salah satu pemicunya. Tapi pendapat dia bisa berlaku untuk isu polusi udara. Sebab polutan (elemen, molekul, partikel yang menyebabkan polusi udara) dan gas karbon (juga gas-gas lain yang terkait) adalah dua sisi dari “mata uang” yang sama, yakni emisi--substansi yang dilepaskan dari proses pembakaran.

Pada intinya, Beinhocker berpendapat bahwa, secara moral, krisis iklim adalah salah, “haram”. Dalam krisis itu ada sekelompok manusia menyakiti sesama manusia, juga makhluk hidup lainnya--generasi sekarang membahayakan generasi mendatang; warga negara maju mendatangkan bahaya ke warga negara berkembang; dan masing-masing dari kita membuang gas karbon yang menyengsarakan mereka yang terperangkap dalam badai, banjir, kekeringan, serta konflik yang intensitasnya kian merusak. Semuanya menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi.

Menurut dia, pertimbangan moral berpotensi mendesakkan kegawatan dari situasi yang ada dan menghindarkan perdebatan yang kelewat teknokratis, tentang biaya-manfaat dari suatu tindakan, yang terus dilakukan hingga kini dan tanpa hasil nyata. Manakala secara moral sesuatu hal memang salah, katanya, yang lazim terjadi adalah kita tidak berdebat dulu sebelum bertindak; kita akan serta-merta menghentikannya.

Fenomena sekelompok manusia menyakiti sesama manusia itu terdapat pula dalam isu polusi udara. Polutan merupakan penyebab penyakit-penyakit asma, infeksi saluran pernapasan, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru-paru, strok. Di Indonesia data BPJS Kesehatan mencatat selama periode 2018-2022 tanggungan biaya untuk pengobatan pneumonia, asma, PPOK, dan kanker paru-paru saja mencapai Rp 12,6 triliun dan naik setiap tahun.

Dari mana gas karbon (juga gas-gas lain yang terkait) dan polutan itu? Di Jakarta sebagian besar berasal dari mesin kendaraan bermotor. Studi Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung antara 2018-2019 menunjukkannya. Maka, wajar kalau penggunaan kendaraan bermotor masuk dalam “radar” pembahasan mengenai upaya mengatasi problem polusi udara.

Sebetulnya problem akibat penggunaan kendaraan bermotor telah sejak lama muncul, bahkan sebelum polusi udara disadari menjadi semencemaskan yang berlaku saat ini. Tapi tidak banyak yang melihatnya dengan sudut pandang sekritis Ivan Illich, filsuf dan kritikus sosial yang lebih dikenal berkat buku Deschooling Society (1970).

Dalam “The Industrialization of Traffic”, salah satu bab dari bukunya yang berjudul Energy and Equity (1973), Illich memaparkan absurditas yang pada akhirnya berlaku tidak hanya di Amerika Serikat ini:

“Model pria Amerika itu mencurahkan 1.600 jam per tahun untuk mobilnya. Dia duduk di dalamnya saat sedang melaju dan ketika sedang berhenti. Dia memarkirnya dan mencarinya. Dia menghasilkan uang dan membelanjakannya untuk mobil itu dan untuk membayar cicilannya. Dia bekerja untuk membayar bensin, tol, asuransi, pajak, dan tilang. Dia menghabiskan empat dari 16 jam meleknya di jalan atau mengumpulkan sumber-sumber dayanya untuk mobil itu.”

Mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor adalah keniscayaan untuk menghentikan kegilaan serupa itu. Dan tindakan yang sama, bahkan sedapat mungkin lebih drastis, juga dibutuhkan demi menyetop penderitaan orang lain, sesama manusia, juga makhluk lain--lingkungan hidup, alam–akibat polusi udara (juga emisi). Untuk yang terakhir ini ukuran baik-buruk dan benar-salah, pertimbangan moral, jadi “kompas”-nya.

Alternatif dalam menghentikan atau mengurangi ketergantungan itu adalah moda transportasi tanpa atau sekurang-kurangnya rendah polusi (dan emisi). Ada dua skema: jarak dekat dan jarak menengah/jauh. Di area perkotaan umumnya perjalanan harian dilakukan untuk menempuh jarak kurang dari 5 kilometer. Bagi kebanyakan orang, trip ini sebetulnya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan moda mobilitas mikro lainnya. Untuk jarak menengah/jauh, misalnya melaju pulang balik dari kota-kota satelit Jakarta, kereta merupakan opsi yang masuk akal. Kalau mau, orang bisa memadukan kereta, atau bus, dengan sepeda (mixed-mode commute).

Tentu saja, penggunaan moda alternatif itu tidak serta-merta berarti kendaraan bermotor, atau kendaraan listriklah kalau memang pada akhirnya transisi ke sana terjadi, sama sekali tidak diperlukan. Tetap akan ada perjalanan atau mobilitas yang membutuhkan mobil atau bus, atau truk. Tapi, dengan semakin banyak orang memilih bersepeda dan naik angkutan umum untuk mobilitas, yang mendapatkan manfaat justru meliputi siapa saja. Sebab, di samping polusi udara bisa dihalau, jalanan pun akan lebih longgar, kebisingan berkurang, lalu lintas bisa lebih dikendalikan, keselamatan meningkat.

Peter Calthorpe, penulis buku The Next American Metropolis dan salah seorang pendiri Congress for New Urbanism, telah menggambarkan kondisi itu dengan tepat. Berjalan kaki, bersepeda, menggunakan angkutan umum, katanya, adalah “tindakan publik yang menjadikan jalan sebagai komponen yang aman bagi masyarakat”. Mengendarai mobil, sebaliknya, adalah “tindakan pribadi yang mengubah jalan sebagai utilitas (belaka).”

Menimbang gawatnya situasi, dan seturut ajakan Beinhocker, kesadaran tentang tanggung jawab moral tersebut perlu menjadi suatu gerakan.

 

(*)

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu